Minggu, 24 September 2017, Tugu Jogja menjadi titik kumpul mahasiwa dari berbagai kampus di perguruan tinggi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka sedang mengikuti aksi yang digelar oleh Aliansi Peduli Petani (API) dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional. Selain itu, beberapa petani dari Parangkusumo dan warga penolak bandara di Kulon Progo juga turut hadir untuk mengikuti aksi.
Tahun ini API mengusung tema aksi Tolak Kriminalisasi Petani, Lawan Penggusuran. “Kalau aksi di jalanan kayaknya tidak menarik simpati orang, yasudah kita bawa acara seperti ini,” kata Heronimus selaku koordinator aksi. Rangkaian acara aksi tersebut diawali dengan penampilan dua grup musisi yang dilanjutkan penyampaian pidato dari korban penggusuran di Parangkusumo.
Heronimus menambahkan bahwa dia melihat banyak petani yang dikriminaliasi, kemudian merencanakan untuk mengadakan aksi. Kriminalisasi yang dimaksud seperti kasus yang terjadi pada Budi Pego di Banyuwangi yang mempertahankan tanah Tumpang. “Budi dilaporkan ke polisi, dan ada juga Joko Prianto di Rembang serta masih banyak lagi.”
Dalam aksi API terdapat beberapa desakan antara lain laksanakan reforma agraria sejati, stop merampas tanah milik para petani, hentikan kriminalisasi petani dan pejuang lingkungan, serta batalkan pembangunan bandara di Kulongprogo. Desakan tersebut ditunjukan kepada Presiden Joko Widodo.
Selain desakan untuk presiden, API dalam siaran persnya juga menerbitkan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tercatat pada tahun 2015 ada 252 konflik agrarian. Namun, di tahun 2016 meningkat menjadi 450 konflik dengan luas wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika dikalkulasikan dari tahun 2014 sampai 2016 sudah terjadi 1.174 konflik dengan luas wilayah 4.526.435 Ha dan melibatkan 301.346 KK. Selama 2016 sudah 134 petani yang dikriminalisasi. Jumlah itu belum termasuk di tahun 2017.
Selain itu dalam siaran pers yang mereka terbitkan, di Jogja sendiri terdapat rencana pembangunan bandara baru di Kulonprogo yang memakan luas kawasan pengembangan 5,84 km2; luas kawasan yang terbangun 2,51 km2; luas kawasan tidak terbangun 2,51 km2 dengan konsep airportcity. Rencana pembangunan ini bukan hanya menerobos peraturan yang ada tapi juga mengabaikan bahaya tsunami dan sosio-ekonomis masyarakat yang hidup di wilayah tersebut.
Menurut Heronimus bahwa dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) Presiden Joko Widodo seharusnya penerapan dalam kasus bandara di Provinsi DIY adalah dengan pengembangan bandara yang ada di Bandara Adi Sucipto, bukan pembangunan ulang bandara baru seperti yang telah direncanakan Pemerintah saat ini. “Pembangunan bandara baru di Kulonprogo adalah sesuatu yang salah,” tutur Heronimus.
Wijiyanto, salah satu peserta yang hadir dalam aksi berasal dari Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo mengatakan bahwa masyarakat yang menjadi korban penggusuran lahan di Kulonprogo 90% adalah petani. Menurutnya di sana dulunya adalah lahan yang tandus. Lahan tersebut digarap dan diubah oleh nenek moyang masyarakat di sana menjadi lahan subur (produktif). Lahan yang ada pun digarap petani secara turun-temurun. “Kalau ngomong masalah sejahtera, kami sudah sejahtera,” kata Wijiyanto. Ia menambahkan bahwa penggusuran lahan tidak hanya akan membuat petani kehilangan lahan, tetapi mereka sudah tidak bisa bekerja lagi.