Himmah Online, Yogyakarta — Extinction Rebellion (XR) Yogyakarta mengadakan aksi Global Climate Strike pada Jumat (25/03) pukul satu siang. Tuntutan massa aksi siang itu terdiri dari deklarasi, adaptasi, mitigasi, dan demokrasi dalam hal krisis iklim.
“Lingkungan yang adil untuk masyarakat adalah hak dasar masyarakat,” tegas Wahyu Aji (25) selaku koordinator lapangan dari XR Yogyakarta.
Berdasarkan unggahan di akun Instagram milik XR Jogja, tuntutan terkait deklarasi bertujuan untuk mengedukasi dan menyampaikan kebenaran mengenai krisis iklim. Seperti bagaimana dampak dan akibatnya, serta usaha mitigasi dan adaptasi yang bisa dilakukan melalui kanal media publik yang dapat digunakan.
Tuntutan adaptasi sendiri diserukan agar ketahanan iklim melalui infrastruktur untuk kedaulatan pangan, energi, dan air; penerapan prinsip ekoefisiensi dalam sistem produksi; serta adanya integrasi antara kearifan lokal masyarakat adat dengan perencanaan solusi seperti pembuatan keputusan dapat terbangun.
Mitigasi dalam tuntutan ini dimaksudkan agar bisa meningkatkan ambisi dan komitmen sesuai Perjanjian Paris untuk menahan laju pemanasan di 1,5 derajat; menghentikan seluruh solusi iklim palsu seperti batu bara, gas, nuklir, green industrial park, dan yang lainnya.
Kemudian seluruh pendanaan pada proyek dan kebijakan yang membuat krisis iklim semakin buruk dapat dihentikan, serta mengalihkan pendanaan dan dukungan pada solusi yang terdesentralisasi.
Tuntutan terakhir yakni demokrasi diajukan demi adanya keamanan dan keadilan bagi seluruh pejuang lingkungan, perubahan sistem ekonomi dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi ekonomi pemenuhan kehidupan, serta adanya perubahan sistem politik dalam pembuatan keputusan agar mengedepankan partisipasi aktif masyarakat seperti balai masyarakat.
“Balai masyarakat yang diinginkan adalah sistem negara yang partisipatif, inklusif, yang berdasarkan kebutuhan warga, tidak berdasarkan pada skema PDB yang memberikan pesan modernisasi semu dan kesejahteraan semu,” papar Aji.
Kemudian ia pun menyebutkan bahwa salah satu contoh tuntutan yang mengubah sistem ekonomi yakni seperti pada kasus Desa Wadas, Purworejo. Menurutnya, Desa Wadas masih bisa menyejahterakan masyarakatnya tanpa adanya pembuatan bendungan air yang ditujukan untuk mendukung infrastruktur negara.
Aksi ini diikuti oleh beberapa komunitas seperti Fossilfree Jogja, Fossilfree UGM, Pedestrian Jogja, 350, Sasenitala, teman-teman kesenian yang membantu aktivasi ruang publik, serta beberapa mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada.
Abiyyi (21), salah seorang partisipan aksi, menjelaskan bahwa motivasinya untuk mengikuti aksi ini atas dasar komunitas Pedestrian Jogja.
Ia dan komunitasnya menggalakkan budaya berjalan kaki untuk mengurangi polusi, yang juga berarti dapat ikut mengurangi produksi emisi karbon dan akan berdampak pada iklim.
”Harapannya setiap aksi ingin melakukan hal agar berdampak signifikan dalam mengubah kebijakan untuk iklim yang lebih ramah lingkungan,” tambahannya.
Ada pula Daniel (45), selaku dosen Hubungan Internasional UGM yang juga ikut dalam aksi tersebut dan menyampaikan harapannya, “Mudah-mudahan lebih banyak orang yang belajar tentang perubahan iklim di Indonesia.”
Pelaksanaan aksi Global Climate Strike telah dilakukan sejak tahun 2018 setiap hari Jumat di akhir bulan Maret. Khusus di Yogyakarta, setiap tahunnya tema aksi yang diangkat berkaitan dengan kesenian.
Penulis: Zalsa Satyo Putri Utomo
Reporter: Alwan Nur Fakhry, Ika Rahmanita, Muhammad Prasetyo, Zalsa Satyo Putri Utomo
Editor: Nadya Auriga D.