Pemilu dan Kemunduran Demokrasi Indonesia

Himmah Online – Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) baru-baru ini menyelenggarakan acara School of Democracy and Diversity (SDD) Vol. 1 di Hotel MM UGM pada 27-29 Desember 2024.

Acara perdana ini diikuti oleh 25 mahasiswa S1 dan aktivis muda dari berbagai universitas di Yogyakarta yang telah lolos seleksi dan berkesempatan untuk mendalami isu-isu penting mengenai demokrasi dan keberagaman.

SDD ini, menghadirkan sejumlah tokoh dan pembicara kompeten dalam bidangnya. Pada hari kedua acara, Ni’matul Huda, Guru Besar Fakultas Hukum UII, menyampaikan materi mengenai “Pemilu dan Kemunduran Demokrasi Indonesia.”

Dalam pemaparannya, Ni’matul menegaskan bahwa pemilu hanyalah salah satu elemen kecil dalam sebuah sistem demokrasi yang lebih luas. Menurutnya, meskipun pemilu penting, hal tersebut tidak selalu mencerminkan keberhasilan demokrasi secara keseluruhan. 

Lebih lanjut, Ni’matul  menjelaskan bahwa dalam konteks kekinian, kemunduran demokrasi tidak selalu disebabkan oleh perang, melainkan oleh para pemimpin yang dipilih melalui pemilu.

“Setelah terpilih, mereka malah menghabisi demokrasi itu dengan kebijakan-kebijakannya,” ujarnya pada Sabtu (28/12).

Materi yang disampaikan oleh Ni’matul mengenai relevansi demokrasi dengan pemilu terbagi dalam empat tingkatan. Pertama adalah demokrasi prosedural, yang mengutamakan persaingan yang adil dan partisipasi warga untuk memilih pemimpin melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan akuntabel.

Kedua, demokrasi agregatif, di mana demokrasi tidak hanya mencakup pemilu yang luber dan jurdil, tetapi juga berfokus pada pendapat dan preferensi warga negara yang membentuk kebijakan publik.

Sebagai contoh konkret dari pemaparan tersebut, Ni’matul mengkritik wacana pemilu yang akan dikembalikan kepada DPRD, yang menurutnya hanya akan memperkuat kekuasaan partai-partai besar melalui koalisi politik, sementara rakyat kehilangan hak untuk memilih langsung.

“Semuanya mengikuti apa yang didiktekan oleh partai-partai itu. Rakyat tidak punya daya beli untuk demokrasinya,” ungkapnya.

Tingkat ketiga adalah demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya undang-undang dan kebijakan yang disusun berdasarkan alasan yang dapat diterima secara rasional oleh semua warga negara. Ini mencerminkan prinsip otonomi, kesetaraan, dan keadilan.

Sedangkan, tingkat keempat adalah demokrasi partisipatoris, yang menekankan keterlibatan aktif warga negara dalam pengambilan keputusan publik. 

Ni’matul menyoroti contoh partisipasi masyarakat yang berhasil mempengaruhi kebijakan publik, seperti dalam kasus perubahan usia pencalonan kepala daerah yang sempat menuai protes publik.

“Jadi, ternyata kalau Anda tidak bergerak waktu itu, DPR akan menyetujui pertimbangan usia yang diputus oleh MK. Tapi, begitu masyarakat secara masif menolak, dengan ‘Save MK’ dan ‘Save Keputusan MK,’ DPR akhirnya tidak berani,” jelasnya.

Partisipasi masyarakat, menurutnya, bukan hanya tentang memberikan suara, tetapi juga tentang memberi masukan dan kritik terhadap kebijakan yang diusulkan. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti menyusun naskah akademik tandingan atau berpartisipasi dalam audiensi dengan anggota DPR. Keterlibatan aktif semacam ini membantu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan mendekatkan pemerintah dengan rakyat.

Sementara itu, ia mengkritik tingginya partisipasi pemilih dalam pemilu yang diperoleh melalui cara yang tidak etis. Pembelian suara adalah tindakan amoral yang dapat merusak integritas demokrasi dan mengarah pada demoralisasi kehidupan masyarakat.

“Benarkah ada partisipasi kalau pemilih dihamburi uang agar mereka memilih calon-calon tertentu? Ini bukan partisipasi demokrasi, tetapi eksploitasi atas nama demokrasi,” ujar Ni’matul.

Ni’matul juga mengungkapkan bahwa kemunduran demokrasi Indonesia dapat dilihat dari berbagai praktik tidak etis dalam pemilu. Ia mencatat bahwa sejumlah pejabat pemerintah, termasuk presiden dan menteri-menteri, terlibat dalam kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, termasuk pembagian sembako dan bantuan sosial.

“Padahal, secara konstitusional hakikat keuangan negara harus dipandang bagi kepentingan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, karena tidak ditunggangi untuk kepentingan yang bersifat pribadi,” pungkasnya.

Reporter: Himmah/R. Aria Chandra Prakosa, Nurhayati, Septi Afifah, Subulu Salam

Editor: Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah

Baca juga

Terbaru

Skip to content