Mahasiswa UII dipastikan harus membuat jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan.
Oleh: Raras Indah F.
Kampus Terpadu, Kobar
Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (SK Dirjen Dikti) Nomor 152/E/T/2012 tentang Ketentuan Publikasi Jurnal Ilmiah, keberadaan jurnal ilmiah akan menjadi salah satu syarat kelulusan untuk program strata 1 (S1). Hal tersebut sesuai dengan apa yang diutarakan Wakil Rektor I (WR I) Nandang Sutrisno. Nandang mengiyakan, ada tuntutan pubikasi jurnal ilmiah yang harus dipenuhi mahasiswa, meskipun sebenarnya ia keberatan. “Kita jelas akan melaksanakan, walaupun kita tidak begitu sepakat dengan hal itu. Bagi Dikti sudah keharusan semacam itu, ya kita melaksanakan,” kata Nandang.
Alasan terkait kurang sepakat, Nandang menjelaskan karena pada dasarnya tulisan di dalam jurnal bersifat selektif. Para dosen yang menulis jurnal pun tidak semua bisa dimuat karena ada penyeleksian yang ketat. Ironisnya, SK Dirjen Dikti yang baru terbit ini mewajibkan semua mahasiswa menulis dan mempublikasikannya sebagai syarat kelulusan S1. Belum ada waktu pasti kapan beban publikasi jurnal ilmiah ini akan diwajibkan kepada mahasiswa. Namun menurut Nandang, rektorat sudah membentuk tim untuk membuat mekanismenya. Kebijakan publikasi di lingkup UII ini masih dalam tahap penggodokan.
Hampir sama dengan apa yang dikatakan Nandang, Wakil Rektor III (WR III) Bachnas menuturkan, dirinya ikut menyetujui kebijakan publikasi jurnal ilmiah yang dibebankan kepada mahasiswa. “Cuma, apakah kita sudah siap atau belum? Kemudian, apakah itu untuk internal saja, dalam artian, bahan-bahan dari mahasiswa UII, kita publikasikan di web UII sudah cukup apa belum? Itu yang masih perlu dibahas,” ujar Bachnas.
Ditemui di ruang kerjanya, Ketua Tim Publikasi Jurnal Ilmiah, Ilya Fadjar Maharika, menegaskan bahwa meski peraturan publikasi jurnal ilmiah belum diketuk palu, tidak ada kata mundur dari UII. Sejauh ini, Ilya mengakui bahwa masih banyak kendala yang dialami. “Tidak ada alasan untuk tidak jadi, Dikti juga sudah seperti itu. Kendala-kendala itu pasti, tapi hal ini harus kita selesaikan, bukan kok kemudian mundur,” tegas Ilya. Lebih lanjut Ilya menjelaskan, publikasi jurnal ilmiah akan dibagi menjadi dua jalur, yaitu hard print dan online. Jalur hard print akan diperuntukkan bagi jurnal mahasiswa yang terpilih. Sedangkan jurnal mahasiswa yang tidak terpilih akan dimuat dalam bentuk online.
Mengenai kendala sistem informasi dalam memproses publikasi jurnal ilmiah, Ilya membantah hal tersebut. Menurut Ilya, UII tidak mempunyai masalah terkait teknologi informasi meski semua harus dipublikasikan dalam bentuk online dengan kapasitas server yang tinggi. Sebelumnya, UII sudah mempunyai sistem yang hampir mirip berupa laman yang berisi kumpulan-kumpulan hasil karya akhir mahasiswa. Soal sosialisasi kepada mahasiswa memang belum sampai, ke-mungkinan sebelum ketuk palu, akan ada hearing dengan mahasiswa. Walau begitu, Ilya menganjurkan agar mahasiswa bersiap untuk menulis.
Menurut Ilya, yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana dengan nasib mahasiswa yang nilai skripsinya dibawah standar. “Solusinya mau tidak mau semua harus memperbaiki diri. Dulu kita berfikir kalau kita berani bicara tentang publikasi bahwa memang karya mahasiswa dipublish, maka kita memang harus secara sistematik memperbaiki diri. Semua level,” tuturnya tegas. Terakhir, Ilya berharap, publikasi jurnal ilmiah ini akan menjadi peraturan baru pada tahun akademik 2013/2014 mendatang.
Yulianti Dwi Astuti selaku Anggota Tim Publikasi Jurnal Ilmiah menuturkan, saat ini masih ada kendala yang menurut-nya masih menjadi perdebatan di kalangan dosen, yaitu bagaimana dengan mahasiswa yang mendapatkan nilai skripsi tidak memuaskan, misal B/C atau bahkan C. Apakah skripsi dengan nilai seperti itu layak untuk ditayangkan? Yulianti bercerita panjang akan hal ini. Sebelumnya setiap skripsi mahasiswa yang dipajang di perpustakaan akan ada pe-nyortiran terlebih dahulu. Yang disortir ini biasanya mahasiswa yang mempunyai nilai C ke bawah. Tidak mungkin jika skripsi mahasiswa yang nilainya di bawah standar dipajang di perpustakaan.
Selain itu yang juga menjadi masalah adalah mengenai syarat kelulusan. Syarat kelulusan itu berbunyi semua skripsi mahasiswa harus dipublikasikan. Mengenai hal itu, Yulianti mengatakan mau tidak mau mahasiswa harus mau digenjot agar jangan sampai ada yang mendapatkan nilai C. Skripsi harus ditingkatkan mutunya supaya layak untuk dimuat, apalagi di jurnal online akan lebih banyak orang yang bisa leluasa membacanya. Ketika semua search engine bisa mengakses jurnaljurnal tersebut, maka akan sangat rawan jika ada kejadian plagiasi. “Begitu ketahuan bahwa itu plagiat karya ilmiah orang lain, kan bisa kena UIInya. Repot banget itu ya,” tambahnya.
Diluar itu Yulianti menyatakan tidak mungkin jika jurnal mahasiswa yang tersedia sekarang memuat semua tulisan. Adapun tulisan yang terpilih akan dibuat cetakan jurnalnya. “Di (prodi-red) Psikologi saja nanti sudah seratus maha-siswa setiap tahun, apalagi fakultas-fakultas yang besar,” imbuh Yulianti yang juga Ketua Program Studi (Kaprodi) Psikologi ini.
Tanpa Jurnal Ilmiah Tak Ada Sanksi
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh, tidak akan ada sanksi bagi universitas yang menolak SK Dirjen Dikti tentang kewajiban publikasi jurnal ilmiah. Syaratnya, mahasiswa universitas yang bersangkutan memang belum paham mengenai kewajiban yang dimaksud. Hal tersebut, sesuai pernyataan Nuh di situs tvonenews.tv pada tanggal 18 Februari 2012.
Lalu, untuk apa edaran surat itu? Nuh mengatakan, tujuan edaran surat itu bukan untuk meningkatkan jumlah karya ilmiah dan mengabaikan kualitas, namun lebih pada pertanggungjawaban universitas kepada masyarakat. Jika uni-versitas bersedia mencanangkan program publikasi karya ilmiah via jurnal online, bersamaan dengan itu bisa mengangkat nama universitas itu sendiri.
Lain halnya dengan pernyataan Nuh pada laman kompas.com pada tanggal 28 Februari 2012. Ia berujar bahwa SK Dirjen Dikti hanya berupa dorongan saja karena tidak mempunyai kekuatan hukum. Tetapi menurutnya, aturan publikasi jurnal ilmiah berbanding lurus dengan upaya memperbanyak produksi jurnal ilmiah. Nuh mengeluhkan, produksi jurnal ilmiah di Indonesia saat ini tergolong sangat rendah. Hal itu tidak sebanding dengan produksi jurnal ilmiah yang diterbitkan Malaysia. Produksi jurnal ilmiah Indonesia hanya sepertujuh saja dari Malaysia.
Pendapat Mahasiswa
Salah seorang mahasiswa yang hendak mengajukan skripsi atau tugas akhir (TA), Muhammad Irvan Fajar, ikut angkat bicara soal rencana publikasi jurnal ilmiah. Mahasiswa Teknik Sipil 2006 ini mengaku tidak masalah, dengan catatan, tulisan yang dibuat sejalan dengan TA. Irvan juga mengatakan, suara mahasiswa juga dibutuhkan dalam kebijakan ini karena dalam buku panduan akademik belum dijelaskan hal-hal terkait publikasi jurnal ilmiah. “Buku panduan akademik bisa disebut kontrak. Artinya, apabila tidak ada hal yang tercantum di buku, itu bisa disebut melanggar kontrak,” ujar Irvan.
Sama halnya dengan Rabi’atul Aprianti. Mahasiswi Psikologi 2009 ini setuju dengan adanya kebijakan publikasi jurnal ilmiah yang tengah digodok ini. Aprianti berpendapat, mahasiswa bisa sekaligus belajar membuat karya ilmiah dan tidak menggampangkan skripsi. Tetapi di sisi lain, Aprianti mengkhawatirkan akan terjadi pembludakan jurnal. “Publikasi jurnal itu kan harusnya butuh editing dan review yang benar-benar layak untuk kemudian dapat dipublikasikan. Kalau hanya dipaksakan, takutnya nanti jadi banyak publikasi yang kurang sesuai standar,” tambah Aprianti.
Reportase bersama :
M. Alfan Pratama dan Moch. Ari Nasichuddin