Pak Artum, demikian seringkali beliau dipanggil. Ia lebih dikenal sebagai seorang wartawan kawakan, baik sebagai pemimpin, staf redaksi, atau koresponden surat kabar dan majalah. Beliau juga seseorang yang sangat peduli terhadap kebudayaan dan sejarah lokal, sebagaimana tercermin pada karya tulis yang dihasilkan dan aktivitasnya secara langsung dalam kegiatan pelestarian benda peninggalan sejarah dan purbakala. Pak Artum pernah menjadi Juara I Sayembara Karang Mengarang “Pemuda Harapan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Jawatan Penerangan Provinsi Kalimantan Selatan di Banjarmasin pada tahun 1950. Dunia politikpun tak asing pula baginya. Setidaknya, pengalaman sebagai aktivis organisasi pergerakan dan luasnya pergaulan menjadi modal baginya saat menjabat sebagai Ketua DPRD Kotapraja Banjarmasin 1954-1961.
Penulisan buku ini turut menyumbangkan deretan arsip buku yang menampilkan tokoh lokal Kalimantan Selatan. Pasalnya, tak banyak buku yang menyajikan tokoh lokal daerah di Kalimantan Selatan. Beberapa buku yang sudah ada adalah “Kepahlawanan Pangeran Antasari” karya Deddy Armand, “100 Tokoh Kalimantan” karya Abu Nazla Muhammad Muslim Safwan, dan “Orang-orang Terkemuka dalam Sejarah Kalimantan” karya Anggraini Amtemas. Buku-buku tokoh lokal yang ada di perpustakaan dan toko buku seakan memberi kesan, Kalimantan Selatan kering dengan tokoh bersejarah.
Penyajian tulisan dengan sudut pandang penulis sebagai “aku” membuat buku ini seperti memoar. Redaksinya disusun sedemikian rupa dengan pola bertutur, sehingga seperti sebuah autobiografi. Atau dengan kata lain, buku ini lebih mencerminkan publikasi dari sebuah naskah sumber yang mungkin lebih tepat digunakan sebagai data penulisan sejarah. Hal tersebut membuat buku ini tak selayaknya buku yang mengisahkan seorang Atum Artha, tetapi menjadi buku harian yang lebih menjelaskan perihal kehidupan Artum Artha saat masih hidup. Peletakkan sosok Artum Artha diposisikan sebagai saksi hidup dari rentetan sejarah yang ada di Kalimantan Selatan.
Kaburnya sosok “aku” dalam pengisahan membuat kisah terhadap sejarah di Kalimantan Selatan kian menonjol. Pembaca dibawa terlalu larut dalam kisah-kisah sejarah yang terjadi saat itu dibandingkan dengan pencitraan tokoh Artum Artha sebagai pelaku sejarah. Contohnya, pada Bab II yang mengisahkan perihal pergulatan hidup di zaman Hindia-Belanda, bukan memaparkan sikap sang tokoh saat hidup di zaman Hindia-Belanda itu sendiri. Cerita lebih banyak larut pada kerasnya kehidupan di zaman Hindia-Belanda dengan Artum Artha sebagai saksi hidup yang telah mati.
Tak seperti kisah perjalanan hidup seorang tokoh pada umumnya, melalui buku ini pembaca hanya dikisahkan sekelumit perjalanan hidup dari tokoh Artum Artha. Penjabaran perihal perjalanan hidup seorang Artum Artha dari masa kecil hingga meninggal di tahun 2003 masih minim. Untuk mengetahui sosok Artum Artha secara utuh, baik di bidang sastra, jurnalistik, maupun budaya, buku ini belum cukup memadai, apalagi bila menyangkut pemikiran, atau gagasan beliau di bidang kebudayaan. (Aghreini Analisa)