Neraca Peradilan

Sudah sepekan lebih sejak penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar di rumah dinasnya, di Jl. Widya Chandra, Jakarta Selatan pada Rabu (2/10) lalu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik Indonesia, bahkan dunia tercengang dengan skandal korupsi yang menjerat Akil Mochtar. Kasus ini pun menjadi wajah di pemberitaan media nasional maupun internasional. Ironis. Bagaimana bisa seorang pemimpin lembaga peradilan tertinggi negara bisa terjerat kasus suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah serta Lebak, Banten.

Jika tidak serakah, kasus suap yang menelan hingga 3 milyar rupiah ini tidak akan terjadi. Banyak kecaman yang datang dari berbagai kalangan masyarakat disamping mereka juga mengakui kecekatan dan keberanian KPK dalam menguak kasus ini.

Terkuaknya skandal suap ini seolah melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum di Indonesia. Jika kepala lembaga hukum tertinggi saja bisa terjerat kasus kriminal, bagaimana dengan lembaga hukum di bawahnya? Untuk itulah seharusnya pengawasan terhadap lapisan peradilan di Indonesia harus lebih diperketat lagi.

Menolak tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi harga mati. Hukum juga harus membutakan diri dari penyimpangan keadilan. Sudah semestinya hukum peradilan mampu merefleksikan neraca yang kedua sisinya kosong sehingga seimbang. Meyakini, berpikir, dan melaksanakan makna neraca ini setidaknya menjadi pondasi awal untuk membangun hukum negeri yang lebih adil. Sebab, melihat ambruknya benteng MK sekarang, alangkah pantasnya lembaga peradilan memperbaiki martabatnya terlebih dahulu sebelum menjalankan fungsinya dalam mengadili masyarakat.

Skip to content