Himmah Online – Tata kelola pertambangan di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai masih menyisakan banyak persoalan. Mulai dari dampak lingkungan, lemahnya akuntabilitas hingga minimnya perlindungan bagi masyarakat di sekitar tambang. DPRD DIY bersama Pemerintah Provinsi saat ini tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Logam, Bukan Logam, dan Batuan.
Menanggapi hal itu, Fisipol Corner UGM menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Sisi Gelap Pertambangan di Tanah Istimewa: Raperda Tambang untuk Siapa?” pada Rabu (18/6), di Selasar Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Diskusi tersebut menghadirkan Elki Setiyohadi, dari WALHI Yogyakarta, Wasingatu Zakiyah dari Koalisi Jogo Banyu, dan Fariz Azhami dari Fisipol Corner UGM.
Zakiyah menyebut bahwa salah satu masalah yang ingin diatasi melalui Raperda ini adalah transparansi. Poin transparansi menjadi penting karena terjadi diskrepansi, yaitu ketidaksesuaian antara data lapangan dan data yang dilaporkan ke pemerintah. Perbedaan itu terletak pada berapa penjualan, produksi, dan beberapa poin lainnya.
“Penjualannya berapa, produksinya berapa, yang berhasil dikeruk berapa, yang di-shipping, yang dilaporkan berapa? Di situlah diskrepansi itu sebenarnya ada,” ujar Zakiyah.
Caksana Institute, perkumpulan berbadan hukum yang bertujuan untuk mendorong reformasi hukum dan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan partisipatif telah mengeluarkan catatan atas Raperda Pertambangan DIY.
Dalam catatannya, Caksana Institute menyoroti tentang penetapan wilayah pertambangan, aspek pemulihan (reklamasi dan pascatambang), aspek transparansi dan akuntabilitas, serta aspek pembinaan dan pengawasan. Mereka menekankan bahwa aspek-aspek tersebut perlu dikaji lebih jauh untuk menghadirkan peraturan yang inklusif bagi semua.
Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah DIY Tahun 2019-2039 menyatakan bahwa ada kawasan yang dilarang untuk kegiatan pertambangan. Kawasan tersebut mencakup wilayah kadipaten, kesultanan, serta kelurahan yang berada di dalam area kesultanan atau sultan ground.
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan wilayah Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) di Gunung Kidul juga termasuk kawasan yang tidak boleh ditambang. Akan tetapi, setiap bupati yang menjabat di Gunung Kidul selalu meminta agar moratorium karst dibuka kembali. “Supaya investasi datang kembali ke Gunung Kidul,” ujar Zakiyah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) dinyatakan bahwa wilayah karst tidak dapat ditambang. Akan tetapi, Kementerian ESDM malah membuka izin tambang di wilayah Pracimantoro, Wonogiri yang merupakan kawasan karst.
“Jelas-jelas karst itu gak boleh, tapi ada satu wilayah yang kemudian dibuka oleh ESDM dan itu dibolehkan, di tahun 2024,” ujar Zakiyah.
Zakiyah menyebut, setelah ia mencari informasi kepada warga, ternyata beberapa sertifikat tanah warga telah dibawa oleh pihak tak dikenal untuk dibeli. Warga Wonogiri tidak tahu berapa uang yang akan mereka dapat dari sertifikat itu. Bahkan beberapa sertifikat telah hilang.
“Kayaknya dia (orang yang mengambil sertifikat warga) tahu tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan orang yang tahu rencana untuk pertambangan ini. Entah dari PT atau perusahaan itu, ataukah itu dari calon, kita tidak tahu,” ujar Zakiyah.
Elki mengungkap bahwa pada tahun 2023 sampai 2024 terdapat 26 titik pertambangan ilegal dan banyak ditemukan di Kulon Progo. Ditemukan pula data di Godean, Sleman mengenai perizinan yang awal nya izin perumahan ternyata untuk pertambangan. Padahal wilayah tersebut termasuk ke dalam situs geologi.
“Nah, dari tata ruangnya itu kan sangat pelanggaran. Misalnya izinnya kan pasti berbeda. Yang satu izinnya untuk perumahan, tapi ternyata ditambang, dikeruk seperti itu,” ujar Elki.
Menurut Zakiyah, penting mendiskusikan posisi pertambangan di DIY, termasuk partisipasi desa dalam Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Jangan sampai desa tidak dilibatkan dan tidak mendapat manfaat dalam pertambangan rakyat.
“Perda pertambangan itu rezimnya kan masih rezim IUP (Izin Usaha Pertambangan), bukan rezim IPR”, pungkas Zakiyah.
Reporter: Himmah/ Syakila Deby Agista, Ayu Salma Zoraida Kalman, Abraham Kindi
Editor: Hana Mufidah