Pengatasnamaan KM UII dalam Aksi Dipertanyakan

HIMMAH ONLINE, Kampus Terpadu Aksi menggugat Badan Wakaf (BW) dengan mengatasnamakan Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (KM UII) pada hari Selasa, 13 Oktober 2015 tidak melibatkan semua lembaga mahasiswa ketika konsolidasi dilaksanakan. Selain itu, KM Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) menarik diri dari keikutsertaan dalam aksi.

Ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (DPM U), Aldhi Setyawan, menjelaskan bahwa KM yang tidak berpartisipasi sebenarnya sudah diajak untuk membahas isu BW. Ia mengartikan KM adalah semua mahasiswa S1 dan D3 sebagai anggota dan seluruh lembaga KM yang masuk dalam struktural KM sebagai pengurus KM. Apabila makna KM tersebut harus diartikan secara saklek, Aldhi beranggapan seluruh mahasiswa tanpa terkecuali harus hadir dalam aksi. Karena hal tersebut tidak mungkin, maka cukup diwakilkan oleh pengurus KM. “Ada lembaga perwakilan yang bisa merepresentasikan masing-masing mahasiswa dan itu adalah DPM U atau DPM F (Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas-red),” ujarnya.

Aldhi lalu memaparkan bahwa ketua DPM ialah representasi dari KM UII sebab KM dipimpin oleh DPM U terpilih. “Apakah salah ketika membawa nama KM? Karena memang mahasiswa sudah hadir banyak pada saat itu. Apakah kami yang gelisah itu tidak boleh membawa nama KM? Apakah orang yang di luar aksi masih harus tetap mempertahankan ego mereka untuk mengatakan, ‘Jangan membawa nama KM’? Mereka boleh tetap demikian ketika aksi yang dilakukan memang tidak jelas, ketika lawannya lembaga yang benar, lembaga yang tidak perlu dipertanyakan,” jelasnya.

Di lain pihak, Budi Santoso selaku Presiden Marching Band, mengartikan bahwa KM UII terdiri atas DPM U, DPM F, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas (LEM U), LEM F, Lembaga Khusus (LK), dan semua yang berkaitan di dalamnya. “Bahkan setahuku, kalau di SU (Sidang Umum-red) salah satu dari KM nggak setuju, kita tidak bisa menyepakati sesuatu. Kalau hanya DPM, seharusnya tidak boleh membawa nama KM UII. Ditambah lagi FTSP menarik diri,” papar Budi. Dia menambahkan bahwa memang tidak mungkin menghadirkan ribuan mahasiswa untuk aksi, tetapi pasti ada dari mereka yang berkecimpung dalam setiap organisasi. Melalui organisasi ini lah mahasiswa dilibatkan.

Kemudian Budi juga mengungkapkan tidak mengetahui adanya rencana aksi. Padahal, Marching Band adalah salah satu dari LK. “Aksinya atas nama KM, sementara kita sendiri nggak dapat undangan,” ucapnya.

Menanggapi hal itu, Aldhi menjelaskan penyebabnya adalah miskomunikasi dengan Komisi II DPM U yang mengurusi soal eksternal. “Mengenai LK universitas, saya memang belum mengajak secara langsung. Saya lupa dikarenakan fokus untuk mengumpulkan fakultas dengan Komisi II.”

Terkait KM FTSP yang menarik diri ketika aksi berlangsung, Herman Cemper selaku Ketua DPM FTSP, mengatakan bahwa ini dikarenakan pembahasan mengenai isu yang dibawa untuk aksi belum terlalu matang. Ia pun mengajak perwakilan DPM FTSP, LEM FTSP, Koperasi Mahasiswa FTSP, dan Lembaga Pers Mahasiswa Solid untuk berdiskusi sehingga dihasilkan keputusan bahwa KM FTSP tidak ikut andil dalam aksi. “Awalnya saya ikut konsolidasi karena saya pikir sudah ada inisiasi dari DPM U untuk mencoba jalur diplomasi. Namun, DPM U hanya mengatakan masalah ini merupakan hasil transformasi dari periode sebelumnya dan memanfaatkan momentum Hari Hak untuk Tahu,” ucapnya.

Bagi Herman, demo merupakan pilihan terakhir ketika jalan damai tidak bisa ditempuh. Jadi, ada langkah-langkah yang diloncati DPM U untuk melaksanakan aksi. “Harusnya kita minta data-data yang jelas, kemudian dianalisis. Ketika ada penyelewengan, baru kita diskusikan dengan BW. Saya rasa itu cara yang lebih cerdas dan patut dicoba,” imbuhnya.

Sementara menurut Aldhi, pergerakan mahasiswa tidak berbatas periodesasi. Artinya, periode sekarang berkewajiban melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh periode sebelumnya, bukan mengulang dari awal. DPM U periode sebelumnya sudah mencoba melakukan jalur diplomasi pada rektorat, namun hasilnya nihil. “Ketika audiensi, Luthfi Hasan (Ketua BW-red) mengatakan, ‘Kalian tidak bersinggungan dengan kami’ yang berarti kita tidak memiliki ruang untuk audiensi. Jika kita melakukan aksi, kita bisa mengadakan audiensi dengan kekuatan massa. Karena periode sebelumnya sudah ke rektorat, sekarang kita ke BW,” papar Aldhi.

Herman memaparkan pula, ketika dia bertanya kepada anggota DPM U yang mewakili FTSP, ia mendapati bahwa DPM U sendiri belum mengadakan pembahasan secara internal. Dia menduga ada sesuatu yang belum disepakati dan keputusan aksi hanya berasal dari satu pihak. “Internal DPM U saja sudah tidak satu suara, apalagi KM UII. Padahal DPM U yang menaungi kita. Kenapa bisa mengatasnamakan KM UII, silakan tanyakan kepada yang mengadakan aksi. Kok berani-beraninya mengatasnamakan KM UII kalau DPM U saja tidak satu suara.”

Tetapi, Herman kemudian melanjutkan bahwa sebenarnya FTSP tertarik mengawal isu yang dijadikan tuntutan, hanya saja tidak dalam waktu singkat dan dengan persiapan yang minim seperti keputusan aksi ini. Karenanya Herman meyakini FTSP memiliki hak untuk tidak ikut andil dalam aksi dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.

Aldhi pun memaparkan terkait kondisi internal DPM U berkenaan aksi. Sesungguhnya semua anggota DPM U sudah memiliki pandangan dan tujuan yang sama tentang isu BW. Tapi, ketiadaan forum resmi untuk memberitahukan rencana aksi tersebut membuat beberapa anggota DPM U tidak berpartisipasi. “Jadi, kita sudah memiliki pandangan yang sama. Namun, cara saya yang tidak mengabarkan kepada kawan-kawan itu lah yang salah. Saya minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”

Mengenai sikap KM FTSP yang menarik diri setelah menghadiri konsolidasi pertama, Aldhi mengatakan bahwa dia baru mengetahui hal tersebut pada saat aksi berlangsung melalui surat pernyataan yang dikeluarkan KM FTSP. Ketika konsolidasi, tidak ada pernyataan secara tegas dari KM FTSP untuk menarik diri dari aksi. “Jika saya tahu akan terjadi hal seperti itu, saya akan berbicara dengan mereka,” ujar Aldhi. (Rabiatul Adawiyah)

Skip to content