Ancaman Kebebasan Pers: Dari Kasus Pembunuhan Wartawan Udin hingga Dominasi Media Cyber

Himmah OnlineHukumonline mengadakan diskusi bertajuk “Masa Depan Kebebasan Pers: Perlindungan Hukum atas Tekanan dan Ancaman Terhadap Jurnalis Indonesia,” bersama sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) dan beberapa Lembaga Pers Mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta yang diselenggarakan pada Selasa (13/08), di Ruang Legislative Drafting FH UII.

Pokok diskusi tersebut membahas mengenai kerentanan kebebasan pers karena ancaman, tekanan, dan regulasi diskriminatif terhadap profesi jurnalis. Diskusi ini dihadiri oleh tiga pembicara, Masduki, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi Sosial Budaya (FPSB) UII; Ari Wibowo, dosen FH UII; dan Fathan Qorib sebagai Pemimpin Redaksi Hukumonline.

Fathan menjelaskan bahwa, kebebasan pers merupakan asas utama bagi jurnalis dalam menjalankan perannya. “Sebagai pers, tentu salah satu yang penting adalah memberikan kepercayaan penuh kepada rakyatnya,” ujar Fathan.

Namun, pada kenyataannya kebebasan pers tidak dihiraukan. Para jurnalis banyak mendapatkan ancaman, tekanan, bahkan cyber intimidation yang mengancam fisik, mental, hingga nyawa mereka. “Reputasi jurnalis dirusak, intimidasi berbasis digital, keberadaan mereka diikuti, dan akhirnya mengalami persekusi,” ucap Masduki.

Salah satu contoh tindak kekerasan terhadap jurnalis yang disampaikan oleh Ari adalah kejanggalan kasus kematian Fuad Muhammad Syafruddin, atau kerap disapa wartawan Udin pada tahun 1996 yang tidak terselesaikan hingga kini.

“Dibunuhnya Udin adalah tujuan untuk membunuh kebebasan pers,” tegas Ari.

Ari menambahkan, bahwa pemerintah adalah penjamin kebebasan pers. Pada situasi tertentu, pemerintah kerap kali menerapkan sejumlah regulasi diskriminatif yang mengancam kebebasan pers.

“Adanya Pasal 240 KUHP yang dijadikan senjata, Pasal 280 ayat 1 tentang pelarangan publikasi peradilan, Pasal 264 KUHP 2023 yang ukurannya tidak jelas, bagaimana cara menilai berita yang berlebihan atau tidak, tidak pasti atau tidak lengkap,” ujar Ari.

Selain regulasi, hal lain yang mengancam kebebasan pers, adalah beredarnya berita bohong atau disinformasi. Salah satu dari gejala tersebut adalah dengan berkembangnya media cyber yang menggeser posisi pers sebagai media konvensional. 

Dengan segala kemudahannya, masyarakat beralih dari media konvensional ke media cyber. Hal tersebut menyebabkan posisi jurnalis tergeser oleh para content creator. Kelemahan regulasi pada platform media cyber mengakibatkan penyebaran informasi-informasi keliru oleh para content creator. Berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh jurnalis, yang berpedoman pada kode etik jurnalistik.

“Bukannya Jurnalis, tapi content creator. Jurnalis mulai ditinggalkan oleh media cyber. Jurnalis mengalami keruntuhan nilai dan batang tubuhnya, hanya sisa kulitnya,” pungkas Masduki.

Reporter: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Giffara Fayza Muhlisa

Editor: Abraham Kindi

Skip to content