Himmah Online – Noer Khasanah, dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), mengaku mengalami diskriminasi akademik. Hal ini ia sampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Perjuangan Menjaga dan Integritas Akademik: Sidang Etik yang Maladministrasi dan Jalan Terjal Meraih Guru Besar”, yang digelar oleh Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta pada Selasa (29/04). Acara ini juga dihadiri Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Serikat Pekerja Kampus.
Noer mengungkapkan bahwa dirinya mengalami pembatasan hak-hak akademik secara sistematis oleh Departemen Perikanan UGM. Ia tidak diberi tugas mengajar dan menguji mahasiswa, serta diputus aksesnya terhadap berbagai aktivitas akademik lainnya.
“Sejak 2016 saya tidak diberi tugas mengajar S2 dan S3, tidak diberi tugas menguji mahasiswa dalam satu tahun, kemudian saya dibatasi dalam Kredit Unit Minimal (KUM) mengajar. Nah itu kan diskriminasi jelas terlihat di situ,” ujar Noer.
Tidak linearnya bidang ilmu kerap digunakan sebagai alasan oleh departemen untuk menolak kenaikan pangkatnya sebagai guru besar. Departemen Perikanan Fakultas Pertanian UGM menilai bahwa latar belakang pendidikan Noer yang berasal dari farmasi tidak sejalan dengan departemen perikanan. Akan tetapi, dalam siaran pers yang dirilis UGM disebut bukan itu penyebabnya. “Jadi saya rasa departemen twisting the word (memutarbalikan kata),” ujar Noer.
Noer juga menunjukkan dokumen dan kronologi lengkap sebagai respons atas rilis resmi kampus dan Surat Keputusan (SK) Etik UGM Nomor 1554/UN1.P/KPT/DSDM/2024 yang menurutnya penuh ketidaksesuaian dan manipulasi. Ia mengaku tidak diberi akses terhadap dokumen penilaian yang ia minta sendiri.
“Saya meminta penilaian, yang dinilai saya, yang meminta saya, tapi tidak boleh. Tidak boleh dan mereka tidak akan mengeluarkan penilaian saya,” ujarnya.
Dian dari KIKA, menilai bahwa apa yang terjadi pada Noer Khasanah adalah bentuk kekerasan terhadap kebebasan akademik. Terdapat pembungkaman penyampaian pendapat, penyensoran terhadap riset dan publikasi, dan diskriminasi berupa perlakuan yang tidak menghargai kompetensi dan kapasitas akademik.
“Ada juga disinformasi dan intervensi dari pejabat kampus, yang menunjukkan relasi kuasa yang timpang,” ungkap Dian.
Ia juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap kebebasan akademik sesuai dengan Surabaya Principles on Academic Freedom 2017 (SPAF). Tentang bagaimana sebetulnya ada pembebasan penuh dalam mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Sementara itu, Luthfi Kalbu Adi dari Departemen Bantuan Hukum, Serikat Pekerja Kampus mengkritisi proses sidang etik yang disebutnya sering tidak prosedural dan cenderung reaktif. Menurutnya, proses seperti ini membuka celah bagi keputusan yang berat sebelah dan berujung pada ketidakadilan.
“Karena dilakukan secara reaktif atau latah biasanya praktiknya pun dilakukan tanpa prosedur yang berlaku, atau bahkan tidak memiliki SOP (Standard Operating Procedure) sama sekali,” ujar Luthfi.
Terlepas dari tekanan yang dihadapi, Noer tetap menunjukkan sikap tegas. Ia membawa kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman DIY, dan Komisi Informasi Pusat (KIP), yang hasilnya menyatakan bahwa informasi terkait kenaikan pangkat adalah hak yang seharusnya terbuka.
“Sejak menunjuk kuasa hukum, maka saya sudah bertekad bulat untuk mengorbankan waktu dan diri saya untuk berjuang, bukan hanya untuk diri saya, tetapi agar orang lain tidak mengalaminya,” pungkas Noer.
Reporter: Himmah/Hana Mufidah, Reza Sandy Nugroho, Marsyalina Dwi Putri Aminarti, Septi Afifah
Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman