Di sebuah toko buku, tak jauh dari Taman Victoria. Saya menyisir rak-rak buku berbahasa Inggris. Ketika memasuki lorong bagian fiksi, satu buku menarik perhatian saya. Buku itu bertajuk Poems of the Great War: 1914-1918. Sebuah antologi karya puisi berbahasa Inggris di masa-masa pelik Perang Dunia II.
Buku itu pun saya beli. Ia menemani perjalanan pulang. Lembar demi lembar puisi berganti. Hingga kepala saya terantuk oleh satu pertanyaan: dapatkah kita memahami politik dunia melalui puisi?
Sebagai pembelajar Hubungan Internasional, memahami dunia acapkali terpaku pada sistem yang mekanistik. Peristiwa tidak dilihat dari sudut rasa, tetapi dalam lembah mekanisme kausal. Ketika satu variabel bergeser, variabel lain ikut berubah. Di lain waktu, kita melihat dunia laksana struktur. Ia menjadi penentu arah gerak aktor-aktor yang bekerja.
Positivisme memang amat ampuh untuk memojokkan rasa hingga lumpuh. Seorang peneliti yang serius, konon, harus menanggalkan persona diri dari yang diteliti. Sebab objektivitas adalah segalanya, katanya demikian. Tanpa objektivitas, maka yang kita tulis hanya cerita, bukan ilmu pengetahuan.
Jasa Positivisme memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Kita telah mampu memahami banyak peristiwa dan mengatur strategi untuk masa di hadapan. Tetapi, sudut rasa itu sesekali berdenting. Meresonansi relung kecil yang berulang kali diabaikan dengan sengaja. Ia menjadi variabel yang ‘ceteris paribus’, dalam bahasa para Ekonom.
Betapapun, rasa itu tetaplah ada. Puisi, bersama dengan ragam seni lainnya, menjadi salah satu penyalur rasa dari dalam jiwa ke tengah dunia.
Puisi dan Politik Global
Dapatkah puisi menjelaskan Hubungan Internasional? Banyak kalangan skeptis ketika berusaha menjawab pertanyaan ini. Perang adalah pertarungan antar negara merebut kuasa. Maka yang tampak penting ialah bagaimana ia menyusun strategi, membangun koalisi, hingga menambah amunisi. Jika demikian, di manakah letak puisi?
Dengan pencarian sederhana pada Google Cendekia, memasukkan kata kunci “poetry” dan “international relations” secara bersamaan akan menyajikan sekira 150 ribu artikel. Ini terhitung sedikit jika dibandingkan dengan bahasan tradisional dalam Hubungan Internasional, seperti “war” atau “development”. Itu pun didominasi oleh artikel yang tampak tidak begitu relevan.
Di tengah keringnya khazanah Hubungan Internasional yang membahas puisi, Jurnal Alternatives pernah mendedikasikan sebuah edisi spesial Poetic World Politics pada tahun 2000 silam. Berpagi-pagi, Roland Bleiker selaku editor dalam artikel mukadimah di edisi spesial tersebut sudah menarik garis demarkasi antara kaca mata sastrawan dengan akademisi Hubungan Internasional. Ia menyebut bahwa esensi pembacaan terhadap puisi berada pada kesadaran diri akan keterhubungan antara bahasa dengan realitas sosio-politik.
Dengan begitu, kita dapat menarik simpul pertama untuk memahami bagaimana puisi menjadi cermin atas nuansa dunia, diksi, rima, hingga jeda adalah jendela pembuka. Dari situ, barulah kita memasuki bangunan dunia yang berada dalam imaji penulis. Hingga satu per satu bait membuka pintu tiap ruang yang berada di dalamnya.
Dalam kaca mata yang lebih luas, kita bisa melihat tempat puisi dalam Hubungan Internasional melalui debat Teori Kritis yang ingin membaca Estetika dalam Hubungan Internasional. Tulisan Bleiker lain di tahun 2001 sedang memanggil sebuah gerak The Aesthetic Turn in International Political Theory. Tulisan ini memperkaya debat Pasca-Positivisme dalam Teori Hubungan Internasional.
Alih-alih mengikuti Positivisme yang acapkali melihat cara kita memandang dunia dari kaca mata mimetics, Bleiker mengajak kita untuk melihatnya dari sudut pandang aesthetics. Dalam arti, ketika kita melihat dunia, kita tidak sedang merefleksikan pandangan kita atas realita. Akan tetapi, sebagai bentuk cipta-dunia (world-making) yang berada dalam alam pikir kita.
Barangkali, di sinilah tempat kita meletakkan puisi ketika mencoba memahami politik dunia. Bait-baitnya adalah pengejawantahan atas alam pikiran ketika memahami dunia, sekaligus menjadi perantara untuk membentuk dunia yang ada dalam kepala.
Resonansi Rasa
Ketika Perang bergerilya merebut kuasa, betapapun negara muncul sebagai juara, ia tetap membuka luka menganga. Pujangga Inggris Ivor Gurney dalam puisinya To His Love, salah satu puisi yang terpetik dalam Poems of the Great War, bisa menjadi salah satu penunjuk rekahan luka itu.
He’s gone, and all our plans
Are useless indeed.
Demikian ia membuka. Mewakili duka para kekasih yang ditinggal potongan hatinya pergi perang dan pulang hanya tertinggal nama.
Cover him, cover him soon!
And with thick-set
Masses of Memoried flowers –
Hide the red wet
Things I must somehow forget
Tutup Gurney untuk puisinya. Membawa pembaca pada duka yang mesti segera dilupa. Sebab betapapun hidup harus berjalan. Sementara para pemimpin yang merayakan kemenangan pun tidak akan demikian sentimentil untuk mengingat satu prajuritnya mati di medan laga.
Puisi tidak hanya mewakili perang di episentrum dunia, setidaknya demikian jika melihat buku dan artikel Hubungan Internasional yang membahas puisi. Di perifer dunia dalam pandangan bangsa Eropa, puisi juga turut menjadi perwakilan rasa dalam pelik gerilya.
Dalam puisi Diponegoro yang dipena oleh Chairil Anwar,
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Menjadi pengantar untuk membawa pembaca menuju
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasa
Hingga akhirnya menutup dengan hentakan
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Masih merujuk pada Bleiker, di sinilah pentingnya puisi dalam Hubungan Internasional. Sebab, antara estetika dengan substansi tiada jurang yang memisah di antara keduanya. Bahasa menyediakan ruang untuk eksplorasi estetika yang memantulkan hingar-bingar politik yang menjadi substansi.
Di manakah substansi yang mewakili estetika tersebut? Barangkali resonansi rasa adalah jawabannya. Meski dalam narasi politik global puisi hanya akan menjadi catatan tepi, ia tetap menjadi wakil setia bagi rasa yang hilang oleh kuasa. Puisi mewakili rasa yang hilang dalam gejolak perang. Apalah lagi dalam laga pelik politik merebut kuasa. Sebab, betapapun para penguasa bertarung memperebutkan kuasa di luar diri kita, dunia kita tidak berada di sana. Ia berada di dalam kepala kita dalam refleksi kita atas wujud nyata. Hingga kita pun tersadar, bukan hanya realita yang membentuk dunia kita, tetapi juga resonansi rasa.