Dangdut yang “Melawan” dalam Dendang Sangsi Silampukau

Judul lagu: Dendang Sangsi

Dibawakan oleh: Silampukau

Ditulis oleh: Eki Dimas Priagusta dan Kharis Junandharu

Tahun: 2021

Sumber: Moso’iki Records

Saat mendengar 15 detik pertama dari lagu “Dendang Sangsi”, saya menyangka bahwa single Silampukau yang rilis pada 2021 lalu ini akan menghadirkan musik folk sebagaimana biasanya. Akan tetapi, saya kemudian tercengang sejenak, sebab ternyata sangkaan saya keliru. Lagu ini adalah lagu dangdut.

Silampukau tak pernah gagal dalam menulis lirik. Kharis dan Eki selalu berhasil mengaduk-aduk perasaan para pendengar dengan rentetan bait yang bermakna dalam, kuat, dan terasa sangat dekat. Tak terkecuali lagu “Dendang Sangsi” ini. Tidak seperti lagu-lagu bergenre dangdut pada umumnya yang menceritakan tentang hubungan asmara, lagu ini ingin menampilkan keresahan rakyat biasa terhadap kondisi sosial dan kesewenang-wenangan pemerintah kiwari.

Berbagai alat musik khas dangdut seperti suling dan gendang membuat lagu ini makin terasa familiar dengan rakyat-rakyat kecil. Mungkin itu pula yang membuat Silampukau merilis lagu bergenre dangdut. Supaya lagu ini terkesan dekat dan tidak elitis, sebab dangdut merupakan-atau lebih tepatnya dipandang sebagai-musik masyarakat kelas bawah. Alhasil, Silampukau berhasil meramu berbagai keresahan dan kesangsian mereka atas kondisi sosial hari ini dalam sebuah lagu dangdut.

Keadilan Semu dalam Klaim Kedamaian

Kegagalan sering terpaksa dimaafkan / Terpaksa dimuliakan

Demi ilusi keutuhan / Demi fasad kestabilan

Demi kedamaian

Bait ini menampilkan dengan terang bagaimana kata-kata seperti keutuhan, kestabilan, dan kedamaian sering kali dijadikan kedok atau alibi untuk menutup-nutupi kegagalan penguasa dalam menegakkan keadilan. Ini barangkali sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Almarhum Gus Dur, “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi”.

Keadilan semu semacam ini dibentuk bukan dari konsensus atau kesepakatan bersama. Ia hanyalah sebentuk penerimaan yang lahir dari rasa keterpaksaan dan ketertindasan. Acapkali kaum-kaum minoritas serta orang-orang kecil yang tak punya suara dan kuasa dirugikan dalam kondisi semacam ini. Mereka biasanya dipaksa untuk rela mengorbankan haknya demi alasan pemerintah dalam menjaga kestabilan dan keutuhan.

Kita masih belum lupa tentang berbagai penggusuran lahan belakangan ini yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat kecil. Seperti misalnya apa yang diderita oleh para penduduk di Pulau Rempang dan Desa Wadas. Hingga hari ini, konflik lahan penduduk tersebut pun masih belum menemui titik terang. Pemerintah hanya beralasan bahwa apa yang mereka lakukan tak lain demi menjaga stabilitas ekonomi negara.

Teror terhadap Kewarasan dan Akal Sehat

Pembenaran terus-menerus disemburkan / Dari dubur kekuasaan

Menghancurkan kewarasan / Berdengung mengacau ingatan

Atas kenyataan

Baru saja kita melewati kontestasi pemilu serentak beberapa bulan lalu dan bait lirik ini seakan menggambarkan kenyataannya. Pada masa kampanye, kita dicekoki oleh berbagai intrik dan hilah yang dilakukan oleh para politisi dan calon pejabat untuk mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Tak jarang, beragam intrik politik yang mereka lakukan seakan ingin membunuh kewarasan dan akal sehat.

Ini dapat kita lihat misalnya pada perhelatan debat capres-cawapres Januari lalu. Para calon presiden dan wakil presiden itu hanya menyampaikan pidato-pidato manis sambil sekali dua kali menjatuhkan pamor calon lainnya. Ironisnya, salah seorang calon malah melakukan selebrasi dan gerakan-gerakan konyol selama debat berlangsung. Kita pun pada akhirnya tidak menemukan pertarungan gagasan apapun yang substansial dan mendalam pada acara yang seharusnya penting itu.

Rakyat kecil dan orang-orang biasa yang menonton dan menyaksikan situasi politik pun lalu terbiasa dan pada akhirnya mewajarkan pemandangan tersebut. Hasrat akan kebenaran kemudian hilang dan kebodohan serta ketidakwarasan lebur dalam pembiasaan. Kita hanya bisa termenung dan sekali-sekali misuh melihat situasi politik yang kalut, konyol dan bikin gerah itu.

Saya teringat dengan perkataan salah seorang propagandis Nazi, Joseph Goebbels, “A lie told once remains a lie, but a lie told a thousand times becomes the truth”. Kebohongan yang diucapkan sekali tetaplah kebohongan. Namun, kebohongan yang diucapkan seribu kali akan menjadi kebenaran.

Lidah Mereka Terjulur, Lidah Kita Dipotong

Pembungkaman lewat pasal dan julukan / Lewat rеvolver dan senapan

Lestarilah kеtakutan / Padamlah padam perlawanan

Di alam pikiran 

Bait garang ini benar-benar menelanjangi kebusukan yang dilakukan oleh pemerintah untuk membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Silampukau ingin menceritakan bagaimana pemerintah merepresi suara kritis publik terhadap ketidakadilan dengan serangkaian instrumen. Pasal adalah hukum atau undang-undang, julukan bisa jadi gelar akademik dan jabatan, sedangkan revolver dan senapan adalah aparat keamanan.

Beberapa waktu belakangan ini, kita melihat betapa banyak aktivis sosial yang diintimidasi dan dikriminalisasi. Sebut saja misalnya kasus Fathia-Haris yang dituduh melakukan ujaran kebencian kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan dijerat pasal UU ITE, atau misalnya Daniel Frits, seorang aktivis yang menolak keberadaan tambak udang karena merusak lingkungan di Pulau Karimunjawa dan dijerat dengan pasal yang sama. Ia bahkan beberapa waktu sempat mendekam di penjara.

Apa yang dilakukan pemerintah menciptakan semacam ketakutan pada masyarakat untuk melawan dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Yang pada akhirnya, teken-meneken keuntungan antar para politisi dan pengusaha dapat berlangsung lancar di atas meja makan.

Seorang Filsuf asal Jerman, Friedrich Nietzsche mengatakan, “A politician divides mankind into two classes: tools and enemies”. Seorang politisi membagi manusia ke dalam dua kelas, yakni sebagai alat dan sebagai musuh.

Di penghujung lagu ini, suara berat khas Eki Tresnowening terdengar makin melankolis sebab nyatanya,

Perubahan makin jauh dari harapan / Semakin pudar di angan

Semakin tak terbayangkan / Semakin dipertanyakan

Semakin menyedihkan

Skip to content