“Kaki”, Aspek Penting dalam Esai

HIMMAH Online, Yogyakarta – Kamis, 15 Desember 2016, Lembaga Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menyelenggarakan diskusi bedah buku sebagai salah satu kegiatan dalam rangkaian acara Kampus Buku 2016. Diskusi yang berlangsung di Kampus 2 UAD tersebut mengangkat buku yang berjudul Inilah Esai karya Muhidin M. Dahlan atau akrab dipanggil Gus Muh.

Gus Muh memulai diskusi dengan contoh kasus penistaan agama. Ia memaparkan bahwa akar dari jutaan orang yang turun ke jalan pada aksi 4 November dan 2 Desember 2016 adalah karena esai Buni Yani. Pasalnya, Gus Muh melihat esai Buni Yani yang berbentuk transkrip sebagai filter yang menjembatani video terkait penistaan agama oleh terdakwa Basuki Tjahaja Purnama.

Kemudian, Gus Muh menuturkan bahwa esai yang baik adalah esai yang responsnya tidak terduga. “Esai itu sendiri adalah percobaan-percobaan yang kadang tidak utuh, sepenggal atau bahkan hanya sekadar mengambil irisan kecil. Bukan dilihat dari seberapa panjang esainya, melainkan dampaknya, seperti pamflet-pamflet pada tahun 1998. Propaganda mahasiswa dulu,” tutur Gus Muh.

“Esai Buni Yani bisa dibilang esai terbaik abad ini karena memiliki ‘kaki’. Esainya bisa menggerakkan banyak orang, bahkan setara proklamasi. Kalau dibandingkan, Soekarno menunggu empat puluh tahun agar esainya memiliki ‘kaki’, Buni Yani tidak. Esai Buni Yani menjadi mega bintang, Ahok itu sampai kebawa mimpi,” lanjutnya disusul gelak tawa.

Pada sesi selanjutnya, Ilham, moderator bedah buku, memberi hadirin kesempatan untuk membuat esai tanpa tema tertentu. Gus Muh mengevaluasi esai yang dibuat Bintang, salah satu peserta. Menurutnya, esai milik Bintang sudah bagus. Hanya perlu diperbaiki hingga dapat memainkan pikiran para pembacanya, baik menggunakan unsur humor atau penyajian data-data.

“Esai yang menarik adalah esai yang menghindari klise. Hati-hati menggunakan metafora yang berlebih walaupun di dalam pelajaran Bahasa Indonesia memang ada majas itu,” ujar Gus Muh mengkritisi esai peserta lain. Selain itu, beliau menambahkan bahwa seorang penulis esai idealnya dapat menulis seribu kata dalam waktu tiga puluh menit. Beliau juga mengelompokkan esai menjadi dua, yakni esai kanan dan esai kiri. “Semakin ke kanan, esai makin bersifat ilmiah, seperti makalah, jurnal, tesis, bahkan disertasi. Namun semakin ke kiri, esai makin memasuki wilayah sastra, contohnya opini, esai, hingga puisi. Namun, puisi sudah masuk ke dalam keluarga sastra seutuhnya,” jelas Gus Muh.

Fitrah Hasrina Putri selaku Ketua Pelaksana Kampus Buku 2016, melihat bahwa kemampuan dan kepekaan mahasiswa terhadap literasi kurang, sehingga mengundang penulis esai setingkat Gus Muh merupakan hal yang luar biasa. “Buku-buku beliau yang banyak dinilai negatif ternyata memiliki pesan positif yang tersirat. Ketika orang mendengar kata Inilah Esai, dia tidak mengerti esai itu apa. Tapi, setelah Gus Muh memaparkan mengenai esai, ternyata esai itu mudah dan sederhana,” ungkap Fitrah. Fitrah berharap dengan adanya Kampus Buku 2016, mahasiswa lebih “melek” dan peka terhadap literasi, terkhusus esai.

Terakhir, dalam wawancaranya, Gus Muh sepakat bahwa menulis esai adalah perkara yang sulit. Hal ini tercermin dari seberapa banyak kata yang bisa diproduksi. Selain karena aspek kebiasaan, menulis esai itu perihal disiplin. (Izam Ghali)

Skip to content