KM UII: Tarik Revisi UU KPK dari Prolegnas

HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Kesepakatan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat kecaman dari Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII). Hal ini mereka nyatakan dalam Aksi KM UII Menolak Revisi UU KPK yang dilakukan pada Rabu, 24 Februari 2016. Mereka menuntut agar Pemerintah dan DPR tidak hanya menunda pembahasan revisi UU KPK, tapi juga menariknya dari pembahasan dan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2016.

Aulia Ridha selaku Koordinator Umum Aksi mengatakan bahwa seharusnya DPR RI menarik draf revisi UU KPK dari pembahasan dan selanjutnya mengeluarkannya dari Prolegnas 2016. “Artinya jika ditarik dari pembahasan, gak akan dibahas lagi,” ungkap Aulia yang juga anggota Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII.

Adapun latar belakang kedua tuntutan tersebut tertuang dalam rilis yang mereka keluarkan: pertama, menolak revisi UU KPK karena bukan merupakan sebuah urgensi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Kedua, menolak draf revisi UU KPK yang ada di Badan Legislasi—yang memuat ketentuan pembentukan dewan pengawas KPK, kewenangan penyadapan KPK, kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), pembatasan tindak pidana korupsi dengan nominal 50 miliar ke atas, pemangkasan penuntutan KPK dan 12 tahun masa kerja KPK, pembatasan perekrutan penyidik independen—yang dapat memperlemah KPK.

Ketiga, mempertegas lex specialis bagi KPK dengan tetap mengacu pada UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai Hukum Acara, bukan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Keempat, menolak revisi UU KPK masuk ke dalam Prolegnas 2016 selama Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia belum sampai pada skor 50.

Indeks Persepsi Korupsi sendiri merupakan alat pengukuran tingkat korupsi yang mulai dikembangkan oleh Transparency International pada tahun 1995. Penilaian tingkat korupsi suatu negara bisa dilihat berdasarkan skor yang dimiliki. Rentang skor yang ada mulai dari 0-100. 0 artinya sangat korup, dan 100 artinya sangat bersih. Pada tahun 2015, IPK Indonesia sebesar 36, naik dari skor 34 pada tahun 2014, dan 32 pada tahun 2013. Indonesia saat ini berada di peringkat 88 di antara 167 negara lainnya.

Kelima, meminta DPR RI dan Pemerintah untuk melihat keadaan sosiologis masyarakat dan prospek pemberantasan korupsi di Indonesia dalam mengajukan dan merancang RUU tentang Pemberantasan Korupsi. Keenam, meminta Pemerintah dan DPR RI untuk membatalkan Revisi UU KPK karena penundaan hanya akan menimbulkan bom waktu dan bukanlah suatu jawaban yang terbaik. Ketujuh, menolak sampai kapan pun kebijakan serta keputusan Pemerintah dan DPR RI apabila tidak transparan dan tidak mendengar aspirasi publik.

Aksi yang dimulai pukul 15.00 tersebut dihadiri pula oleh Abdul Jamil, Wakil Rektor III UII. Ia mengatakan bahwa UU KPK memang masih ada yang perlu diperbaiki, namun UII secara institusi menolak adanya revisi UU KPK yang sekarang. “Saya bukan anti revisi. Tapi isi draf revisi yang ada saat ini justru akan memperlemah KPK,” ujarnya.

Salah satu contoh UU KPK yang menurutnya perlu direvisi adalah soal pengangkatan pemimpin KPK melalui DPR, bukan Pemerintah. “Harusnya KPK independen. DPR tinggal mengesahkan saja,” ungkap Jamil. Menurutnya, proses pemilihan pemimpin dengan cara yang ada sekarang rentan untuk disalahgunakan. “Kalau DPR tidak setuju dengan orang yang dianggap membahayakan kedudukannya, ya, gak dipilih nanti,” tambahnya.

Meskipun UII dan KM UII sama-sama menolak revisi UU KPK, Aulia belum dapat memastikan apakah tuntutan keduanya sama. KM UII memang tidak mengkaji draf RUU KPK bersama pihak kampus. “Yang jelas tuntutan kita itu satu, tarik revisi UU KPK dari Prolegnas 2016.”

Pada aksi yang diadakan dari depan gedung DPRD DIY ini, massa aksi meminta pihak DPRD DIY bertemu dengan massa aksi untuk mewakili pihak massa aksi membawa petisi dan kajian yang telah dilakukan oleh KM UII ke DPR RI. Adapun pihak DPRD DIY yang akhirnya menemui massa aksi adalah Dharma Setiawan, Wakil Ketua DPRD DIY. Massa aksi mendorong Dharma untuk menandatangani petisi terkait penolakan revisi UU KPK.

Setelah bertemu dengan perwakilan anggota DPRD DIY, massa aksi melanjutkan aksi dengan long march menuju kilometer 0 di mana mereka melakukan orasi-orasi menolak revisi UU KPK. Massa aksi juga membagi-bagikan rilis yang mereka buat sebagai langkah mengkampanyekan penolakan revisi. (Nurcholis Ainul R. T.)

Skip to content