Setelah ratusan tahun jadi ladang kolonialis, akhirnya pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Peristiwa tersebut dilaksanakan sebagai tindakan suci agar terbebas dari praktik penjajahan serta menuju kemandirian berbangsa-bernegara.
Tahun ini kemerdekaan Indonesia masuk usia 69 tahun. Namun, mendekati perayaan ulang tahun selalu keluar pertanyaan, sudahkah Indonesia merdeka? (Sebuah pertanyaan klise yang kerap jadi bingkai pemberitaan di berbagai mass media).
Analogi cita-cita kemerdekaan seperti panggang jauh dari api. Realitas kemiskinan, kesenjangan sosial, ketimpangan pembangunan, gerakan terorisme maupun separatisme adalah indikasi betapa masih jauh makna merdeka bagi rakyat Indonesia. Seolah-olah rakyat menjadi kaum utopis bila menginginkan asa kemerdekaan.
Idealisasi Pembangunan Maritim
Realitas seperti di atas bisa dikaji dari beberapa sudut pandang. Salah satu sudut pandang yang fundamental adalah konsep pembangunan. Konsep pembangunan haruslah berdasarkan karakteristik negara. Ketidaktepatan mengkonsep bisa berbuah keburukan yang signifikan.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, konsep pembangunan idealnya bertendensi pembangunan berbasis maritim (kelautan). Dibandingkan luas daratan yang hanya 1,8 juta km2, wilayah laut Indonesia jauh lebih luas yaitu 6,1 juta juta km2 atau 77% dari total luas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Laut yang seluas itu tentu menguntungkan Indonesia secara ekonomi, sosial, budaya, politik, serta militer.
Ironis. Dalam kekayaan lautan Indonesia masih menjamur realitas kesenjangan sosial dan lain sebagainya. Apa yang salah?
Hipotesis apapun bisa mengemuka. Pun, bisa jadi kesenjangan sosial dan ekonomi selama usia kemerdekaan ini penyebabnya adalah melupakan potensi kelautan. Konsep pembangunan yang condong ke industri darat atau agraris sepertinya belum optimal memakmurkan rakyat, mengingat kandungan sumber daya alam di darat tak sekaya di lautan. Secara sederhana, kekayaan laut belum bisa dijadikan sumber kemakmuran rakyat Indonesia.
Seharusnya optimalisasi potensi kelautan bisa jadi landasan kebijakan strategis perekonomian nasional. Seperti industri garam, pengalengan ikan, kapal dan pelayaran, bahkan industri baja. Diversifikasi industri semacam itu diharapkan mampu meratakan tingkat ekonomi dari Sabang sampai Merauke.
Pemerataan ekonomi adalah kata kunci menjawab realitas kesenjangan sosial ekonomi, yang berimbas pula pada ketahanan nasional. Gerakan radikal dan separatis yang meletup patut diduga akibat kekecewaan pemerataan ekonomi, khususnya Indonesia wilayah timur. Pendekatan pembangunan harus memperhatikan betul potensi kelautan mengingat wilayah timur memiliki zona ekonomi laut yang luas. Pembangunan sukses, pemerataan ekonomi tercapai, radikalisme pun perlahan menghilang.
Ancaman ketahanan nasional pun tak hanya imbas dari kesenjangan sosial. Kerapuhan sistem keamanan maritim bisa berdampak signifikan. Ini yang harus diwaspadai, penyusupan intelijen asing yang bertujuan memecah persatuan dan kesatuan.
Rekomendasi Visi Jokowi-JK
Tak lama setelah pengumuman dan penetapan hasil pemilu presiden 2014 (22 juli 2014), presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato politik di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Tempat tersebut dipilih sebagai simbol pembangunan dunia maritim Indonesia yang dijanjikan Jokowi beserta Jusuf Kalla (JK) selama lima tahun mendatang. Ekspektasi poros maritim dunia sejatinya ingin menyadarkan rakyat bahwa kedigdayaan Indonesia ada dalam potensi kelautan.
Konsep laut sebagai pemersatu adalah pola pikir mendasar. Pola pikir ini yang seharusnya menyadarkan tiap insan, jika Indonesia kuat di laut maka persatuan dan kesatuan bangsa akan tercapai. Ini yang harus dipegang Jokowi-JK bila menginginkan poros maritim dunia.
Adapun guna merealisasikan visi kemaritiman perlu kebijakan taktis berupa pengendalian pemanfaatan tata ruang dan pengelolaan energi. Tata ruang harus jelas dan tegas untuk menunjang infrastruktur dan industri maritim. Lalu, urgensi kebijakan subsidi energi guna mempercepat industrialisasi tersebut.
Sejarah pun patut dipelajari Jokowi-JK. Kerajaan Nusantara yang jadi cikal bakal negara Indonesia, seperti Sriwijaya dan Majapahit pernah berjaya di masanya dengan mengandalkan kekuatan maritim. Seorang filsuf Prancis, Ernest Renan pun berucap bahwa pemersatu bangsa bukanlah kesamaan bahasa atau kesamaan suku-bangsa, tetapi tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keinginan untuk mencapainya lagi di masa depan.
Komitmen pembangunan poros maritim dunia semoga menjadi momentum guna memberikan arti merdeka yang sesungguhnya bagi rakyat Indonesia. Sebab pembangunan maritim yang kuat berakibat pada kemampuan mempertahankan kedaulatan ke dalam (internal sovereignty) dan kedaulatan ke luar (external sovereignty).
Semoga apa yang dijanjikan Jokowi-JK tak sekedar lips service.
(Muhammad Hanif Alwasi/Redaktur Artistik LPM HIMMAH UII/ Mahasiswa Arsitektur UII 2010)