Himmah Online, Yogyakarta – Aliansi Solidaritas Poros, Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (KBM UAD) dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) melakukan aksi di depan kantor Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Yogyakarta pada Jumat, 6 Mei 2016. Aksi tersebut merupakan reaksi atas pembredelan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros UAD oleh birokrat kampus mereka sendiri.
Ada lima tuntutan dalam aksi ini. Pertama, menolak diskriminasi kepada pers mahasiswa (persma) di kampus. Kedua, menolak LPM Poros UAD dibredel, karena mengancam kebebasan beraspirasi bagi intelektual kampus dan mengancam tentang keterbukaan informasi intra kampus. Ketiga, membatalkan Surat Keputusan pembekuan LPM Poros UAD. Keempat, pimpinan pusat Muhammadiyah harus menegur birokrat UAD, karena birokrat kampus telah melakukan perilaku yang mencoreng citra intelektual para kaum akademisi. Dan kelima, birokrat UAD harus meminta maaf kepada LPM Poros UAD.
Kasus pembredelan LPM Poros sendiri berawal dari pemberitaan terkait pembangunan Fakultas Kedokteran (FK) UAD. Dalam pemberitaan dituliskan bahwa pihak kampus belum maksimal dalam pemenuhan fasilitas namun tetap membuka FK. Pihak kampus yang diwakili oleh Abdul Fadlil selaku Wakil Rektor III menyatakan bahwa isu yang diangkat Poros sudah keterlaluan dan kegiatannya sudah tidak lagi bermanfaat bagi kampus. Sedangkan menurut Pemimpin Umum LPM Poros, Lalu Bintang Wahyu Putra, pembredelan ini dilakukan atas unsur ketidaksukaan terhadap isu yang diangkat.
Akibat pembredelan ini, LPM Poros tidak lagi mendapatkan akses fasilitas kampus seperti peminjaman ruang serta pemberhentian pendanaan. Pembekuan kegiatan persma Poros tersebut dilakukan tanpa adanya SK dari rektorat UAD secara tertulis, hanya lisan. Berbagai upaya pendekatan telah dilakukan oleh pihak Poros seperti audiensi. Namun tetap saja upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Pihak kampus tetap membekukan kegiatan LPM Poros UAD. Menanggapi kasus pembredelan Poros dan pembredelan persma sebelumnya, Sekretaris Jendral (Sekjend) PPMI Dewan Kota Jogja, Taufik Nur Hidayat menyatakan bahwa persma jangan cuma sebatas share dan blow up terkait kasus pembredelan. “Persma juga harus berani menekan, karena sejarah kaum intelektual di Indonesia adalah kaum yang berani menekan,” tegasnya.
Aksi berjalan damai dan massa aksi dipersilahkan memasuki kantor PP Muhamadiyah. Namun, audiensi tetap tak bisa dilakukan dengan pimpinan Muhammadiyah dikarenakan pimpinan tidak berada di tempat. Muhammad Isra Mahmud selaku koordinator umum aksi merasa kecewa atas ketidakhadirannya pimpinan PP Muhammadiyah. Isra mengatakan bahwa sebelumnya massa aksi telah mengirim pesan singkat berupa permintaan pertemuan kepada salah seorang pimpinan PP Muhammadiyah. “Mereka sebagai pimpinan harusnya bisa membalas pesan yang kami sampaikan, tapi sampai aksi tadi dilakukan pun tidak ada pimpinan yang menemui. Kami akan melakukan aksi lagi, dan akan mengawal kasus ini sampai tuntas” ungkap Isra.
“Karena ini hari libur, para pimpinan biasanya mengisi pengajian di daerah-daerah,” ujar Mahendra, staf PP Muhammadiyah yang menemui massa. Aksi tersebut berakhir setelah adanya perundingan antara massa aksi dengan Mahendra. Massa aksi diberikan jadwal Musyawarah Kerja Nasional (Muskernas) —selain pimpinan Muhammadiyah yang sedang di luar kota, beberapa pengurus Muhammadiyah lain sedang melakukan Muskernas— di mana ada satu sesi yang membahas jurnalistik. Menurut Mahendra, sesi tersebut dapat menjadi wadah yang sesuai untuk menyuarakan aspirasi mereka.