Himmah Online – Cerpen yang dipilih oleh Kompas tak hanya berfungsi sebagai karya estetik, melainkan juga sebagai refleksi sosial yang tajam. Ia hadir membingkai kesenjangan, memotret lokalitas, dan menyuarakan suara yang tak terdengar. Ungkapan ini disampaikan Hilmi dalam diskusi bertajuk “Membaca Indonesia Lewat Cerpen Kompas” yang merupakan bagian dari rangkaian Festival Jurnalisme & Kebudayaan.
Diskusi ini menghadirkan narasumber Hilmi Faiq, Kepala Desk Budaya Kompas. Risda Nur Widia, dosen sekaligus penulis. Dan Innezdhe Ayang sebagai moderator. Diskusi diselenggarakan di Omah Petroek, Sleman, Yogyakarta, pada Senin (07/07).
Hilmi menjelaskan dalam pemilihan karya cerpen, Kompas memiliki beberapa aspek penilaian. Aspek tersebut ialah amanat hati nurani rakyat, re-inventif atau menemukan kembali jati diri Indonesia, dan humanisme transcendental.
“Karena Kompas punya nilai-nilai,” jelas Hilmi.
Aspek amanat hati nurani rakyat merupakan aspek yang menempatkan suara publik sebagai landasan. Karya yang dipilih memiliki unsur berkaitan dengan kesenjangan sosial, ketidakadilan sosial atau ketimpangan ekonomi. “Ini yang membuat cerpen Kompas cenderung beraliran realisme sosial,” jelas Hilmi.
Aspek re-inventif Indonesia menekankan pentingnya menemukan kembali jati diri bangsa melalui cerpen. Salah satunya ialah menemukan lokalitas sebagai bagian dari narasi yang otentik bukan sebagai hiasan geografis. Cerpen Kompas menuntut karya yang tumbuh dari konteks kehidupan yang nyata dan kepekaan sosial penulisnya.
“Misalnya kita cerita tentang Madura, tentang Sulawesi, tentang NTT, tentang Sumatera Barat; itu menjadi nilai plus. Selama itu tidak lipstik (red: sekedar perkataan),” jelas Hilmi.
Humanisme transendental menekankan cerpen Kompas tidak semata-mata antroposentris, melainkan membawa nilai-nilai ilahiah yang hidup dalam keseharian. “Nilai-nilai ketuhanan. Nilai yang kira-kira ditafsirkan atau diselenggarakan dalam kehidupan sosial kita menjadi seimbang,” ucapnya.
Nilai-nilai tersebut menjadi bingkai yang membentuk identitas cerpen Kompas. Sehingga cerpen bertemakan percintaan jarang dimuat oleh Kompas. “Makanya cerpen di Kompas itu jarang sekali memuat cerpen yang isinya tentang jatuh cinta, patah hati, nikah lagi, cerai. Itu jarang sekali,” ungkap Hilmi.
Risda kemudian membagikan pengalamannya dalam proses pengiriman cerpen ke media kepada peserta, menurutnya penulis harus menyesuaikan substansi karya dengan karakter media yang dituju. “Yang ini cocok untuk Kompas, yang itu cocok untuk media lain,” ungkap Risda.
Dalam lanskap sastra Indonesia, cerpen Kompas membuktikan bahwa kisah pendek bisa menampung keresahan panjang. Ia bukan sekadar hiburan, tapi jejak pemikiran zaman. “Cerita itu pengetahuan,” pungkas Risda.
Reporter: Himmah/Arifah Nur Hidayati, Nurul Wahidah, Muhammad Nawal Haq Al Buny
Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman