Kaki Lima, Kaum Tersingkirkan di Yogyakarta

Himmah Online – Yogyakarta sering digambarkan sebagai kota romantis. Namun dibalik kata tersebut terdapat dinamika sosial seperti pandangan negatif terhadap para Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai kaum yang termarjinalkan.

Beranjak dari hal itu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena menggelar acara diskusi dan bedah buku dengan mengusung  tema “Jogja dalam Rentang Kisah : Fiksi, Esai, dan Misteri” pada Minggu, (08/12). 

Diskusi ini menghadirkan tiga penulis yaitu Isma Swastiningrum, Penulis Novel Kaki Lima, K.A Sulkhan, Penulis Novel Kronik Pembunuhan Selma, dan Jevi Adhi Nugraha Penulis Buku Menanam Hantu di Bukit. Acara ini diselenggarakan di Universitas Islam Negeri Yogyakarta.  

Salah satu buku yang dibedah adalah “Kaki Lima” karya Isma Swastiningrum. Alasan utama Isma mengangkat isu PKL ialah karena isu ini dekat dengan masyarakat dan seringkali para PKL yang bertahan hidup dengan berjualan dianggap mengganggu keindahan kota Yogyakarta. 

“Dianggap bikin kemacetan, dianggap hama itu lah istilahnya,” ungkap Isma.

K.A Sulkhan, Pembedah novel “Kaki Lima  teringat akan isu-isu yang terjadi di tahun 2015, 2016 sampai 2018 saat itu Yogyakarta sangat populer dengan isu-isu agraria yang berkaitan dengan penggusuran. 

“Dulu di tahun 2015, 2016 sampai 2018 mungkin Jogja itu sangat populer dengan isu-isu agraria gitu, seperti SGPG (Sultan Ground Pakualaman Ground) itu yang menyebabkan penggusuran dimana-mana dan itu juga relate dengan isu-isu agraria di sekitar Jawa Tengah,” ungkap Sulkhan.

Sejalan dengan hal itu, Sulkhan menambahkan bahwa angkringan dan warteg di Yogyakarta juga memiliki kerentanan atas penggusuran dan sengketa tanah. Dengan alasan kelompok tersebut merusak keindahan kota.

“Kaya warteg-warteg masyarakat pinggiran, ternyata tidak seromantis itu karena terancam penggusuran,” ungkap Sulkhan.

Jevi Adhi Nugraha, Pembedah buku “Kaki Lima” menyoroti bagaimana penulis menggambarkan karakter yang dekat dengan pembaca dan menceritakan kehidupan penjual angkringan dengan terperinci.

“Bagi saya Isma mampu merangkum kehidupan selama menjadi mahasiswa, dan yang disampaikan ini emang bener-bener relate dengan orang-orang yang menjual angkringan,” ungkap Jevi.

Jevi membayangkan bahwa dunia yang ideal berisi oleh mahasiswa yang peka terhadap lingkungannya, sama seperti penggambaran peran mahasiswa di dalam buku kaki lima itu.

“Dengan bener-bener melihat di dalam bahwa setiap gorengan, setiap teh yang disajikan penjual itu selalu ada hal-hal yang mengancam dibelakangnya,” pungkas Jevi.

Reporter: Himmah/Putri Cahyanti, Reza Sandy Nugroho, Nurul Wahidah.

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman.

Podcast

Baca juga

Terbaru

Skip to content