Sering kita mendengar istilah jika kesan pertama yang kita rasakan ialah kesan yang tak terlupakan. Istilah tersebut sepertinya cocok untuk saya saat pertama kali datang ke kampus Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai seorang mahasiswa baru. Tepatnya satu tahun yang lalu pada 1 September 2014, saat saya mengikuti kuliah perdana. Kuliah perdana merupakan acara seremonial penyambutan mahasiswa baru merupakan acara terbesar di kampus ini setelah wisuda. Keduanya seperti input dan output mahasiswa kampus ini.
Hal yang paling menarik dan menjadi kesan tersendiri bagi saya justru datang dari banner berukuran kurang lebih 2×3 meter yang terpampang tepat di depan boulevard UII bertuliskan “Selamat datang calon pemimpin bangsa”. Sejenak banner itu akan terlihat oleh semua mahasiswa baru jika datang melalui jalan utama kampus. Walau reklame iklan sedang direnovasi, banner yang sama juga dapat kita jumpai di tahun selanjutnya yang terpasang diantara tenda didepan gedung Kahar Muzakkir. Jika kita telusuri lebih lanjut, ucapan selamat datang tersebut agak berbeda dengan sambutan yang biasanya kita dengar. Mengapa UII tak memakai kalimat misalkan “Selamat datang mahasiswa dan mahasiswi baru tahun akademik 2014/2015”, tetapi malah menggunakan kalimat “calon pemimpin bangsa”.
Mahasiswa Pe”mimpi”n
Setiap mahasiswa dan mahasiswi yang berkuliah di UII membawa sejuta mimpi mereka.Ada yang bermimpi menjadi cendekiawan, birokrat, ilmuwan, teknokrat, dan lain sebagainya. Mereka mempercayakan mimpi mereka akan terwujud dengan melanjutkan studinya di perguruan tinggi yang berdiri pada 8 Juli 1945 ini. Walaupun berstatus kampus swasta, kampus yang pada awalnya bernama Sekolah Tinggi Islam(STI) ini pun bukan berarti menjadi pilihan terakhir mereka (mahasiswa baru-red) setelah tidak lolos untuk masuk kampus negeri. Itu terbukti dengan STI yang berubah menjadi UII pada 4 Juni 1948 tersebut menjadi kampus favorit dan pencapaian akreditasi A yang diraihnya.
Satu misi sederhana yang terasa berat, sangat berat, bahkan dalam kenyataannya yang teremban dalam perjalanan sejarah ini adalah mewujudkan kata-kata Bung Hatta dalam pidato peresmian UII kala itu: “Di Sekolah Tinggi Islam ini akan bertemu agama (religion) dengan ilmu (science) dalam kerjasama yang baik untuk membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat.” Namun di era sekarang, selain amanat untuk mempelajari serta mengimplementasikan antara agama dan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan masyarakat, UII membuat penekanan kembali bahwa dijidat kita terpatri seorang calon pemimpin bangsa setelah status kita yang berubah dari siswa ke mahasiswa, di tambah lagi dijelaskannya dalam Al-qur’an bahwa setiap kita adalah Khalifah fil Ardh, pemimpin di muka bumi ini.
Hal ini terlihat dari bagaimana pendiri UII ialah tokoh-tokoh bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebutlah Dr. Mohammad Hatta (Proklamator dan mantan Wakil Presiden RI), Moh. Natsir, Prof. KHA. Muzakkir, Mohamad Roem, KH. Wahid Hasjim, dan proklamator lainnya yang menjadikan STI sebagai basis pengembangan pendidikan bercorak nasional dan islami serta menjadi tumpuan harapan seluruh anak bangsa. Dan hasilnya? Terbentuklah lembaga pendidikan berbasis islam dan kebangsaan. Lihatlah berbagai program pembelajaran yang diusung UII sebagai buktinya, pesantrenisasi, Orientasi Nilai Dasar Islam (ONDI), Emotional Spiritual Quotient (ESQ), Baca Tulis Al-Qur’an (BTAQ), dan program-program lainnya yang menomorsatukan islam. Hal ini merupakan cara UII menghadirkan jiwa keislaman pada para calon pemimpin bangsa yang melanjutkan studinya di kampus hijau ini.
Semuanya memang berawal dari mimpi. Untuk menjadi pemimpin pun harus diawali dengan mimpi, maka dari itu ditengah kata pemimpin pun tersirat kata mimpi. Ini bukanlah suatu kebetulan yang mengada-ada. Kita bisa mengkorelasikan kata mimpi dengan pemimpin tersebut. Saya rasa tokoh bangsa yang andil dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mendirikan kampus ini juga sudah memimpikan hal ini sebelumnya bukan? Hanya saja perbedaan mereka dengan kita, mereka memperjuangkan mimpi mereka, dan itu pula yang menjadikan kampus ini beresensi perjuangan. Lalu, apa yang kita perjuangkan sekarang?
Dalam teori kepemimpinan, ada pemimpin yang dilahirkan dan pemimpin yang dijadikan. Jika kita menganut teori yang pertama, rasanya orang yang memiliki bakat kepemimpinan jarang kita temui. Teori kedua ini lah yang sangat potensial jika dapat dikembangkan. Efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dibentuk dan ditempa, yaitu dengan cara memberikan kesempatan luas kepada yang bersangkutan untuk menumbuhkan dan mengembangkan efektivitas kepemimpinannya melalui berbagai kegiatan pendidikan dan latihan kepemimpinan.
Dan dalam lembaga pendidikan, proses kepemimpinan tak hanya menjadi tanggung jawab pihak universitas. Kelembagaan mahasiswa juga berperan aktif didalamnya, karena disanalah tempat digodoknya mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa. Kepemimpinan juga bukan soal formalisasi dan teori semata, pembentukan karakter serta pemantapan ideologi justru didapat dari keseharian di kelembagaan. Budaya diskusi dan penambahan wacana seringkali didapat dari angkringan ke angkringan atau sekedar ngopi bareng dengan teman yang aktif berlembaga. Bahkan dari budaya berkumpul dan penambahan wacana dari diskusi sederhana inilah mimpi – mimpi dari beberapa orang terkumpul dan memunculkan ide yang lebih kreatif lagi. Kita justru berusaha untuk bagaimana mewujudkan sebuah wacana atau ide tersebut menjadi kenyataan. Untuk menggapainya pun tak semudah membalikkan tangan. Kita harus bangun dan membangunkan, berjuang dan memperjuangkan, serta bergerak dan menggerakkan. Inilah esensi mahasiswa, kita tak hanya pandai bermimpi, kita juga dituntut untuk memimpin. Kampus hanya memfasilitasi ladang perjuangan mahasiswa, mempertemukan kita dengan beberapa orang yang memiliki pemikiran dan pemahaman beragam, memperkaya kita dengan pengetahuan lebih. Dan selebihnya ada ditangan kita, apakah kita hanya akan diam, atau memaksimalkan fasilitas yang sudah disediakan ini.
Selamat datang mahasiswa pemimpi dan calon pemimpin bangsa. Hidup mahasiswa! (Nurcholis Ma’arif – Mahasiswa Jurusan Ilmu Kimia 2014/Staf Divisi Pelita LPM HIMMAH UII)