Pada awal bulan Mei, politik di Asia Tenggara dikejutkan dengan kemenangan koalisi partai oposisi dalam Pemlihan Umum (Pemilu) di Malaysia dan Timor Leste. Koalisi Pakatan Harapan dibawah komando Mahathir Muhammad berhasil mengalahkan Barisan Nasional yang telah berkuasa dalam politik Malaysia sejak negara tersebut didirikan.
Sedangkan di Timor Leste, mantan Perdana Menteri Timor Leste dan juga oposisi yang berkuasa pada 2007 sampai 2015, Xanana Gusmao dengan Aliansi Perubahan dan Kemajuan (AMP) kembali menjadi Perdana Menteri.
Hasil yang didapat dalam pemilihan umum kedua negara tetangga Indonesia ini, tentu memberikan peringatan bagi pemerintahan Jokowi. Dengan kemenangan yang didapatkan oleh oposisi di kedua negara, telah memberikan angin segar bagi kubu oposisi Jokowi yang menginginkan kemenangan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019.
Namun, pertanyaannya adalah, seberapa berpengaruhkah kemenangan oposisi di negara tetangga terhadap Pilpres Indonesia tahun 2019?
Faktor Psikologis
Kemenangan oposisi di negara tetangga tentu akan membawa dampak psikologis bagi oposisi di Indonesia. Oposisi di Indonesia sedang panas-panasnya untuk dapat mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Jokowi. Mulai dari kritikan-kritikan pedas terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan dan keadaan negara, hingga melalui gerakan sosial #2019gantiPresiden.
Seluruh upaya ini terasa belum cukup efektif untuk menaikkan daya tawar oposisi melihat dari beberapa survey yang memperlihatkan kekuatan oposisi masih kalah oleh kekuatan yang dimiliki petahana. Elektabilitas dari calon-calon yang dimiliki oleh oposisi masih kalah jauh dari elektabilitas Presiden Jokowi.
Namun, dengan kemenangan oposisi di negara tetangga, akan memberikan dampak psikologis bagi oposisi dan pendukungnya untuk dapat mendapatkan kemenangan pada tahun 2019. Faktor psikologis ini sangat bisa mempengaruhi pergerakan oposisi dan pendukungnya untuk semakin masif menjalankan upaya-upaya politiknya, dengan harapan efek domino kemenangan oposisi di negara tetangga dapat terjadi juga di Indonesia.
Kemenangan oposisi negara tetangga telah mengalahkan petahana dapat dijadikan sebagai isi kampanye dan diharapkan dapat menambah semangat baru bagi pendukung oposisi di Indonesia.
Faktor psikologis ini juga harus diwaspadai oleh pemerintahan Jokowi. Jokowi harus memastikan bahwa faktor ini tidak akan berdampak besar bagi elektabilitasnya. Secara langsung kemenangan oposisi di negara tetangga tidak akan berdampak bagi kekuatan Jokowi. Namun, Jokowi harus melihat ini sebagai sebuah ancaman bagi posisinya pada pemilihan presiden nantinya.
Gelombang psikologis ini telah dirasakan di beberapa negara, gelombang populisme di Inggris dan kemenagan Trump adalah salah satu bagian dari gelombang psikologis politik yang terjadi. Hal ini juga terjadi di beberapa negara di Amerika Latin dengan kekalahan beberapa Partai sayap kiri yang telah berkuasa lebih dari satu dekade.
Faktor Ekonomi
Pemilu di Malaysia dan Timor leste dilaksanakan pada masa ekonomi yang relatif sedang tidak baik. Najib Razak di Malaysia dihadapkan pada kondisi masalah ekonomi yang kurang baik seperti harga barang yang tinggi, masalah kebijakan pajak yang dikeluarkannya, dan ditambah kasus 1MDB yang mengenai dirinya. Sedangkan di Timor leste, pemerintahan Alkatiri mengahadapi tekanan publik terkait pengangguran dan juga mengatasi masalah defisit anggaran dan investasi.
Tekanan masalah ekonomi memang seringkali menjadi salah satu faktor yang dapat memperkuat posisi oposisi. Kegagalan petahana untuk mengatasi permasalahan ekonomi negara sering dijadikan senjata oleh oposisi untuk menekan pemerintahan yang pada akhirnya dapat membalikkan keadaan politik di sebuah negara.
Selain itu, masalah ekonomi seperti yang dialami oleh Malaysia dan Timor leste adalah masalah yang langsung berkenaan dengan masyarakat banyak, sehingga akan sangat mudah untuk dijadikan senjata kampanye oleh oposisi. Dengan keadaan ekonomi yang sulit dibawah pemerintahan petahana, ditambah dengan kuatnya oposisi akan sangat mungkin pemilih akan menjatuhkan pilihannya kepada oposisi.
Faktor ekonomi ini menjadi lebih berpengaruh bagi Jokowi. Jokowi pada beberapa waktu belakangan didera kritik tajam terkait penanganan ekonomi. Hutang negara yang membesar, tenaga kerja asing, hingga melemahnya nilai tukar rupiah bisa menjadi kendala bagi Jokowi dalam kompetisi elektoral 2019. Kondisi ini apabila tidak mendapatkan perhatian lebih dari Jokowi dalam mengatasinya menjelang pemilihan, dapat saja menggeser peta pemilih Jokowi yang selama ini merasa puas atas pemerintahan Jokowi.
Masalah ekonomi ini sepertinya akan menjadi isu penjagalan jokowi yang paling besar dibandingkan isu-isu lain yang dialamatkan kepada Jokowi, seperti anti-Islam, PKI, antek asing, yang telah lama dijadikan bahan kampanye. Hal ini dikarenakan isu-isu lainnya sudah mulai basi di masyarakat akibat kurangnya bukti dan ditambah seringnya Jokowi menyangkal hal tersebut.
Berbeda dengan masalah ekonomi yang ada. Terkait antek asing, dalam kampanyenya, Mahatir ingin meninjau ulang investasi Tiongkok di Malaysia yang dianggap tidak efektif. . Sedangkan Jokowi sering diberitakan memiliki kedekatan khusus dengan Tiongkok, di tengah sentimen anti-Tiongkok yang ada di Indonesia. Kemenangan Mahatir bisa saja berdampak pada tingkat kepopuleran kebijakan Jokowi.
Faktor Mantan Pemimpin
Hal terakhir yang menarik dari kemenangan oposisi di dua negara tetangga ini adalah kembalinya mantan pemimpin yang sebelumnya pernah memimpin negara Malaysia dan Timor Lester. Mahatir adalah perdana menteri terlama yang dimiliki Malaysia, sedangkan Xanana adalah mantan Presiden dan juga Perdana Menteri Timor Lester di awal-awal negara tersebut resmi keluar dari Indonesia
Euforia “nostalgia” negara-negara tetangga ini sepertinya tidak akan terjangkit ke Indonesia, mengingat tidak ada lagi mantan Presiden Indonesia yang maju dalam pilpres 2019. Namun hal ini bisa saja menjadi daya tarik pada pemilihan legislatif, paling tidak ada tiga Partai Politik yang berafiliasi terhadap mantan Presiden Indonesia. PDI-P dengan Megawati-nya, Demokrat dengan SBY-nya, dan satu partai baru, Partai Berkarya yang sering menjadikan Soeharto sebagai bagian dari kampanyenya.
Namun, pada pemilihan legislatif kali ini baik PDI-P dan Demokrat tidak menjadikan ketua umumnya sebagai tokoh partai untuk mendulang suara partainya. PDI-P masih menjual Jokowi, dan Demokrat sedang getol-getolnya menjual nama AHY. Sedangkan bagi Partai Berkarya, rasanya akan sangat sulit mendapatkan suara apabila hanya menjual nama besar Soeharto.
Maka akan sangat menarik kemudian melihat seberapa besar pengaruh kemenagan oposisi negara tetangga ini terhadap politik di Indonesia pada tahun 2019. Akankah Indonesia akan terkena efek dominonya?