Himmah Online, Yogyakarta – Sekelompok massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Yogyakarta Untuk Reformasi KUHP mengadakan aksi berjalan kaki dari DPRD Yogyakarta, lalu Kantor Kepatihan DIY, dan berakhir titik 0 KM Yogyakarta pada Senin, 12 Februari 2018. Aliansi ini terdiri atas beberapa elemen organisasi maupun individu.
Menurut Aditia N selaku koordinator aksi siang itu mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan bentuk respon penolakan masyarakat terhadap Rancangan Keputusan Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dirancang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). “Kita melakukan perlawanan terhadap Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana yang sedang digodok di DPR,” ujar Aditia.
Aditia juga menilai bahwa pembuatan RKUHP ini tidak trasparan sehingga berpotensi menimbulkan konflik. “Proses pembuatan RKUHP ini tidak dijalankan secara transparan dan tanpa melibatkan elemen masyarakat. Oleh karena itu dikhawatirkan akan menimbulkan polemik di masyarakat,” ucap Aditia.
Dari total 786 pasal yang terdapat pada draft RKUHP, ada beberapa pasal menurut Aditia yang berpotensi menimbulkan polemik. Salah satunya tentang perluasan soal pasal perzinaan. Aditia menilai bahwa perluasan pasal tersebut dapat mengakibatkan meningkatnya persekusi. “Pasal ini rentan menjerat orang-orang yang menikah siri dan tidak tercatat di Kementerian Agama, selain itu pasal ini dapat mengkriminalisasi masyarakat adat yang pernikahannya tidak pernah tercatat secara administrasi,” pungkas Aditia.
Pasal soal perzinaan yang termaktub dalam pasal 484 ayat 1 huruf e draf KUHP tersebut menyatakan:
“Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.”
Guna menghindari terjadinya persekusi lantaran adanya pasal 484 ayat 1 huruf e ini, DPR bersama pemerintah memperketat isi pasalnya dengan menambahkan ayat baru. Sehingga pasal 484 ayat 2 draf KUHP tersebut menyatakan:
“Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar kepentingan.” Penggunaan kata pihak ketiga kemudian diganti dengan suami, istri, orangtua, dan anak.
Hal lain yang disoroti Aditia terkait pasal ini adalah perihal kriminilasi yang akan menjerat korban pemerkosaan. Aditia beranggapan bahwa korban pemerkosaan bisa dipenjara jika pelakunya mengaku hubungan mereka atas dasar suka sama suka. “Banyak korban pemerkosaan yang kasusnya malah tidak dianggap sebagi pemerkosaan, juga banyak korban pemerkosaan yang ketika melaporkan kasusnya ke polisi malah direndahkan sebagai korban pemerkosaan,” tutur Aditia. Aditia juga menambakan bahwa perluasan pasal ini malah akan membuat korban pemerkosaan enggan untuk melaporkan kasus mereka ke polisi.
Senada dengan yang disampaikan oleh Aditia. Wening Fikriyati, aktivis Srikandi Lintas Iman. Salah satu organisasi yang terlibat dalam Aliansi Masyarakat Yogyakarta Untuk Reformasi KUHP mengungkapkan perluasan pasal tersebut bisa mengkriminalisasikan perempuan serta anak korban pemerkosaan.
Wening yang kami coba hubungi melalui aplikasi pesan singkat Whatsapp berpendapat bahwa setidaknya ada tiga kelompok yang rentan dipidana karna pasal perzinaan ini: Perempuan korban perkosaan yang tidak bisa dibuktikan perkosaannya, Penghayat atau kelompok adat yang pernikahannya tidak dicatat, dan orang-orang yang melakukan nikah siri.
Ketika ditanya alasan kenapa ia dan organisasinya menolak draf RKUHP ini, Wening menjawab bahwa komunitasnya adalah komunitas yang peduli perempuan dan anak. “Kita menolak ya karena kita sangat peduli pada nasib perempuan dan anak. Dan RKUHP ini sangat tidak berpihak pada dua kelompok ini,” jawab Wening.
Pembahasan terkait RKUHP kurang lebih telah berjalan selama hampir dua tahun terhitung sejak tanggal 26 Oktober 2015. Pembahasannya sendiri melalui 2 tahap: pembahasan buku I yang mencakup pasal 1-218 dan pembahasan buku II yang mencakup pasal 219-786.
Untuk waktu pembahasan sendiri, buku I berlangsung sejak September 2015 hingga Juni 2016, dan buku II dibahas mulai tanggal 15 September 2016 hingga 26 Januari 2017. Setelah dilakukan pembahasan oleh DPR, tim pemerintah yang terdiri atas beberapa ahli hukum pidana akan menelaah draf RKUHP tersebut sejak Oktober 2017 lalu.
Sesuai rencananya, RKHUP tersebut akan disahkan oleh DPR pada 14 Februari 2018. Namun hingga saat ini, satu hari sebelum pengesahannya masih terdengar banyak gelombang penolakan terhadap draf hasil pembahasan RKUHP tersebut.