Digital Minimalism: Memanfaatkan vs Dimanfaatkan Media Sosial

Judul: Digital Minimalism

Penulis: Cal Newport

Penerbit: Gramedia Pustaka Indonesia

Tahun terbit: 2024

Tebal buku: 358

Rasa-rasanya, kehidupan kita lebih banyak tenggelam di media sosial, bukan justru menggunakannya untuk meningkatkan kualitas hidup. Interaksi berlebihan di media sosial, tidak hanya berpotensi merugikan, tapi juga melemahkan otak.

Tentu ini bukan waktu yang tepat untuk perdebatan: Apakah teknologi baik atau buruk untuk kehidupan manusia? Jawabannya bisa sangat lebar. Semua tergantung dengan profesi, gaya hidup, dan kepentingan penggunaan teknologi. Maka pertanyaan apakah teknologi baik atau buruk sepertinya sudah terlampau usang.

Hari ini, mayoritas penduduk dunia tidak lepas dari teknologi, termasuk dunia internet, yang di dalamnya terdapat media sosial. Lagi-lagi, pertanyaan apakah media sosial baik atau buruk untuk manusia juga sama, pertanyaan yang akan sangat lebar jawabannya.

Mungkin kita perlu mengganti pertanyaannya, bagaimana menggunakan media sosial yang tepat? Apakah penggunaan media sosial menurunkan ‘nilai’ manusia, atau justru meningkatkannya? Pertanyaan macam itulah yang bisa kita temukan jawabannya di buku Digital Minimalism karya Cal Newport.

Misi awal kemunculan media sosial berupa menghubungkan orang yang jauh keberadaannya. Media sosial juga memungkinkan kita mengetahui kabar teman, keluarga, atau kenalan. Namun sekarang misi itu bisa jadi sudah bergeser. Media sosial lebih sering menjadi pelarian saat menunggu antrean, istirahat, hingga menjelang tidur. Bahkan media sosial bisa menjadi kegiatan jeda, dari satu aplikasi ke aplikasi media sosial lain.

“Apa yang akan kamu lakukan saat sedang mengantre panjang untuk memesan kopi?” Kemungkinan akan mengeluarkan ponsel dan mencari aplikasi Instagram, TikTok, atau sejenisnya.

Sepertinya kondisi ini yang memang perusahaan media sosial inginkan. Menyita waktu dan perhatian kita sepanjang hari. Indikasi tersebut bisa dari bentuk inovasi fitur di media sosial. Awalnya di media sosial hanya bisa mengunggah foto dan caption. Kemudian muncul tombol ‘like’. Berlanjut dengan adanya fitur story, share, hingga repost. Semua fitur yang memaksa pengguna untuk melihat ponsel lagi, melihat ponsel lagi.

Dalam bukunya, Newport menyatakan bahwa perusahaan media sosial mendapat uang dari waktu penggunanya. Semakin banyak pengguna menghabiskan waktu di media sosial, semakin banyak juga uang yang mengalir. Pengguna menjadi bahan jualan perusahaan untuk pengiklan. Pengiklan yang memasang produknya di media sosial, akan mendapat keuntungan dari pembelian barang atau jasa dari pengguna.

“Tapi kan pengguna bebas membeli barang pengiklan ataupun tidak?”

Itulah seninya teknologi. Perusahaan media sosial sudah tahu kesukaan dan kecenderungan aktivitas penggunanya. Sehingga iklan lebih tepat sasaran. Pernahkah anda merasakan, ‘Kebetulan banget lagi butuh jam, kok ini muncul iklan jam di Instagram-ku ya.’

Interaksi Bermakna

Pada tahun 1845, Henry David Thoreau mencatat rincian keuangannya. Catatan itu mencakup pendapatan dan pengeluaran. Dia mencatat keuntungan dari bertani, membayar biaya rumah, makan, dan lainnya. Pria yang tinggal di Concord, Massachusetts, Amerika Serikat, itu ingin tahu, sebenarnya dia perlu bekerja berapa hari dalam sepekan, untuk bisa mencukupi kehidupannya.

Ternyata, dia hanya perlu bekerja sehari dalam sepekan. Sisanya bisa untuk kegiatan lain yang menurutnya bernilai. Kegiatan bernilai itu misalnya membangun rumah di hutan untuk menyepi, membaca buku, atau berinteraksi dengan teman-temannya.

Uang yang lebih banyak belum tentu menjadi penentu kualitas kehidupan. Justru uang yang semakin banyak, menuntut kerja yang semakin berat, serta perawatan akan kepemilikan yang lebih menyeluruh juga.

Prinsip-prinsip di atas yang kemudian Thoreau tulis menjadi teori ekonomi. Pendapatan yang lebih banyak, kadang kala tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan, misalnya waktu yang terbuang, hingga kualitas sosial yang memburuk. “Biaya sesuatu adalah jumlah waktu dalam hidup yang kita bersedia tukarkan untuk mendapatkannya, segera atau jangka panjang,” tulis Thoreau.

Sama dengan waktu dalam bermedia sosial. Belum tentu semakin sering dan lama kita berinteraksi melalui media sosial, dengan segambreng jenis kontennya, membuat tubuh dan hidup kita semakin ‘terisi’. Perlu ada evaluasi, jangan-jangan informasi dari media sosial yang terlalu banyak justru mengorbankan banyak hal bernilai di hidup kita.

Meski sama-sama berinteraksi dengan teman atau keluarga, bertatap lewat layar ponsel dengan bertemu akan berbeda. Dalam bukunya, Newport menyebutkan interaksi melalui media sosial menciptakan sejenis vibrasi yang rendah pada otak. Tidak ada kerja-kerja otak yang kemudian berkembang di dalamnya. Namun saat interaksi langsung dengan orang secara fisik, otak berproses dengan lebih aktif.

Maksudnya, saat berinteraksi dengan orang lain secara fisik, otak kita akan mencoba memahami ekspresi yang terlihat dan tidak terlihat, menebak makna dari setiap tindakan orang lain, hingga sikap yang kita pikir dan lakukan untuk diri sendiri. Serangkaian proses rumit ini melatih otak manusia.

Maka, perlu evaluasi besar dengan cara kita menggunakan media sosial. Digital Minimalism bukan berarti meninggalkan teknologi itu sama sekali. Namun poin pentingnya berupa media sosial mana yang memaksimalkan kegiatan kita, dan cara paling tepat apa yang bisa dilakukan untuk bisa kembali pada nilai kehidupan.

Penerapan dalam Hidup

Di dalam buku Digital Minimalism, Newport menuliskan pentingnya mengelola diri saat berhadapan dengan media sosial. Ada pula rekomendasi tips dan trik untuk bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ini buku yang cukup ringan namun penting. Bahasanya sederhana. Langkah-langkah rekomendasinya juga konkret. Misalnya Newport merekomendasikan orang yang ingin mencoba gaya hidup Digital Minimalism untuk merancang kegiatan sebulan ke depan.

Langkah pertama berupa evaluasi jenis media sosial yang perlu dan tidak perlu dalam hidup. Apabila media sosial itu memberikan manfaat, maka pertahankan, dan sebaliknya. Setelah itu, coba untuk tinggalkan media sosial tersebut selama sebulan penuh. Merancang berbagai kegiatan selama masa jeda media sosial. Setelahnya kembali lagi ke media sosial. Evaluasi penggunaan media sosial, apakah lebih baik untuk kembali digunakan, atau sebaiknya ditinggalkan separuh atau sepenuhnya.

Tips dan trik tersebut bukan datang dari ruang hampa. Newport meriset banyak sumber, dan wawancara banyak orang. Menariknya, Newport sebagai penulis bukanlah orang yang bidang keilmuannya anti teknologi. Dia merupakan Profesor Ilmu Komputer di Georgetown University, Washington, D.C. Justru perspektif minimalisme digital dari ahli komputer menjadi menarik untuk dibaca.

Baca juga

Terbaru