Bedah Buku Kronik Otoritarianisme Indonesia Ungkap Peran Koran Sebagai Arsip Sejarah Rakyat

Himmah Online – Dilansir dari Tempo, sejarah Indonesia akan dibuat ulang dengan nada yang positif oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Fadli Zon. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan bagi Zainal Arifin Mochtar, apa yang dimaksud dengan nada positif?

Pertanyaan ini menjadi pengantar dalam “Bedah Buku Kronik Otoritarianisme Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (19/06), di Learning Law Center, Fakultas Hukum (FH), UGM. Dengan narasumber Zainal Arifin Mochtar dan Muhidin M. Dahlan selaku penulis buku Kronik Otoritarianisme Indonesia, serta Amalinda Savirani selaku Dosen Politik dan Pemerintahan UGM, dengan moderator Iona Fahriyah Odilla, Mahasiswa FH UGM.

Pembahasan diskusi dari buku ini salah satunya adalah sejarah pemerintahan Indonesia. Muhidin menjelaskan bahwa terdapat kasus pemerintahan Indonesia yang tidak pernah dipelajari di tingkat sekolah, contohnya seperti latar belakang pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta).

“Kalau saya tidak membaca kliping (red. koran), saya tidak tahu bahwa pemberontakan PRRI Permesta itu mulanya itu dari kasus korupsi,” jelas Muhidin.

Awalnya buku ini dirancang dengan menyajikan sejarah otoritarianisme melalui kasus yang berasal dari analisis jurnal-jurnal. Namun setelah Zainal berdiskusi dengan Muhidin, buku ini akhirnya diberi rentetan kronik mengenai berbagai kasus bangsa Indonesia yang bersumber dari kliping koran.

Zainal menilai pengumpulan kliping koran yang dihimpun oleh Muhidin sebagai data kronik memiliki nilai penting dalam pengumpulan data. Muhidin menganggap koran sebagai sejarah dan sumber utama yang tertulis apa adanya.“Sejarah itu adanya di koran, sejarah itu bukan ada di buku-buku yang ditulis oleh negara,” jelas Zainal. 

Menurut Muhidin, ada tiga poin utama yang menjadikan koran sebagai dokumen utama baginya. Pertama, koran itu dipublikasikan ke rakyat, berbeda dengan arsip dokumen yang hanya disimpan di suatu tempat saja dan diakses oleh orang-orang tertentu. 

Kedua, sejarah rakyat hanya berada di koran yang dicatat oleh jurnalis, bukan di pemerintah. Terakhir, para pendiri bangsa Indonesia mayoritas adalah seorang pemimpin redaksi. 

“Soekarno, Hatta, semua itu. Kyai Dahlan, Natsir, DN Aidit semuanya termasuk sebagai jurnalis. Semua pemred (pemimpin redaksi), dan mereka punya koran semuanya,” jelas Muhidin.

Tiga alasan ini menjadi alasan Muhidin untuk bersikap dan memilih koran sebagai dokumen pribadinya. Berbeda halnya apabila sejarah ditulis oleh negara. Menurut Zainal, negara sangat rentan mereduksi sejarah dengan membuat patahan-patahan dan interpretasi yang tidak sesuai. Ia juga mengatakan bahwa hal tersebut seringkali digunakan oleh negara-negara atau para pemimpin yang mempunyai ‘dosa’ masa lalu untuk menjaga misitifikasinya. 

“Semua kekuasaan butuh mistifikasi, tidak ada kekuasaan yang tidak butuh mistifikasi, dan dalam rangka mistifikasi, salah satu alat paling efektif itu adalah menguasai sejarah,” pungkas Zainal.

Reporter: Himmah/Farhan Mumtaz, Abraham Kindi, Sri Wahyuni

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman

Baca juga

Terbaru