Judul: Merasa Pintar, Bodoh saja Tak Punya
Penulis: Rusdi Mathari
Penerbit: Mojok
Tahun: 2016
Tebal: xviii + 226 halaman
ISBN: 978-602-1318-40-9
Seperti Cak Nun dengan Markesot-nya, Cak Dlahom merupakan tokoh fiktif yang Rusdi Mathari ciptakan sebagai pengirim pesan kehidupan beragama di setiap ceritanya dalam buku “Merasa Pintar, Bodoh saja Tak Punya”.
Cerita-cerita tentang Cak Dlahom mulanya merupakan tulisan berseri di situs Mojok.co sebagai serial Ramadan pada tahun 2015 dan 2016. Buku yang berkisah tentang kejadian sehari-hari di sebuah desa di Madura ini memiliki dua bagian, yaitu Ramadan Pertama dan Ramadan Kedua.
Bersama tokoh lain seperti Mat Piti, Romlah, dan Gus Mut, Cak Dlahom yang menjadi sentra cerita seringkali menjadi komentator atau penyulut perbincangan bersubstansi agama di desa. Dari perbincangan itulah, tetangga Cak Dlahom mulai merubah perspektif mereka tentang kehidupan beragama.
Dari kisahnya, dapat dilihat bahwa Cak Dlahom memang terlihat beda dari orang biasanya, pemikiran dan tingkahnya sedikit aneh. Dalam menyampaikan pesan, dia acap kali menggunakan hal-hal konyol. Seperti mengaku anjing, membawa tanah kuburan ke masjid, bahkan telanjang bulat di balik mimbar.
Namun, di balik penggambaran karakter Cak Dlahom tersebut selalu muncul cerita-cerita agama, kehidupan, dan kemanusiaan yang memiliki makna amat dalam dan seringkali menjadi tamparan bagi para pembaca.
Seperti dalam kisah berjudul “Cak Dlahom Mengaku Anjing”, yang pesannya sangat relevan dengan kondisi sekitar kita akhir-akhir ini.
…
“Anjing ini aku, Mat.”
“Sampean ini suka aneh-aneh, Cak. Sekarang malah ngaku-aku anjing.”
…
“Bagaimana kalau aku ternyata benar adalah anjing, Mat?”
“Ya saya ndak berani bilang apa-apa, Cak.”
“Sama, Mat. Aku juga tak berani memberi cap kepada siapa pun dengan apa pun. Puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri.”
…
Tentu Cak Dlahom bukan sedang mencari perhatian dengan mengaku-ngaku sebagai anjing. Cak Dlahom berusaha mengingatkan untuk kita lebih rendah hati dan tidak merasa paling mulia agar tidak muncul sikap mudah melabeli atau memberi cap terhadap orang lain.
Seperti yang diketahui bersama, saat ini baik dari balik akun sosial media sampai di atas mimbar terkadang seseorang dengan sangat mudahnya melabeli orang lain, dengan sebutan yang kurang pantas dilontarkan oleh orang yang mengaku beragama hanya karena berbeda perspektif. Mulai dari sebutan kafir, sesat, bahkan kata-kata kasar.
Dalam kisah lain yang berjudul “Membakar Surga, Menyiram Neraka”, dikisahkan masyarakat abai terhadap nasib Sarkum dan ibunya yang kesusahan.
Cak Dlahom lari-lari di sekitar masjid sembari membawa obor dan terus berteriak “celaka…”, hal tersebut Cak Dlahom lakukan sejak habis tarawih sampai subuh. Tentu hal tersebut ditujukan untuk mereka yang sedang khusyuk beribadah di masjid.
Saat ditemui oleh Mat Piti dan dimintai penjelasan beliau mengatakan, “Salatmu dan sebagainya adalah urusanmu dengan Allah, tapi Sarkum yang yatim dan ibunya yang kere mestinya adalah urusan kita semua.”
Saya langsung merenungi ucapan Cak Dlahom dan kembali melihat esensi diri sebagai manusia. Mengaku beragama dan merasa telah menjalankan habluminallah dengan taat beribadah, namun kekhusyukan dalam menjalankan ibadah ternyata acap kali meninggalkan perintah Allah yang lain untuk ber-habluminannas.
Begitu pun dalam kisah “Dia Sakit dan Kamu Sibuk Membangun Masjid”. Suatu waktu masyarakat di desa sedang sibuk merenovasi masjid, di tengah kesibukan itu istri Bunali (ibunda Sarkum) meninggal dunia dengan cara gantung diri.
Jika biasanya orang mati didoakan agar diampuni dosanya, tapi tidak dengan Cak Dlahom. Setelah pemakaman usai, beliau justru minta diampuni untuk dirinya dan warga desa karena kematian istri Bunali sambil memukul-mukul kuburan dan menangis.
Saat masyarakat sibuk di masjid yang hendak direnovasi, Cak Dlahom membawa tanah kuburan istri Bunali ke masjid sembari mengoceh.
“…diajak aktif membangun masjid, tapi membiarkan orang-orang seperti isteri Bunali terus tak berdaya lalu mati. Diajak rela menyodorkan sumbangan ke mana-mana untuk membangun masjid, tapi membiarkan Sarkum anak Bunali tidak bersekolah dan kelaparan. Kita bahkan tidak pernah menjenguknya. Tidak pernah tahu keadaan mereka. Lalu apa sesungguhnya arti masjid ini bagi kita? Apa arti kita bagi masjid ini?”
Sekali lagi kita ditampar oleh Cak Dlahom. Lebih mementingkan menggelontorkan dana yang banyak untuk membangun masjid yang mewah, namun lupa memikirkan nasib orang lain yang kere dan kelaparan.
“Kita rajin berdoa’a di masjid dan, lalu merasa bertemu Allah. Padahal ketika Allah kelaparan, kita tidak pernah memberi makan. Allah sakit tidak menjenguk”, seru Cak Dlahom di akhir kisah tersebut.
Kisah-kisah yang dituliskan Cak Rusdi mengingatkan bahwa Islam tak sebatas urusan kita dengan Allah semata. Ucapan, perilaku, kasih sayang, serta cara kita menghargai maupun menghormati pendapat dan hak orang lain adalah bagian dari Islam.
Seperti pesan yang disampaikan dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 107, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak diutus melainkan sebagai rahmat bagi semesta. Hal itu hanya akan terwujud jika umatnya dapat merepresentasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan di dunia dengan baik.
Buku ini sangat bagus juga menampar. Dengan menggunakan bahasa dan contoh kisah yang populer sekaligus cenderung guyonan menjadikan buku ini enak dibaca dan mudah dipahami, sehingga pesan yang terkandung mudah dicerna. Namun, di beberapa judul pengantar cerita terlalu panjang, sehingga membuat bosan.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip penggalan kata-kata Cak Dlahom agar kita senantiasa rendah hati dan tidak merasa menjadi makhluk Allah yang paling baik.
“…Saya memang sesat. Karena itu Allah mewajibkan saya untuk selalu membaca ‘Tunjukanlah aku jalan yang lurus’ setiap kali saya salat. Tujuh belas kali sehari semalam.”
Al-Fatihah untuk Cak Rusdi yang telah lebih dulu pergi meninggalkan kisah-kisah inspiratif yang saban hari pesannya terasa semakin relevan. Rusdi Mathari (1967-2018).