Bedah Film dan Diskusi Terbuka “Samin vs Semen”

HIMMAH ONLINE, Kampus Terpadu – Bertempat di Hall Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII), tujuh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di UII yang terdiri dari LPM Universitas serta enam LPM Fakultas mengadakan diskusi dan bedah film yang berjudul Samin vs Semen, pada Jum’at, 27 Maret 2015. Tujuh LPM tersebut adalah LPM Himmah UII, LPM Profesi dari Fakultas Teknik Industri (FTI), LPM Solid dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), LPM Linier dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), LPM Ekonomika dari Fakultas Ekonomi (FE), LPM Kognisia dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), dan LPM Pilar Demokrasi dari Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI).

Film ini merupakan film dokumenter yang menceritakan perlawanan dan protes dari warga Pegunungan Kendeng, khususnya suku samin, dan menggambarkan keadaan kota Rembang pasca pembangunan pabrik semen. Samin sendiri adalah sebuah kelompok masyarakat yang memegang teguh keyakinan bahwa keberlangsungan hidup mereka didasarkan oleh pendapatan dari bertani. Diawali dengan memperlihatkan bagaimana keadaan pertanian di Kabupaten Pati dan Rembang yang asri dan hijau, film ini mengisahkan tentang perjuangan sekumpulan ibu-ibu yang mengenakan jarik (kain), kebaya, dan capil (topi untuk bertani) yang sedang memblokir jalan di Rembang untuk melawan adanya pembangunan pabrik yang mengeksploitasi wilayahnya tersebut.

Acara dimulai dengan pemutaran film, kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan dua pembicara yaitu Anna Maria sebagai aktivis gender dan Dimpos Manulu, seorang pengamat politik. Dengan dibuka oleh Naili Jannati, selaku moderator pada diskusi kali ini, Anna memulai bahasannya mengenai kasus dalam film, yaitu ibu-ibu yang bertahan di Rembang. “Rembang tidak menjadi fokus utama. Saya menyoroti perempuan-perempuan yang bertahan di tenda. Proses mereka bertani sudah menjadi ajaran dan mendarah daging, dimana ajaran tersebut seharusnya menjadi pengetahuan lokal bukan hanya untuk mereka.” ungkap Anna.

Selaras dengan Anna, Dimpos mengatakan bahwa tidak hanya di Rembang, sejak zaman orde baru, hampir di seluruh pelosok kasus ekologi seperti ini terjadi. Bahkan perlawanan biasanya dimotori oleh perempuan yang jauh lebih mampu. Dimpos menilai bahwa terdapat kurangnya kepedulian kita terhadap reformasi. “Bukankah kita sudah demokrasi? Lalu dimana partai yang katanya merakyat. Kalau peduli rakyat kenapa tidak langsung kesana? Kemana mahasiswa? Kemana mereka?” sindirnya.

Dimpos menambahi tentang perlunya gerakan sosial untuk perubahan yang lebih maju. Ada dua jalur perubahan negara, yang pertama adalah melalui DPR sesuai dengan gerak politik perwakilan, dan yang kedua adalah Indonesia harus dibangun dengan gerakan sosial sebagai langkah paling efektif. “Jika tidak didukung oleh gerakan sosial, tidak akan mampu terjadi peubahan,” ujarnya. Namun, sampai saat ini Indonesia belum berubah karena belum ada perubahan dari segi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Menanggapi kedua pembicara, Samsul Arifin dari Jurusan Psikologi UII angkat bicara. “Tiga tahun lalu, panitia ospek selalu berkata bahwa UII adalah kampus perjuangan. Lalu apakah pada 2 April nanti kita berani ke Rembang untuk mengawal ibu-ibu ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara-red)? Kita pakai bus UII yang sudah kita bayar. Seharusnya kita bertanya pada diri sendiri, mega proyek membuat ratusan nyawa melayang dan apakah kita akan tetap terus diam di kampus ini?” tegas Samsul.

Owi, mahasiswa Fakultas Hukum UII juga sependapat dengan Samsul. Menurutnya, semakin lama embel-embel kampus perjuangan semakin menghilang. Ia mempertanyakan peran mahasiswa sebagai pengontrol dan agent of change? Yang perlu diperjuangkan saat ini adalah bagaimana suara mahasiswa dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial untuk melawan kapitalisme negara sendiri. Indonesia termakan oleh sistem. Menurutnya, mahasiswa harus mengembalikan UU Agraria yang hilang pada orde baru, dimana maknanya adalah adanya pembagian adat. Partai politik yang memiliki perwakilan di parlemen ini seharusnya juga menyusun sistem yang mensejahterakan rakyat.

Menanggapi alur diskusi tersebut, Lutfi Zanuar, dari Fakultas Ekonomi UII mengajak teman-teman yang hadir dalam diskusi untuk mengonsolidasikan agenda selanjutnya. Ia mengusulkan untuk mengajak mahasiswa-mahasiswi UII berbondong-bondong ke Rembang pada tanggal 2 April saat pembacaan kesimpulan di PTUN nanti, dengan diakomodasi oleh panitia dari acara diskusi ini. Hal ini agar diskusi yang dilakukan tidak hanya sekedar wacana belaka.

Anna mencoba menanggapi lagi dengan memetik kesimpulan dari film Samin vs Semen, tentang bagaimana seharusnya pengetahuan yang dihasilkan oleh masyarakat Samin memberikan suatu pandangan hidup yang penuh dengan kesederhanaan, bukannya kerakusan. Anna menjelaskan bahwa awalnya komunitas Samin sudah melakukan perlawanan kolonial dengan menolak pajak. Mbah Samin adalah orang yang tinggal di Pegunungan Kendeng dan menolak pajak. Kemudian perjuangannya itu diteruskan oleh menantunya. Ini menjadi catatan bahwa apa yang sudah dirumuskan oleh founding people dulu lewat UU Agraria untuk mengubah eksploitasi atas tanah-tanah Indonesia mengalami fase keterputusan setelah 1965. “Intinya adalah agenda bersama yang sudah menjadi amanah konstitusi malah dilalaikan negara. Ini berarti pemerintah tidak konstitusional karena dianggap tidak menyejahterakan rakyat dengan UU Agraria,” tanggap Anna. Anna juga menambahkan, tidak harus hanya dengan aksi, bersikap politis pun juga sudah merupakan suatu gerakan sosial. Diskusi ini adalah suatu moment auto-critic, dimana teman-teman mahasiswa mencetak ruang sendiri dan mengkritik diri sendiri.

Mendengar pernyataan Anna, Dimpos pun turut menanggapi lagi. Ia mengutarakan bagaimana pentingnya pergerakan mahasiswa, dimana seharusnya kita sebagai mahasiswa menyadari bahwa mahasiswa adalah segelintir dari penduduk Indonesia yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. “Jika orang-orang berpendidikan seperti kita dapat dikibuli oleh pemerintah, lalu kemana lagi bangsa kita bergerak? Siapa yang menemani rakyat Rembang? Sama saja kita menciptakan robot-robot. Dulu Jogjakarta adalah tempat para aktivis berkumpul, tapi sekarang tidak terlihat. Saya menantang teman-teman untuk mengembalikan UII sebagai kampus perjuangan!” ujar Dimpos dengan tegas.

Di sisi lain, Hanif Alwasi, mahasiswa FTSP UII menanyakan dasar penolakan terhadap kasus Rembang. Hanif beranggapan bahwa dasar penolakan ini adalah menghargai kesejahteraan hidup saja, sedangkan pencemaran lingkungan, air, dan sebagainya bisa dikalahkan oleh rekayasa teknik. “Yang terjadi, mahasiswa kita demo dan turun ke jalan tetapi tidak memahami kenapa ada aksi seperti ini. Teman-teman harus bisa mencari filosofi apa yang benar-benar diinginkan rakyat dahulu,” tambahnya.

Menjawab kritikan Hanif, Irwan Syambudi, mahasiswa FE UII mengajak teman-teman untuk membandingkan lahan tambang dan lahan pertanian sebagai dasar aksi mahasiswa turun ke jalan. Penelitian membuktikan lahan pertanian jauh lebih menguntungkan bagi rakyat dibandingkan lahan tambang, dengan alasan industri tambang hanya mengambil sumber daya alam langsung yang fosilnya baru bisa diperbaharui beberapa ribu tahun lagi. Yang diambil pemerintah adalah pajaknya yang besar. Beda dengan lahan pertanian yang memang tidak disetujui oleh birokrat karena jumlah pajak yang sedikit dan hasilnya hanya berputar di lingkungan para petani.

Setelah adanya diskusi ini, dari pihak Aliansi Mahasiswa Jogjakarta Peduli Rembang (AMJPR) yang juga ikut dalam diskusi mengajak mahasiswa-mahasiswi UII agar nantinya Jogja dapat berkontribusi dalam kasus Rembang ini. (Dian Indriyani)

Skip to content