Pers Kampus: Jurnalisme Berbasis Kerakyatan, Bukan Berbasis Keuntungan

Pers kampus pasca 1998 (hingga kini) memang sedang berada di posisi yang ‘sangat menyakitkan hati’. Jika tahun-tahun sebelumnya pers kampus menjadi pujaan karena keberaniannya, semenjak pemerintah memberikan kebebasan pers, maka pers kampus berubah menjadi bayangan

Kebebasan pers membuat pers umum lebih berani untuk mengurai berbagai isu lokal hingga isu nasional dengan ruang gerak yang jauh lebih bebas daripada ruang gerak mahasiswa, sebab peran gandanya sebagai ‘Jurnalis Kampus’ (yang sering dipandang sebagai ‘Jurnalis Amatiran’, padahal memproduksi tulisan-tulisan yang sering membuat takut pemerintahan) sekaligus sebagai mahasiswa yang dituntut untuk segera ‘meninggalkan kampus’ (dibaca: ‘lulus’). Lalu, benarkah pers kampus telah dipinggirkan oleh pers umum?

Pers Kampus Seharusnya Lebih Dipercaya karena Tidak Ditunggangi Kepentingan, Baik Kepentingan Ekonomis Maupun Politis

Pers kampus patut berbangga sebab menjadi salah satu media (mungkin the one and only) dengan nilai objektivitas yang paling murni. Hal tersebut karena pers kampus berdiri secara independen (diolah oleh mahasiswa sendiri dengan bantuan dana dari kampus yang terkadang ‘sering hangus’), sukarela alias tidak digaji (satu-satunya gaji tertinggi untuk pengelola pers kampus adalah pengalaman, pahala, dan surga. Amin), dan tanpa ditunggangi kepentingan. 

Di satu sisi, hal ini terasa seperti sebuah kelemahan (sulit sekali menemui orang yang rela bekerja membanting tulang seharian dengan gaji pahala); namun di sisi lainnya, hal ini justru menjadi keuntungan bagi pers kampus. 

Kemandirian pers kampus dapat membuka kesempatan yang sangat lebar dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan bangsa. Sebab satu-satunya tujuan pers kampus adalah mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta melalui kata (sesuai dengan Mars Mahasiswa). 

Keuntungan inilah yang tidak dimiliki oleh pers umum. Sebab sekuat apapun pers umum ingin memperjuangkan keadilan; keuntungan tetap menjadi prioritas puncak bagi pers umum untuk menjamin kelangsungan hidup para pekerja sekaligus keluarganya. 

Menyajikan Berita Atas Dasar Demokrasi, bukan Atas Dasar Kepentingan Pribadi

Kemandirian dan ketulusan pers kampus dalam menyajikan berita sama sekali tidak mendapatkan keuntungan kecuali hanya untuk menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Hal ini telah dibuktikan oleh beberapa pers kampus di Indonesia yang telah memperjuangkan kepentingan di pembuka dan penutup tahun 2019 lalu. 

Di pembuka tahun 2019 (sebenarnya dimulai sejak November 2018 dan diputuskan di Februari 2019), pers kampus Balairung Universitas Gadjah Mada mengungkap ‘kejadian menyakitkan’ (penyebutan istilah ini dilandasi oleh pernyataan Kapolda bahwa tidak ada tindakan perkosaan dan pelecehan) seorang mahasiswa ketika melaksanakan KKN di Maluku pada tahun 2017. 

Balairung (lebih tepatnya Citra Maudy dengan judul tulisan Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan) memilih tetap mengungkap kebenaran ke khalayak ramai, meskipun hal tersebut dapat mempertaruhkan nama besar almamater kampus. Tak hanya itu, sebab berita heboh tersebut, penulis harus rela dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. 

Di penutup tahun 2019, lagi-lagi pers kampus menunjukkan kepeduliannya terhadap rakyat lewat gerakan serta perlawanan yang bertajuk Reformasi Dikorupsi. Hampir seluruh anggota pers kampus (seperti LPM Siar Univesitas Negeri Malang dan LPM Perspektif Universitas Brawijaya) se-nusantara ikut turun ke jalanan-jalanan di penjuru kota ibu pertiwi demi kesejahteraan rakyat Indonesia. 

Kebijakan-kebijakan dari pemangku kepentingan yang dianggap merugikan rakyat dibela mati-matian oleh aliansi mahasiswa seluruh Indonesia. Tak hanya itu, beberapa mahasiswa harus rela meregang nyawa demi senyum bahagia Negerinya (Bagus Putra Mahendra, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, Randy, dan Yusuf Kardawi; terima kasih atas cinta, setia, jiwa, dan raga yang tak akan pernah sia-sia). 

Akhir kata; di tengah digitalisasi seperti saat ini, sanggupkah kita kehilangan pers kampus yang kesetiaannya tak pernah hangus? Mari sepakat berkata, “Tidak! Pers Kampus akan tetap baik-baik saja dan akan terus seperti itu!”.

Pers Kampus Sudah Seharusnya Menjadi Kritikus Kampus, Bukan Iklanus Kampus

Pemahaman yang sering disalahartikan oleh sebagian orang adalah mengkritik berarti menghujat, mencacat, bahkan melaknat; padahal hakikat makna dari kata ‘mengkritik’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mengupas yang terkadang disertai sebuah uraian tentang baik dan buruk suatu hal (baik karya, pendapat, dan sebagainya). 

Oleh sebab itu, pemahaman yang kurang tepat tentang hakikat ‘mengkritik’ perlu diluruskan bahwa kritikan diajukan bukan atas dasar kebencian, tetapi justru atas dasar kepedulian. Kritikan tak melulu tentang keburukan dan kesalahan, tetapi kritikan juga perihal tentang kebaikan dan keunggulan. 

Tiada keburukan yang tanpa kebaikan, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh; seburuk-buruknya kotoran sapi, ia tetap bermanfaat sebagai pupuk. Begitu juga seindah-indahnya mawar, ia tetap menjanjikan luka lewat durinya. Sederhananya: manusia (termasuk segala hal yang mengelilinginya; seperti lingkungan, pendidikan, dan Negara) memang perlu dikritik agar dapat dengan jelas membedakan antara yang layak dan yang balak ‘musibah’.

Setiap hal memiliki kritikusnya masing-masing. Sastra memiliki kritikus sastra, politik memiliki kritikus politik, dan kampus juga memiliki kritikus kampus yang masyhur dikenal dengan sebutan “Pers Kampus”. 

Kampus Perlu Dikritik Agar Tetap (Selalu) Baik

Pers kampus menjadi satu di antara hal yang paling ditakuti oleh birokrasi kampus, sebab dari pers kampus lah citra birokrasi kampus tercermin. Pers kampus tidak perlu ‘merasa bersalah’ atau sungkan karena kritikannya terhadap kampus (sebab pendanaan penerbitan majalah dan sebagainya bersumber dari kampus), sebab kampus yang berani dengan tangan terbuka menerima kritikan akan berpotensi menjadi kampus idaman. 

Posisi pers kampus dalam lingkungan akademik memang sudah seharusnya menjadi kritikus, bukan iklanus. Kampus telah diiklankan oleh bagian humas. Jika pers kampus ikut-ikutan menjadi iklanus, maka humas akan kehilangan bidang garapnya. Oleh sebab itu, pers kampus sebagai kritikus dan humas sebagai iklanus akan menciptakan keseimbangan di dalam lingkungan akademis. 

Peran pers kampus dalam menyajikan uraian informasi tentang kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan di dalam birokrasi kampus, dapat membantu mahasiswa-mahasiswa yang kurang literate terhadap konsep dan dampak yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan tersebut. Mahasiswa sebagai agent of change diharuskan mampu menelaah lebih jauh perihal keharusan dan kelayakan sebuah kebijakan. 

Beberapa pertanyaan mendasar yang dapat diajukan untuk menelaahnya seperti: jika kebijakan tersebut baik, apakah memang perlu dilakukan? Sebab tidak semua hal baik harus dilakukan (misalnya sedekah uang bagi yang tidak punya uang adalah hal yang perlu dihindari), jika kebijakan tersebut perlu dilakukan, apakah kondisi sosio-kultural kampus cocok untuk melaksanakan kebijakan tersebut? 

Sebab peribahasa telah menyebutkan lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, dan beberapa pertanyaan mendasar lainnya (tidak mungkin disebutkan semuanya di dalam tulisan ini). 

Pers Kampus Itu Penjaga, Bukan Hanya Sekadar Penyedia Berita

Setiap hal butuh dijaga, sebab tidak ada hal yang benar-benar aman di dunia ini. Bahkan urusan iman saja belum tentu aman. Pers kampus sebagai media informasi kampus dituntut untuk tidak hanya sekadar menyajikan berita, tetapi juga menjaga situasi yang tidak ideal di kampus melalui bahasa. 

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Antonio Gramsci dalam Nezar Patria (1999) bahwa media dapat menjadi sarana keabadian kekuasaan sekaligus alat resistensi kekuasaan, sehingga pers kampus perlu merasa resah ketika dihadapkan dengan situasi-situasi kampus yang mengomersialisasikan dunia pendidikan (meminjam istilah Bung Wisnu Prasetyo Utomo dalam tulisannya). 

Keresahan-keresahan yang tertuang dalam sebuah tulisan itulah yang mampu menyuarakan hal-hal yang tidak bersuara, entah karena terpendam atau memang sengaja dibungkam!

*Analisis/Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Skip to content