Dilema Pelaksanaan Pesantrenisasi IP

 

Pesantrenisasi International Program sudah berjalan dua tahun silam. Namun dalam perjalanannya, menuai pro dan kontra dari beberapa pihak.

Oleh Fitria Nurjanah

          Sejatinya, manajemen pelaksanaan diatur oleh Direktorat Pembinaan Pengembangan Agama Islam (DPPAI). Ada yang baru pada pelaksanaan pesantrenisasi di UII. Kegiatan islami ini, yang biasanya diadakan serentak se-UII. Pada tahun 2009, diadakan pemisahan pesantrenisasi, antara program reguler dan program internasional.

Pesantrenisasi ini, dalam pelaksanaannya terdiri menjadi dua tahap. Pertama adalah pesantrenisasi tahap satu, diperuntukkan bagi mahasiswa baru, untuk mendapatkan pendidikan dasar yaitu Baca Tulis Al Qur’an (BTAQ). Tahap kedua, pendidikan lanjut lebih menekankan pemahaman dakwah, sebagai persyaratan bagi mahasiswa yang ingin melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan pendadaran.

Saat ditemui di kantornya yang terletak di gedung Prof. Dr. M. Sardjito, MD. MPH lantai tiga. Asmai Ishak, selaku dekan fakultas Program Internasional, mengutarakan bahwa pemisahan pesantrenisasi ini dimulai semenjak pada tahun 2009. Dimana saat itu masih belum adanya penyatuan International Program (IP). Dengan kondisi menjelang pergantian periode baru dekan FE. “Kita menyadari mahasiswa IP kan bayarnya beda dan kita menonjolkan dalam kegiatan character building,” ujar Asmai.

Bachnas, selaku Wakil Rektor III angkat bicara. Bachnas mengutarakan, bahwa pihaknya pada tahun 2009 belum mendapatkan amanah sebagai Wakil Rektor III dan belum mengetahui seluk beluk pesantrenisasi IP. “Semenjak menerima amanah, kemudian saya pelajari dan saya lihat. Menurut pengamatan saya ada sesuatu yang tidak pas.” Kata Bachnas.

Asmai menjelaskan, bahwa pihaknya yang saat itu masih menjabat sebagai dekan FE UII. Ketika itu ia sudah melakukan koordinasi dengan jajaran dekan yang memiliki IP. Seperti, dekan Fakultas Teknologi Industri (FTI), yang saat itu masih dipimpin Fathul Wahid dan dekan Fakultas Hukum (FH) yang diwakili Mustakiem. Asmai menambahkan, yang selanjutnya  hasil putusan bersama tersebut mendapatkan izin resmi dari pimpinan universitas saat itu, dengan mengajukan pondok pesantren UII sebagai lokasi pesantrenisasi IP.

Dihubungi via Short Message Service (SMS), Fathul Wahid, mantan dekan FTI sebelum Gumbolo (dekan FTI sekarang), menyatakan, “Kalau urusan itu memang benar, tapi kalau lebih lengkapnya soal tema pesantrenisasi IP, Pak Asmai yang lebih tahu,” ujar dia melalui pesan singkat.

Cithra Orisinalandari, selaku ketua Program Karakter Building IP, menurutnya perbedaan pesantrenisasi IP dengan pesantrenisasi reguler sangatlah tipis, yang berbeda adalah pada hari pertama dan hari kedua, diadakan acara yang bernama Achievment Motivation Trainning (AMT) dan Life Managemen Trainning (LMT). Selanjutnya disusul pesantrenisasi untuk mahasiswa IP di pondok pesantren UII selama 12 hari. “Jadi kita mempunyai target lulusan mahasiswa IP itu dia harus menjadi leader yang memiliki nilai-nilai islam. Tapi nilai islam bukan hanya sekedar hanya knowledge, tapi dia juga melakukannya,” tutur Cithra.

Cithra berkomentar, pesantrenisasi IP merupakan pesantrenisasi dasar, karena menurutnya secara konsep pesantrenisasi IP mempunyai target yang sama dengan pesantrensasi dasar, yaitu diharapkan mahasiswa IP bisa baca tulis Al-quran dan mampu hafalan doa sehari-hari dan surat-surat dalam Al-quran.

Tidak jauh berbeda dengan dengan yang diungkapkan Cithra. Menurut Asmai, pesantrenisasi IP juga merupakan pesantrenisasi dasar. Ini dilandasi dengan melakukan koordinasi kepada pihak DPPAI, melalui SK Rektor nomor 430/SK-Rek/20/PPAI/VIII/2008/2009, yang berisi tentang penetapan penguji untuk baca tulis Al-quran dan praktik ibadah. Selain pemateri, nilai-nilai mahasiswa IP yang mengikuti pesantrenisasi IP akan dimasukan ke DPPAI. “Kita tidak pernah mandiri, lantas mengembangkan sendiri. Daripada kita bikin forum yang lain dan tambah biaya,” ungkapnya.

Agus Taufiqurrahman selaku Direktur DPPAI, mengamini apa yang dikatakan Asmai. Menurut Agus, sebelum IP menjadi fakultas, pemateri dan penguji diambil melalui rekomendasi oleh pihak fakultas yang mayoritas berasal dari kalangan dosen. Untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pelatihan, guna persiapan menjadi pemateri sekaligus penguji.

Bachnas kembali berkomentar, bahwa ia mencurigai adanya kekurangan dalam pesantrenisasi yang diselenggarakan IP. Kemudian, oleh Bachnas  ditindaklanjuti dengan memberikan surat edaran bernomor 552/WR.III/90/DOSDM/III/2011 ke seluruh dekan se-UII. Surat edaran ini, mengacu pada SK Rektor bernomor 146/B.6/Rek/VIII/1999 tentang Pola Pengembangan Mahasiswa (Polbangmawa). Bachnas berkomentar pada ketentuan pertama dan kedua, membahas tentang Polbangmawa yang dibawah koordinasi Wakil Rektor III, yang untuk teknis pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Bakat/Minat dan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI). “Jadi dek, yang namanya pembinaan dasar itu semua sama. Tetapi saya memberikan suatu kesempatan kepada masing-masing fakultas. Kalau ingin menambahkan pembinaan diluar pembinaan pokok (dasar-red) silahkan!” ungkapnya dengan nada tegas.

Bachnas menambahkan bahwa dalam pesantrenisasi IP, ada yang keliru yang tidak sesuai dengan SK yang pernah diedarkanya. Bachnas sendiri  menakutkan, apabila di UII sendiri ada acara separatis serupa yang menyusul di fakultas-fakultas lainnya, yang tidak sesuai dengan aturan universitas yang menyeluruh. “Kadang ada orang yang memaksakan keinginan. Ini yang menurut saya, yang harus dibenahi di UII ini, jadi kita harus mematuhi aturan-aturan main yang ada,” ungkap Bachnas.

Supriyanto Pasir selaku Kepala Divisi Pengembangan dan Pendidikan Agama, turut berkomentar soal pesantrenisasi IP. Menurut Pasir secara pribadi, pemisahan itu atas dasar keinginan IP. Pasir punya anggapan bahwa aturan universitas, untuk seluruh mahasiswa pesantrenisasi tahap satu berada di rusunawa. “Dulu itu IP tidak kita akui, dulu kan awalnya kita (DPPAI-red) ada. Jadi pemahaman kami harus saklek apa adanya hukumnya itu ya itu, karena melakukan sesuatu harus ada payung hukumnya. Kalau tidak ada gimana keabsahannya,” ujar Pasir.

Agus juga menambahkan apa yang disampaikan Pasir, menurutnya semenjak pemisahan pesantrenisasi IP pihaknya masih belum menjabat sebagai Direktur DPPAI. “Dulu kita pinginnya mbok digabung saja dan teman-teman DPPAI lainnya juga mengusulkan hal yang sama,” kenang Agus.

Nanda Khairisma, Mahasiswi IP Fakultas Hukum angkatan 2011. Berkomentar, bahwa ia merasakan kegelisahan karena adanya kecemburuan sosial. “Saya pernah merasakan saat SMA, karena saat itu saya siswa ICT (Internasional Comunication Technical),” kenangnya. Nanda menambahkan, menurutnya ketika mahasiswa IP melintas didepan mahasiswa reguler, mahasiswa IP terlihat eksklusif dan mendapatkan cemooh dari mahasiswa reguler. Ia menyarankan, sebaiknya ditetapkan menjadi satu, agar adanya tukar pikiran. “Contohnya dalam hukum internasional tidak lepas juga dengan hukum nasional,” imbuhnya.

Senada dengan yang diungkapkan Nanda. Siwi Sulistyaningtyas, mahasiswa IP FH ini mengutarakan, terkesan pesantrenisasi IP terkesan ribet dan membingungkan. “Sepertinya soal itu memang kurang adanya koordinasi yang jelas dari pihak IP dengan DPPAI,” keluh Siwi. Mahasiswi angkatan 2009 ini juga menambahkan, untuk urusan sosial sekarang kondisinya sudah terpisah, jadi pada saat berpapasan dengan mahasiswa IP pun baik-baik saja. “Saya merasakan biasa-biasa saja dan tak masalah,” ujar Siwi.

Berbeda dengan Nanda dan Siwi, Fajar Dwi Apriyanto, mahasiswa IP Teknik Industri. Fajar sendiri mengakui bahwa kecemburuan sosial itu memang ada, tetapi Fajar menilai kalau mahasiswa IP tidak terkesan eksklusif. Ini diungkapkan Fajar, dikarenakan sikap seperti itu, hanya pandangan dari teman-teman (mahasiswa-red) reguler. “Kayaknya hanya orang-orang tertentu saja yang kenal dengan saya, karena saya selama ini kebanyakan teman main anak-anak reguler,” tutur mahasiswa angkatan 2009 ini.

Dengan bijak, fajar memberikan saran buat sistem IP untuk selanjutnya. Fajar mengharapkan adanya manajemen yang lebih bagus. “Menurutku bagusan digabung karena untuk tingkat kedisiplinan rusunawa reguler itu lebih disiplin daripada IP, yang banyak kelonggaran dan bisa mengurangi kecemburuan sosial. Dan bisa membentuk mental yang bagus begitu mempererat silaturahmi,” tambahnya.

Kembalinya Pemusatan Pesantrenisasi

          Polemik ini tidak diam di tempat saja. Pada tanggal 15 November 2011, ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi pembahasan pesantrenisasi kemahasiswaan dan ESQ mahasiswa. Rapat ini turut mengundang jajaran rektorat, dekan fakultas se-UII, Direktur Kemahasiswaan, Direktur DPPAI dan Pengelola Masjid Ulil Albab dan Auditorium Kahar Mudzakir.

Ada yang mengejutkan dalam hasil rapat koordinasi ini. Hasil yang diperoleh adalah kembali disatukannya pesantrenisasi program regular dan program internasional. Saat ditemui untuk ketiga kalinya, Bachnas yang saat itu selaku pemimpin sidang rapat koordinasi mengutarakan bahwa pengembangan mahasiswa beragam jenisnya, salah satunya adalah dalam hal keagamaan yang dibuat oleh universitas. Dalam pengelolahannya pihaknya turut mengundang jajaran dekan fakultas se-UII, untuk menyampaikan poin penting, tentang Polbangmawa yang pendidikan dasarnya dilakukan oleh universitas.

Bachnas menambahkan, dalam rapat koordinasi tersebut tidak hanya jajaran dekan saja yang menyetujuinya, Direktur Kemahasiswaan dan Direktur DPPAI yang menghadiri rapat pun turut menyetujuinya. Meskipun dalam forum tersebut, ada beberapa pihak yang menilai pesantrenisasi IP itu adalah program yang khusus dan berbeda dengan yang lain. “Harusnya semua mengikuti peraturan universitas kecuali mau bikin universitas sendiri,” tegasnya.

Ditemui di kantor Asmai, salah seorang tim KOBARkobari menanyakan tentang pertimbangan penyatuan pesantrenisasi IP dan pesantrenisasi reguler. Asmai lebih memilih bungkam dan tidak memberikan alasan hasil rapat koordinasi tersebut, “itu kan keputusan bersama, prosesnya seperti apa yang saya pikir, saya tidak perlu ngomong ke anda,” ujar Asmai.

Dihubungi via telfon, Agus mengungkapkan bahwa sebelumnya Wakil Rektor III yang dipimpin Bachnas, menilai ada sedikit keganjalan. Terutama dalam pelaksanaan pesantrenisasi IP, yang selanjutnya diadakannya rapat koordinasi. “Itu kan hasil forum dek, jadi hasilnya menjadi kesepakatan bersama,” ujarnya secara singkat.

 

Reportase Bersama Bethriq Kindy Arrazy, Mohammad Alfan Pratama dan Nur Karuniati

Skip to content