Lahirnya produk undang-undang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN) pada tahun 2000 telah menandai sistem pendidikan di Indonesia yang pro pada pasar. Privatisasi pendidikan pun diterapkan oleh perguruan tinggi negeri terutama universitas terkemuka seperti UI, UGM, IPB, dan ITB yang dikelola mengikuti logika bisnis. Seperti regulasi penerimaan peserta didik baru dengan menerapkan biaya tinggi dan regulasi-regulasi lainya yang pada pokoknya berorientasi pada profit.
Konsekuensi itu terjadi karena dorongan otonomi (kemandirian) PTN-BHMN. Dengan berlakunya UU PTN-BHMN, maka subsidi untuk pendidikan dari negara dipangkas dan invasi konsep pasar pada setiap dimensi universitas tak terhindarkan.
Implikasinya, perguruan tinggi akan melakukan berbagai cara untuk mencari sumber dana dengan dalih besarnya biaya operasional serta tuntutan jaminan mutu pendidikan. Cara paling umum salah satunya dengan melakukan berbagai regulasi termasuk melakukan komersialisasi pendidikan (penerimaan jalur khusus bagi peserta didik dari keluarga mapan secara ekonomi).
Bahkan, kita pernah mendengar di salah satu perguruan tinggi ada keluarga kolongmerat yang membayar biaya masuk mencapai satu miliar. Juga praktik ‘under table’ seperti ‘menjual kursi’ dengan harga tinggi sudah menjadi rahasia umum dalam masyarakat (dan syarat-syarat tidak logis lainnya). Impact-nya si miskin hanya menjadi penonton menyaksikan, sedangkan si kaya berkuliah di Universitas terkemuka: UI, ITB, IPB, dan UGM sebelum diikuti oleh perguruan tinggi lainnya.
Model privatisasi yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan juga dikemukakan oleh Philip Albatch, Lis Reisberg, dan Laura Rumbley. Menurutnya, kebutuhan perguruan tinggi dan sistem pendidikan untuk mendapatkan pendanaan dalam membiayai (minimal sebagian) kegiatan operasionalnya. Bentuk privatisasi perguruan tinggi adalah membebani peserta didik dengan tanggung jawab untuk proses pendanaan pendidikan melalui SPP dan biaya pendidikan lainnya.
Upaya untuk meliberalisasikan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah juga tampak dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Sesuai namanya, UU PMA ini mestinya mestinya mengatur masalah kegiatan bisnis. Tapi ternyata, produk turunannya yang dibuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam bentuk Perpres (Peraturan Presiden) menyasar ke sektor pendidikan pula, yaitu melalui Perpres No. 76 tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Penanaman Modal.
Lampirannya menyebutkan bahwa pendidikan merupakan sektor yang terbuka untuk penanaman modal asing dengan besaran persentase 49%. Jika dikaji dari seluruh isi, UU PMA memang tidak secara eksplisit menyebutkan kata ‘pendidikan’, akan tetapi pendidikan ditafsirkan oleh pemerintah sebagai bidang usaha terbuka untuk investasi.
Persoalan ini bukan tanpa konsekuensi atau hanya berhenti pada persoalan tingginya biaya pendidikan semata. Karena lebih dari itu konsekuensi yang harus ditanggung di kemudian hari ialah terciptanya jurang ketidakadilan yang semakin lebar antara si kaya dan miskin.
Alasannya sederhana, liberalisasi bukan hanya saja memperdagangkan pendidikan (kapitalisasi pendidikan) dengan merujuk konsep pasar, melainkan mendesain sistem sosio-ekonomi yang bisa mengakibatkan disintegrasi sosial: melahirkan antara yang mapan dan miskin.
Tentu akibat regulasi kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi yang diintegrasikan melalui kebijakan dalam sistem pendidikan. Sebab, jika pendidikan hanya bisa dinikmati oleh kelas sosial atas, maka kalkulasi sosial-ekonomi bahkan politik hanya dinikmati oleh kelompok sosial menengah-atas saja (oligarki dalam sosio-ekonomi).
Sedangkan bagi kelas sosial bawah akan tetap di posisinya sebagai kelompok miskin. Hal seperti itu seharusnya diperhatikan oleh masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah yang berangkat dari ‘Konsensus Washington’. Padahal, kita tahu pendidikan adalah modal bangsa yang teramat sakral. Karena sakral, tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan logika bisnis.
Kampus Merdeka
Pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2010, bisa dikatakan sebagai kemenangan para pemerhati pendidikan dan masyarakat yang menginginkan pendidikan tidak boleh mengkhianati amanat UUD 1945. Satu keberhasilan yang patut dirayakan sebagai langkah untuk tetap mengawal sistem pendidikan di republik ini. Oleh karena itu, baik pemerhati pendidikan, akademisi, dan masyarakat tidak boleh bisu; menarik diri dari persoalan. Mengingat upaya liberalisasi pendidikan tetap diselundupkan pemerintah selama Indonesia tidak bisa lepas dari kekangan lembaga multilateral: IMF, WTO, GATS, dan Bank Dunia.
Sementara itu, belum lama ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim membuat gebrakan dengan menggulirkan kebijakan Kampus Merdeka. Belakangan, gebrakan yang dibuat oleh Nadiem itu sukses membuat banyak orang mengerutkan kening. Karena dari terminologi dan istilah yang dipakai (Kampus Merdeka) terdengar revolusioner.
Mas Menteri (panggilan Nadiem) seakan-akan hendak mengaktifkan kembali ‘DNA’ kampus: kebebasan akademik. Namun, bukan itu yang dimaksud Nadiem. Kampus Merdeka ala Nadiem ialah sebuah usaha untuk mencetak mahasiswa pekerja, bukan mahasiswa pemikir. Ada empat pokok dalam kebijakan Kampus Merdeka:
- Sistem akreditasi perguruan tinggi.
- Hak belajar tiga semester di luar program studi (prodi).
- Pembukaan prodi baru.
- Kemudahan menjadi PTN-BH.
Bagi saya usaha Nadiem hanyalah turunan dari kebijakan liberalisasi pendidikan yang hanya memfokuskan manusia untuk bekerja dan menghamba pada mekanisme pasar. Pendidikan diyakini sebagai investasi di masa depan untuk menghadapi globalisasi dan pasar bebas.
Sebagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah di periode-periode sebelumnya yang pragmatisme dalam memandang pendidikan sebagai penyedia layanan jasa belaka. Usaha-usaha untuk meliberalisasikan pendidikan pada akhirnya tidak lepas dari sasaran kritik keras dari para pemerhati dan pengamat pendidikan karena mempunyai dampak sistem negatif yang luar biasa.
Sukar untuk berkata tidak dalam memberikan pandangan bahwa kebijakan Kampus Merdeka bebas dari kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Kenapa? Karena tampak jelas kebijakan tersebut hanya memandang subjek peserta didik sebagai human capital yang disiapkan sebagai calon pekerja semata.
Jika diperhatikan lebih saksama, sebenarnya cara berpikir Nadiem dengan kebijakan Kampus Merdeka cenderung kapitalistik. Pendidikan ibarat pabrik hanya memproduksi kebutuhan pasar. Di sisi lain, kuatnya opini publik yang menganggap bahwa tujuan sekolah atau pendidikan semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan layak.
Cara berpikir demikian diakibatkan dominannya budaya pragmatisme di masyarakat dan sistem pendidikan kita. Senada dengan dugaan Ariel Heryanto yang mengatakan, “Jauh-jauh hari dalam dunia pendidikan di Indonesia sendiri sudah ditanamkan semangat kapitalisme dan hukum pasar sudah diterapkan, walau pada saat itu patrimonialisme dan feodalisme politik masih menjadi payung besarnya”.
Pada dasarnya, filosofis pendidikan di bawah komando Nadiem dengan istilah Kampus Merdeka tidak sepenuhnya menjawab keresahan masyarakat dalam menyikapi persoalan sosio-politik di ruang publik. Mengingat begitu pentingnya peran kampus untuk memberi kritik dan mengolah dikursus publik dalam menanggapi persoalan bangsa.
Sebut saja undang-undang pelemahan terhadap KPK, RUU Omnibus Law yang berpotensi melanggar hak lingkungan dan hak buruh, sepi dari diskursus kampus. Sepertinya kampus telah menjadi kuburan bagi matinya lonceng kritik akademis. Di titik inilah kesadaran dinihilkan. Padahal, menurut Alvaro Viera Pinto, sebagaimana dikutip oleh Freire: secara definisi kesadaran adalah metode, dalam arti kata yang paling umum. Sebuah langkah awal dengan tindakan praksis untuk memulai perubahan.
Sementara itu, dalam kebijakan Kampus Merdeka peran antara kampus dan mahasiswa ibarat cetakan dan adonan yang mengikuti mekanisme pasar. Hal itu tercermin dari pokok-pokok kebijakan Kampus Merdeka.
Misalnya, pada pokok pertama, kampus PTN dan PTS mempunyai otonomi untuk membuka program studi baru dengan syarat; sudah menjalin kerja sama dengan organisasi/perusahaan, perguruan tinggi tersebut mempunyai akreditasi A dan B. Pada lampiran nya arahannya berbunyi: kerja sama dengan organisasi mencangkup penyusunan kurikulum, praktik kerja, dan penempatan kerja.
Jika sebelumnya hanya kampus atau universitas PTN-BH yang boleh membuka program studi baru, maka kini semua kampus mempunyai potensi membuka program studi baru dengan syarat tertentu.
Usaha untuk memprivatisasi kampus juga terlihat pada pokok ketiga. Jika sebelumnya hanya kampus mapan seperti UI, UGM, ITB, IPB yang mempunyai status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), kebijakan kali ini syarat untuk menjadi PTN-BH menjadi longgar: Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum Satuan Kerja dapat mengajukan perguruan tingginya untuk menjadi badan hukum tanpa akreditasi minimum.
Selanjutnya, PTN dapat mengajukan permohonan menjadi badan hukum kapan pun, apabila merasa sudah siap. Jika seluruh lembaga pendidikan hendak diberikan otonomi, maka artinya biaya pendidikan akan menjadi prioritas kampus untuk menampung mahasiswa baru. Dengan sendirinya sinisme di masyarakat menjadi benar; orang miskin dilarang sekolah.
Logika Kampus Merdeka yang mengutamakan ‘human capital’ dan menihilkan ‘social capital’, hanya akan menyebabkan ‘social distancing’ (mahasiswa terasing dengan realitas sosialnya). Karena bagaimanapun juga keberadaan kampus tidak bisa dilepaskan dengan historisitas masyarakatnya.
Dalam sejarah berdirinya republik ini, peran ‘kampus’ selalu berdiri di garda terdepan dalam menghadapi pergulatan momen kebangsaan. Sebut saja angkatan cendekia Budi Utomo, angkatan Sumpah Pemuda, angkatan 66, angkatan 98 yang pelaku sejarahnya ialah para kaum terdidik. Mengingat romantisme antara mahasiswa dengan ‘penguasa korup’ di berbagai momentum menandakan kampus ialah motor penggerak kebangkitan sebuah bangsa.
Selain itu, hal lain yang patut menjadi perenungan bersama akibat dari kebijakan yang pro konsep pasar ialah persoalan kampus hari-hari ini dikelola dengan logika korporat; biaya pendidikan dari tahun ke tahun akan terus melambung, sedangkan persoalan kode etik rektor mempunyai kewenangan untuk melakukan apa pun.
Bahkan tak segan ‘menggebuk’ dosen dan mahasiswa jika tidak satu garis lurus dengan aturan yang dibuatnya. Tentu kita pernah mendengar seorang dosen diberhentikan dari pekerjaannya karena mengkritik penguasa. Padahal, akan lebih bijak jika kampus netral dari dalam menyikapi isu sosial.
Sungguh sangat disesalkan jika penguasa ikut mengambil keuntungan dari peran kampus baik dengan cara ‘intervensi’ (hegemoni kekuasaan), ‘okupasi politik’ (menggaet kalangan akademisi masuk ke sistem kekuasaan), maupun dengan cara depolitisasi.
Misalnya, terjadi di kampus melalui penjinakan, dan menjadikan perguruan tinggi sebagai instrumen kekuasaan negara dalam memproduksi sistem ideologi berdasarkan kepentingannya. Di situlah matinya gema lonceng akademik, karena kritik dan aksi moral dengan turun ke jalan ialah kegiatan yang tidak sehaluan dengan instruksi penguasa.
De omnibus dubitandum
Tentu kita menyadari bangsa ini sedang menghadapi persoalan ekonomi. Berbagai persoalan menguap ke permukaan. Akan tetapi, tanpa kritisisme kampus kekuasaan akan cenderung korup.
Kekuasaan tanpa kritik hanya akan melahirkan penguasa yang otoritarian. Artinya penguasa mempunyai potensi menjadi Leviathan dalam istilah Thomas Hobbes; tidak terkontrol dalam mengeluarkan kebijakan apa pun demi kepentingan tertentu. Dan mahasiswa akan kehilangan raison d’etre-nya (kehilangan kejernihan berpikir karena hegemoni rektorat).
Kampus telah gagal menjalankan fungsi etis-humanistiknya. Lebih dari itu, juga tak kalah membelenggunya bagi kebebasan berpikir civitas akademik, karena kecenderungan rektorat yang anti-dialogis. Proses pedagogis seperti ini tidak akan bisa melahirkan critical subjectivity (kemampuan untuk melihat dunia dan persoalannya secara kritis).
Dengan demikian, Kampus Merdeka ala Nadiem bukanlah sebuah penafsiran ‘radikalisme humanis’ (humanis radikal) ala Ivan Illich. Meminjam definisi Erich Fromm tentang ‘radikalisme humanis’, yakni bukan sekumpulan ide atau konsep ideologis tertentu, melainkan sebuah proses untuk memperluas kesadaran, dan pembebasan diri dari pemikiran yang memberhalakan.
Oleh karena itu, dalam menyikapi kebijakan Kampus Merdeka perlunya mengedepankan logika de omnibus dubitandum “segala sesuatu harus diragukan”. Bukan malah sebaliknya, menggelar karpet merah dengan mendiamkan setiap kebijakan yang dibuat oleh penguasa sehingga bebas dari kritik.
Kampus Merdeka juga bukan penafsiran transformasi pembebasan ala Freire. Argumentasi Nadiem yang hendak menyederhanakan administrasi kampus justru dengan kebijakan Kampus Merdeka pada pokok keempat yang menginstruksikan peserta didik mempunyai hak untuk mengambil mata kuliah di luar program studi dan perubahan definisi satuan kredit semester (SKS) akan membuat administrasi baru yang tak kalah kompleksnya.
Kata Nadiem, “Selama ini mahasiswa hanya dilatih berenang dengan satu gaya. Dalam Kampus Merdeka, mereka diceburkan ke laut, dilatih berbagai macam keahlian supaya bisa bertahan.”
Tanpa ‘tedeng aling-aling’ kebijakan Kampus Merdeka hanya akan menjadikan kampus bukan lagi menjadi tungku perapian untuk menggodok persoalan publik, akan tetapi memanggang mahasiswa untuk memenuhi hasrat industri dan pabrik.
Pada akhirnya kita dibuat mengerti, bahwa kritisisme kampus yang berangkat bukan dari kegelisahan karena suatu persoalan yang mengemuka di ruang publik, kini berada di persimpangan jalan sunyi. Jika boleh kita namai ‘masyarakat akademis yang kesepian’. Sebab, kampus dikerdilkan dan dipisahkan dengan realitas persoalan publik.
Mahasiswa hanya disuruh menjadi penonton di atas puncak menara gading. Suatu keberhasilan pemerintah dalam usaha semacam itu ialah menjadikan mahasiswa kopong dalam menyelami persoalan sosial di tengah masyarakatnya