Puasa Ala Tuhan

Judul               : Tuhan Pun Berpuasa

Penulis             : Emha Ainun Nadjib

Halaman          : 236

Tahun              : 2012

Penerbit           : Kompas

Ada yang berbeda dalam buku “Tuhan Pun Berpuasa” karya Emha Ainun Nadjib atau biasa dipanggil Cak Nun ini dalam memaknai puasa, saat berbicara definisi puasa saya mendefinisikan puasa sebagai salah satu ibadah wajib umat islam yaitu tidak makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, mungkin itu definisi yang sangat konvesional namun Cak Nun memaknai lebih dari itu. Seperti dalam prolog sebagai contoh salah satunya Cak Nun memaknai puasa adalah pekerjaan menumpahkan ditengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan ditengah tradisi melampiaskan.

Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini:budaya ekonomi-industri-konsumsi kita mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama menganjurkan manusia untuk mengendalikan. Orang-orang menjual segala sesuatu dan membeli segala sesuatu yang penting-tidaknya ditentukan tidak oleh akal sehat dan kewajaran hidup, tetapi oleh berita-berita dan video klip takhayul-takhayul artifisial. Kalau kedua arus itu sama-sama menemukan lembaga dan kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik peradaban akan serius. Makna puasa semacam itu bisa kita perluas dan kita terapkan dalam berbagai sektor keterlibatan hidup kita.

Puasa juga merupakan ibadah khusus yang bahkan Allah sendiri memberi contoh-contoh dahsyat dan luar biasa soal mengendalikan diri. Dengan amat setia Allah menerbitkan matahari tanpa peduli apakah kita pernah mensyukuri terbitnya atau tidak. Allah berpuasa menahan diri dari murka-Nya terhadap manusia.

Secara keseluruhan tulisan-tulisan Cak Nun yang terhimpun dalam buku ini berbicara tentang nilai-nilai dibalik ibadah puasa, mulai dari nilai spiritual, nilai-nilai sosial-budaya, hingga nilai pengasahan dan pengembangan kualitas personal manusia. Diluar sebagai ibadah wajib, puasa juga merupakan metode untuk mengembangkan kualitas diri dan metode untuk meningkatkan pelbagai kepekaan sosial-budaya seseorang. Pengalaman dan pemaknaan atas puasa seperti yang dikemukakan Cak Nun dalam buku ini kiranya merupakan poin-poin yang bukan sekedar tetap relevan untuk zaman kekinian ini, melainkan barangkali justru semakin dibutuhkan.

Cak Nun memulai memaknai puasa dari posisi sentral puasa sebagai rukun islam dan hubungannya dengan rukun-rukun yang lainnya, kemudian menceritakan realita-realita yang terjadi pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, serta mencoba memahami dan memaparkan makna realita ini dari hasil pengalamannya sendiri.

Walaupun buku ini pernah terbit dua kali yaitu pada tahun 1996 dan 2005, namun pemaparan dengan menggunakan bahasa yang menarik dan ringan membuat buku ini tak lekang oleh zaman untuk patut dibaca bagi siapa saja yang ingin mengetahui sisi lain dari ibadah puasa dari persepsi dan pengalaman Cak Nun.

Karena buku ini hanya dari sudut pandang dan pengalaman penulis semata sehingga tidak mewakili realita puasa seluruhnya, hanya memaparkan sebagian lingkungan di daerah Indonesia namun konteks yang terjadi sesuai dengan keadaan lingkungan yang sebenarnya terjadi dan beberapa kosa kata yang sulit dimengerti mengharuskan pembaca beberapa kali membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk mengerti maksud penulis.

Skip to content