Sekelumit kisah perjuangan seorang perempuan yang menghadapi tekanan hidup yang amat keras, dibanting oleh zaman, dihimpit dan dipaksa tunduk oleh kekuasaan. Novel yang menceritakan tokoh sentral seorang perempuan bernama Firdaus, yang harus menjalani kehidupan kelam dalam budaya patriakhi di Mesir. Firdaus seorang perempuan tertuduh kasus pembunuhan, yang diakhir hidupnya berada dibalik jeruji untuk menunggu eksekusi mati.
Diawal, pembaca akan merasakan prasangka yang juga mungkin akan memvonis Firdaus sebagai seorang yang bersalah. Namun tak ada yang menyangka, bahwa kita akan dibawa memasuki setiap sudut kehidupan Firdaus sebagai perempuan yang mengalami diskriminasi. Dalam fase perkembangan kehidupannya, Firdaus merupakan seorang perempuan yang dilahirkan dari keluarga miskin yang sehari-hari harus mengurus ternak dan berkebun, namun jika keduanya tak menghasilkan apa-apa, maka dingin dan lapar adalah imbalannya. Bukan hanya itu, tangan dingin ayahnya yang kerap kali memukulnya, selalu mengiringi perjalan Firdaus belia sebagai perempuan. Namun sedingin apapun tangan ayahnya, ia menyadari bahwasannya tangan dingin itu adalah tetap tangan ayahnya, laki-laki yang ia cintai dan oleh karenanya ia merasa kehilangan.
Tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak miskin lainnya, Firdaus juga merindukan untuk merasakan pendidikan di sekolah, yang tak sempat ia rasakan ketika hidup bersama ayah dan ibunya. Ketika seluruh anggota keluarganya tak tersisa lagi daus dibawa oleh pamannya ke Kairo, Mesir. Sesosok paman yang mengenyam pendidikan di El-azhar, yang membawa firdaus dan menyekolahkannya di sekolah dasar dan menengah. Walaupun pendidikan pamannya mencerminkan sebagai seorang laki-laki terhormat dan baik, namun hasrat birahi telah meruntuhkan citra tersebut, hingga Firdaus menyadari bahwa pamannya melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Namun hal itu berhenti, hingga suatu ketika paman Firdaus menikahi seorang putri dari gurunya di El Azhar. Istri dari pamannya tidak menyukainya sehingga mereka tidak dapat memberi ruang bagi Firdaus untuk diterima dan tinggal dirumahnya. Oleh karena itu pamannya memasukkan daus ke sebuah asrama perempuan disekolah menengah.
Semasa mengeyam pendidikan disekolah menengah firdaus merupakan wanita yang cerdas yang selalu menjadi salah satu murid yang menempati peringkat tertinggi disekolah. kepribadiannya terbentuk dari buku-buku yang sering ia baca, yaitu buku-buku tentang politik dan kekuasaan. Dalam salah satu buku yang ia baca terpetik “Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan diantara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas.” Kenyataan inilah yang selalu mengiringi kehidupan firdaus, dan menempanya menjadi wanita yang lain.
Ketika Firdaus lulus sekolah menengah, ia kembali hidup bersama dengan keluarga pamannya. Karena istri dari pamannya tak ingin membiayai kehidupannya, maka pamannya berusaha mencari jalan lain untuk memberikan kehidupan yang layak bagi Firdaus. Istri dari pamannya mengusulkan untuk menikahkan firdaus dengan paman dari keluarga istrinya yang bernama Syekh Mahmoud, yaitu laki-laki kaya raya berumur lebih dari 60 tahun yang memiliki kecacatan berupa bisul-bisul di wajahnya, Ketika dinikahkan firdaus masih berumur 18 tahun.
Setelah menikah dengan Syekh Mahmoud, kehidupan firdaus tak jauh berbeda dengan kehidupannya bersama ayah maupun keluarga dari pamannya. Walaupun ketika hidup bersama suaminya,ia mendapatkan tempat yang lebih baik dengan kecukupan materi.
Namun ketika firdaus melakukan kesalahan sepele, ia sering kali di marahi dan dicaci. Tak jarang pula Syekh Mahmoud akan memukul dengan sepatunya, hingga seluruh badan dan mukannya memar. Hingga suatu ketika Firdaus menemui pamannya untuk menceritakan kejadian yang dialami di rumah suaminya. Firdaus menceritakan keluh kesahnya bahwa sebagai seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam agama, karena itu tak mungkin laki-laki seperti itu memiliki kebiasaan untuk memukul istrinya. Pamannya hanya menjawab, “Bahwa justru laki-laki yang memahami agama itulah yang suka memukul istrinya. Aturan agama mengijinkan untuk memukul istrinya.” Dalam kebisuan dan tak tau harus menjawab apa, akhirnya Firdaus kembali kerumah suaminya.
Sepulangnya dari rumah pamannya, suaminya mengetahuinya. Karena merasa tak dihormati dan dan membuat rasa amarahnya meningkat, akhirnya Firdaus dipukuli dengan tongkat kuat milik suaminya, hingga hidung dan telingannya berdarah akibat pukulan tersebut. Dengan mata lebam dan muka memar disekujur tubuh, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan suaminya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia hidup dijalan, lusuh dan kelaparan. Karena keadaan tersebut seorang pria bernama Bayomi menghampirinya dan membawanya untuk tinggal bersama di sebuag gedung dengan 2 kamar yang ia kontrak. Namun karena kebaikan dan keramahan Bayomi serta keluguan Firdaus, ia tak menyadari kejahatan pada pribadi seorang Bayomi. Firdaus disekap dikamar yang ia tempati, mengelami pelecehan seksual yang dilakukan oleh Bayomi dan teman-temannya.
Suatu ketika Firdaus dapat melarikan diri dan bertemu seorang perempuan bernama Shafira, yaitu seorang perempuan yang bekerja sebagai mucikari. Firdaus diberi tempat ditempat tinggal oleh shafira, diberi pakaian lembut berbahan sutra dan apartemen yang menghadap sungai nil. Kemapanan itulah yang menjerumuskan Firdaus menjadi seorang pelacur. Tak lama dengan Shafira, ia merasa dimanfaatkan oleh Shafira sehingga ia melarikan diri. Setelah itu Firdaus meneruskan pekerjaannya sebagai seorang pelacur yang mandiri, ia tak mau tubuhnya dihargai rendah seperti ketika bersama Shafira, ia ingin tubuhnya dihargai tinggi, dan ia bisa memilih dengan siapa saja dia akan menjual tubuhnya.
Singkatnya kemampanan sebagai pelacur yang mandiri didapatnya, apartemen, membayar koki pribadi, pengacara mahal. Semua itu digunakan firdaus untuk melindungi kehormatan dan untuk menganggkat derajatnya. Namun kemapanan tersebut yang ternyata menjadi buruan para germo yang ingin menjadi rekannya. Hingga suatu ketika terjadi pemaksaan, ujungnya adalah tertancap sebuah pisau yang dihujamkan oleh firdaus kepada seoarang germo, sebagai bentuk perlawanannya.
Novel yang menggambarkan kehidupan seorang perempuan, yang dipenuhi lika-liku masalah gender. Hampir disetiap permasalahan dalam novel ini adalah gambaran diskriminasi paling umum yang sering dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan.
Pola diskriminasi pada kehidupan firdaus tergambarkan dalam budaya patriarkhi, yaitu suatu budaya yang meletakkan laki-laki sebagai pemegang penuh kekuasaan, atau bisa juga laki-laki disebut sebagai superior dari perempuan. Dalam novel ini tergambarkan keresahan dalam diri Firdaus yang merasa sebagai perempuan miskin. Ia hanya akan dijadikan sebagai alat tukar dengan imbalan mas kawin, hal tersebut dapat saja terjadi ketika kedua orang tuanya tak menyanggupi untuk menanggung kehidupannya, selebihnya ia dapat saja dipandang dan di gunakan secara penuh oleh laki-laki dengan semena-semena.
Seperti perempuan dan anak-anak yang lain yang, Firdus juga mengharapkan dapat menyentuh pendidikan, namun pada diskripsi novel tersebut, firdaus dan perempuan-perempuan yang lain dalam kondisi sosialnya berkedudukan lebih rendah dari pada laki-laki, hal tersebut menggambarkan bahwa institusi pendidikan tinggi yang hanya di dominasi dan diperuntukan untuk kaum laki-laki, seperti tempat pamannya menjalani pendidikan di El Azhar. Sedangkan untuk kaum perempuan tidak ada jaminan seperti itu. Walaupun sebenarnya dalam novel ini, firdaus sempat mengeyam pendidikan sampai sekolah menengah, namun ketika dihadapkan bahwa pamannya tak ingin memasukannya ke perguraan tinggi dengan alasan tak mungkin perempuan seperti seorang Firdaus dapat dimasukan ke perguruan tinggi yang mana banyak di dominasi kaum laki-laki.
Jika kita mencoba membenturkan realitas ini dengan kondisi perempuan di Indonesia sekarang, maka tak jauh beda dengan diskrispsi kondisi perempuan yang perankan oleh tokoh sentral bernama firdaus dalam novel ini. Dalam tradisi budaya Indonesia, akan banyak perempuan-perempuan yang mengalami keadaan serupa yang dialami firdaus, dengan embel-embel kata “ngabdi”. kepasifan perempuan digunakan sebagai alat untuk di eksploitasi, dengan melakukannya seperti buruh murah, dimana perempuan masih dipandang harus menjadi alat kerja untuk melakukan pekerjaan sepele, dan menjadi buruh rumah tangga.
Disisi lain, perempuan kerap kali mengalami diskriminasi hukum, seperti misalnya ketika mereka mengalami kekerasan, diperlakukan kasar oleh laki-laki, atau ketika mereka harus mengalami pelecehan seksual, yaitu tak ada jaminan hukum yang kuat untuk melindungi mereka. Dalam novel ini, peristiwa tersebut terdeskripsikan ketika Firdaus harus mendekam dipenjara karena kasus pembunuhan. Dalam kasus tersebut firdaus dihukum tampa proses pembuktian, karena dalam proses tersebut tidak dibuktikan kebenaran dari latar belakang terjadinya pembunuhan tersebut. Padahal dalam novel tersebut, firdaus melakukan perlawan karena telah diserang oleh seorang laki-laki germo, yang tertolak karena firdaus tidak menerima tawarannya. Sebagai bentuk kompromi untuk mengurangi hukumannya, firdaus ditawari untuk meminta permohonan untuk mengajukan grasi kepada Presiden, namun ditolaknya. Firdaus lebih memilih untuk melakukan perlawanannya dengan bersikap pasif, Sebagai bentuk perlawanannya terkutip dalam kalimat ini.
“Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.”
“Saya belajar untuk melawan dengan cara bersikap pasif, untuk menjaga keutuhan diri tanpa memberikan apa-apa.”
Dalam konteks keindonesiaan, jaminan hukum tumpul terhadap pemenuhan perlindungan kepada kaum perempuan. Masih ingatkah kita dengan kasus marsinah, aktifis perempuan, seorang buruh yang ditemukan tewas di tepi hutan pada tahun 1993. Ketika ditemukan, terdapat bukti bahwa marsinah mengalami tindak kekerasan dan pemerkosaan. Namun sayang, walaupun beberapa pelaku sudah dijatuhkan vonis, Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni), dan hingga sekarang pelaku pembunuhan yang sebenarnya belum menerima hukuman.
Novel “Perempuan di Titik Nol” merupakan bentuk perlawanan Nawal el-Saadawi terhadap diskriminasi kaum perempuan. Sekaligus adalah bentuk perjuangan Nawal el-Saadawi dan para aktifis feminis untuk menuntut equal right, yaitu adanya jaminan keadilan bagi kaum wanita. Yaitu jaminan keadilan yang berprinsip egaliter. Prinsip yang menempatkan Perempuan untuk mendapatkan perlindungan, dan perlakuan yang sama dengan laki-laki. Mendapatkan tempat yang sama dan setara dalam dimensi kedudukan agama, politik, ekonomi, social, atau budaya.
Namun dapat kita kritisi dalam novel ini adalah kelemahan karakter perempuan pada sosok firdaus. dalam novel tersebut tergambarkan bahwa, untuk mengejarkan kehormatannya, sosok firdaus sebagai seorang perempuan dapat melakukan apa saja untuk membentuk citranya. semisal ia harus membayar pengacara untuk melawan tuntutan hukum yang menjatuhkan kehormatannya, atau membayar wartawan untuk membangun citra positif terhadapnya. Semua itu ia lakukan untuk membangun kehormatannya, walaupun sebenarnya dengan sadar firdaus telah mengeksploitasi tubuhnya untuk membayar itu semua. Keangkuhan sosok firdaus juga dapat tergambarkan dalam pernyataan ini.
“Bukan karena saya lebih menghargai kehormatan dan reputasi saya dari gadis-gadis lainnya, tetapi harga saya jauh lebih tinggi dari mereka.”
“Seorang karyawati takut kehilangan pekerjaannya dan menjadi seorang pelacur karena dia tidak mengerti bahwa kehidupan seorang pelacur menurut kenyataan lebih baik dari kehidupan mereka. Dan karena itulah dia membayar harga dari ketakutan yang dibuat-buat itu dengan jiwanya, kesehatannya, dengan badan, dan dengan pikirannya. Dia membayar harga tertinggi bagi benda-benda yang paling bernilai rendah. Saya tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan macam-macam harga, dan seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik dari pada seorang pelacur yang murah.”
Dalam deskripsi itupula terjadi salah tafsir pada sosok firdaus, bahwa ia lebih memilih untuk menjadi seorang pelacur dari pada menjadi karyawati yang diberi gaji murah. Pandangan ini menunjukan tuntutan terhadap suatu yang lebih special, tentunya ini melebar dari tuntutan kesetaraan yang banyak diperjuangkan oleh perempuan umumnya. Padahal jelas salah bahwa ia mengeksplotasi tubuhnya, dan menyebabkan penindasan terhadap dirinya sendiri. (Arieo Prakoso)