Judul Film: Budi Pekerti/Andragogy
Genre: Drama
Sutradara: Wregas Bhanuteja
Penulis: Wregas Bhanuteja
Durasi: 1 jam 51 menit
Setelah sukses dengan film Penyalin Cahaya, Wregas Bhanuteja kembali menunjukkan karyanya melalui film Budi Pekerti yang berhasil menorehkan prestasi dengan tampil di Toronto International Film Festival (TIFF) pada tahun 2023, menjadi film pembuka pada acara Jakarta Film Week 2023, dan mendapatkan nominasi dalam 17 kategori di Festival Film Indonesia 2023.
Budi Pekerti berkisah tentang seorang guru bimbingan konseling (BK) di salah satu SMP di Yogyakarta bernama Bu Prani yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti. Ia dikenal sebagai sosok guru yang baik tetapi juga tegas, dekat dengan murid-muridnya, dan selalu menegakkan nilai-nilai kebenaran dan pembelajaran tentang budi pekerti. Alih-alih menghukum, Bu Prani lebih memilih memberikan “refleksi” kepada murid-muridnya dengan berbagai tugas yang relevan dengan kesalahan yang mereka perbuat. Tujuan dari pendekatan ini adalah agar mereka dapat belajar dari kesalahan, memahami dampaknya, dan dapat memperbaiki diri dengan cara yang lebih positif.
Lewat pendekatan ini, Bu Prani mengajarkan pentingnya tanggungjawab, empati, dan integritas. Hal ini menggambarkan bahwa seharusnya pendidikan moral dan etika di sekolah bukan hanya tentang menyampaikan teori, tetapi juga tentang bagaimana cara membimbing siswa untuk memahami dampak dari setiap tindakan mereka dalam kehidupan nyata.
Namun, ketika perselisihan antara bu Prani dan seorang pengunjung pasar terekam dan viral di media sosial, seluruh nilai dan usaha yang telah ia bangun seolah hancur dalam sekejap. Potongan video yang diambil dari sudut pandang tertentu membuat publik salah menilai situasi sebenarnya. Hanya karena sepotong video, melahirkan berbagai komentar, editan jahat yang dibuat netizen, serta menimbulkan opini buruk dari masyarakat terhadap Bu Prani bahwa ia tidak mencerminkan sikap seorang guru.
Seiring berjalannya waktu, efek dari insiden ini semakin meluas, Bu Prani terancam kehilangan pekerjaannya dan juga mengalami dampak pada kehidupan pribadi serta keluarganya. Anak-anaknya, Muklas (Angga Yunanda) dan Tita (Prilly Latuconsina), menjadi korban kebencian dan cyber bullying dari netizen. Di sisi lain, Bu Prani juga dihadapkan dengan kondisi suaminya, Pak Didit (Dwi Sasono) yang mengalami bipolar karena kegagalan ekonomi yang dialaminya akibat pandemi.
Film ini menunjukkan bagaimana moral dan etika bisa mudah terkikis oleh opini publik, terutama di era digital yang penuh dengan informasi cepat dan sering kali tidak akurat di media sosial. Salah satu aspek menariknya adalah menyoroti dampak psikologis yang dirasakan oleh setiap karakter, termasuk anggota keluarga bu Prani. Kehidupan keluarga yang awalnya tampak harmonis mulai terpengaruh oleh apa yang terjadi di dunia luar, memberikan gambaran tentang betapa rapuhnya keseimbangan dalam kehidupan yang telah diganggu oleh campur tangan publik yang tidak sepenuhnya memahami situasi sebenarnya.
Performa Karakter dan Budaya yang Memikat
Para pemain dalam film ini berhasil menghidupkan setiap karakternya dengan baik melalui penggambaran emosi dan bagaimana cara mereka menyelesaikan konflik yang dialami. Sha Ine Febriyanti sebagai jantung dalam film ini berhasil memerankan karakter Bu Prani yang menunjukkan perjuangan seorang guru yang kuat dan berusaha untuk mempertahankan prinsip dan integritasnya di tengah tekanan.
Berperan sebagai sosok yang mengalami bipolar, Dwi Sasono mampu menggambarkan perubahan karakter Pak Didit dari fase manik hingga depresi, sebagaimana para pengidap bipolar menjalani kehidupannya dalam keseharian. Meskipun perannya menarik di awal, karakter Pak Didit ini terkesan lemah dan tidak berperan signifikan di akhir cerita.
Di sisi lain, Prilly Latuconsina berhasil menghidupkan karakter Tita, seorang musisi dan aktivis sosial yang akhirnya memilih menjadi penjual baju thrift. Meskipun hanya sedikit mendapatkan screen time, dia berhasil menghidupkan peran Tita dengan sangat apik melalui penyampaian perasaannya dengan memanfaatkan kepiawaiannya dalam melakukan ekspresi melalui sorot matanya.
Karakter Muklas yang diperankan oleh Angga Yunanda dengan visualisasi unik melalui gaya rambut pirang berponi dan tindik di telinganya berhasil memberi warna pada film ini. Perannya sebagai seorang konten kreator yang dikenal dengan nama Muklas Animalia yang membahas tentang kesehatan mental dengan dibungkus konsep animal berhasil menghidupkan suasana humor dalam film.
Salah satu tokoh yang cukup mencuri perhatian adalah Gora, alumni murid bu Prani. Gora yang mengalami masalah kesehatan mental dan mengikuti sesi konseling bersamaan dengan pak Didit, ternyata menyimpan sebuah rahasia yang terungkap setelah video bu Prani viral. Penampilan Omara N. Esteghlal dalam menggambarkan karakter ini sangat unik dan mengesankan.
Penggunaan Yogyakarta sebagai latar tempat dilengkapi dengan penggunaan bahasa Jawa yang dominan, menambah kesan budaya yang kental pada film. Sinematografinya yang memukau berhasil memanjakan mata dan menyuguhkan keindahan Yogyakarta.
Andragogy: Potret Sosial dan Pengaruh Media di Dunia Pendidikan
Penggunaan kata “Andragogy” sebagai judul internasional film ini menjadi daya tarik tersendiri, karena memiliki makna yang merujuk pada pendekatan pendidikan untuk orang dewasa. Hal ini sangat terasa relevan dan mewakili tabiat netizen saat ini yang berusaha menjadi “pendidik” di dunia maya, sering merasa paling benar dan mencoba untuk mengoreksi atau memberikan pendapat, meskipun tidak selalu memiliki pengetahuan, fakta, atau pengalaman yang cukup.
Wregas sebagai sutradara, berusaha menyoroti berbagai isu sosial, psikologi, dampak cyberbullying dan cancel culture yang saat ini menjadi hal penting, termasuk juga kesejahteraan guru di Indonesia. Di tengah tekanan untuk mempertahankan reputasi, institusi pendidikan dan media sering kali lebih mengutamakan keuntungan atau citra daripada kebenaran. Film Budi Pekerti membawa kita pada pergulatan antara kebenaran dan fitnah di tengah hiruk pikuk media sosial. Pemberitaan media yang menyudutkan bu Prani dengan berbagai judul clickbait menunjukkan betapa media bisa memanipulasi informasi untuk keuntungan bisnis semata. Di era digital ini, penilaian benar atau salah hanya bergantung pada siapa yang paling vokal. Kebenaran bisa tenggelam dalam kebisingan opini publik yang tidak berlandaskan fakta. Mereka hanya mempercayai “kebenaran” yang ingin dipercayainya. Seperti yang dikatakan Muklas, “zaman sekarang salah atau benar itu cuma perkara siapa yang paling banyak ngomong!”
Budi Pekerti juga merupakan penghormatan khusus bagi guru-guru di Indonesia atas dedikasi dan perjuangan mereka dalam mendidik generasi penerus bangsa. Bagi Wregas, sang sutradara, film ini memiliki makna khusus karena terinspirasi oleh ibunya yang juga seorang guru. Menariknya, dua guru yang menjadi rekan bu Prani dalam film merupakan guru yang pernah mengajar sang sutradara secara langsung saat menduduki bangku SMP dan menjadi inspirasi baginya hingga saat ini dirinya berhasil menjadi sutradara dan terjun ke dunia perfilman.
Refleksi: Menjadi Manusia yang Kritis dan Empati di Era Digita
Sebagai seorang anak dari kedua orang tua yang juga berprofesi sebagai guru, saya merasa sangat terhubung dengan karakter bu Prani. Kedua orang tua saya selalu berusaha menanamkan nilai-nilai moral dan kebenaran dalam setiap tindakan mereka, baik kepada anak-anaknya di rumah maupun murid-muridnya di sekolah. Saya bisa merasakan tekanan dan tanggung jawab besar yang dihadapi bu Prani sebagai seorang guru yang juga harus menjaga reputasinya di mata publik. Sama halnya dengan bu Prani, orang tua saya juga pernah mengalami situasi di mana tindakan baik mereka disalahartikan dan tidak dihargai oleh murid-muridnya, dan ini mengingatkan saya betapa pentingnya dukungan keluarga untuk saling menguatkan dalam menghadapi cobaan tersebut.
Ada begitu banyak pelajaran berharga yang bisa dimaknai dari film ini. Para penonton diajak untuk lebih menghargai usaha dan dedikasi orang tua, termasuk guru sebagai orang tua kita di sekolah. Di sisi lain, film ini mengajak kita untuk lebih pintar dalam mengolah dan menerima informasi. Apa yang terlihat benar di media sosial, belum tentu begitu adanya, begitupun sebaliknya. Penting juga untuk kita tidak terlalu cepat menghakimi orang lain berdasarkan informasi yang belum tentu kebenarannya.
Pengalaman bu Prani, menjadi pengingat bahwa kebenaran dan kebaikan akan selalu menemukan jalannya sendiri. Melepaskan diri merupakan bagian dari proses pembelajaran dan pertumbuhan bagi bu Prani, menjadi pilihan terbaik baginya untuk menemukan kedamaian dari kebisingan media sosial dan ketidakadilan.
Salah satu adegan berkesan yang berhasil membuat saya masuk ke dalam emosi atas kepasrahan bu Prani adalah ketika percakapan mendalam dan emosionalnya dengan Gora. Bu Prani berkata “Kalau dunia terlalu berisik, kita tutup telinga sebentar. Lalu, kita dengarkan detak jantung kita. Kita pejamkan mata sebentar, dengarkan detak jantung kita. Tarik nafas dalam, berterima kasih untuk hari ini,” Hal ini memberikan refleksi kepada saya bahwa selama ini kita terlalu sering mendengarkan perkataan orang lain, sampai kita lupa bahwa diri sendiri juga perlu untuk didengarkan. Seharusnya kita lebih memberi kesempatan pada diri sendiri, mendengarkan kebutuhan batin, dan mengapresiasi hal-hal kecil dalam hidup yang sering terlewatkan, terutama di tengah kebisingan informasi digital saat ini.
Budi Pekerti bukan hanya sebuah hiburan semata, tetapi juga sebuah panggilan untuk kita bersikap lebih manusiawi dan bijaksana dalam menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kita diingatkan untuk tetap kritis dan empatik dalam menghadapi informasi di media sosial, serta memberikan dukungan kepada mereka yang menjadi korban dari budaya perburuan berita dan cyberbullying. Film ini menggambarkan betapa pentingnya untuk tidak terburu-buru dalam menghakimi situasi yang viral. Kita harus berpikir lebih dalam sebelum menilai, karena perbuatan kita dapat berdampak besar pada kehidupan orang lain, seperti yang dialami oleh bu Prani dan keluarganya.