Pusat studi merupakan salah satu sarana UII dalam mewujudkan research university,namun manfaatnya kurang dirasakan oleh mahasiswa. Mengapa demikian?
Oleh: Rahmat Wahana dan Budi Armawan
Kampus terpadu, kobar
Sebagai universitas tertua di Indonesia, Universitas Islam Indonesia (UII) mencanangkan dirinya sebagai kampus riset. Salah satu bentuk usaha untuk meraih predikat tersebut, UII membentuk pusat studi. Tujuannya adalah untuk memenuhi dan melayani kebutuhan masyarakat. Sedikitnya, ada tiga puluh pusat studi di UII, akan tetapi masih ada mahasiswa yang tidak mengetahui keberadaan pusat studi tersebut.
Terkait mahasiswa yang tidak mengetahui keberadaan pusat studi, Ninik Sri Rahayu Direktur Pusat studi Gender (PSG UII), mengatakan kurang diketahuinya PSG selama ini karena kurangnya sosialisasi. Ia juga menambahkan memang mahasiswa UII sendiri kurang begitu tertarik (dengan Pusat Studi Gender-red). “Saat ini yang menjadi peneliti atau volunteer itu mahasiswa UGM dan UNY,” ujarnya. Ketika dilakukan open recruitment hanya ada dua mahasiswa UII yang mendaftar dan itu pun tidak lulus. Menurutnya yang paling mendasari hal tersebut karena memang isu gender merupakan hal yang sensitif sehingga hanya sedikit yang tertarik. Publikasi sudah ia lakukan dengan berbagai cara seperti melalui siaran rutin di radio Unisi. Ninik berpendapat mungkin sekarang radio tidak menarik sehingga yang menjadi segmen pendengar aktif bukan dari UII. Eksistensi pusat studi sendiri juga dipengaruhi oleh program kerjanya. Tidak semua pusat studi mampu tetap berjalan jika harus membiayai sendiri program kerjanya. UII selama ini tidak memberikan bantuan berupa dana ataupun staf. Mereka hanya memberikan bantuan berupa ruangan untuk melakukan kegiatan.
Menanggapi masalah sosialisasi pusat studi, Ketua DPPM (Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UII Widodo Brontowiyono angkat bicara, ia mengatakan kalau kurangnya sosialisasi itu memang benar tetapi tidak bisa dibilang nol, karena ada sosialisasi dilakukan bersamaan saat perekrutan. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang dilibatkan oleh mereka. Selama ini keberadaan pusat studi lebih sebagai sambilan dosen. Selain itu belum ada mekanisme untuk saling mendorong antara pusat studi dan pihak universitas. “Biaya memang menjadi faktor, tapi bukan satu-satunya,” kata Widodo yang juga mantan ketua Pusat Studi Lingkungan ini. Menurutnya dana itu bisa dicari dengan mengajukan proposal.
Ketika disinggung tentang banyaknya pusat studi yang tidak ada hingar-bingarnya, Nandang Sutrisno sebagai Wakil Rektor (Warek) I menjawab, “hidup tidaknya pusat studi tergantung dari kreatifitas pengelolanya, kalau hanya mengandalkan dana dari Universitas tidak bakal hidup,” tegas Nandang.
Terkait masalah sosialisasi Nandang Sutrisno mengakui bahwa sosialisasi pusat studi ke mahasiswa memang kurang. Selain itu menurut Nandang, selama ini mahasiswa berpikiran pusat studi merupakan kegiatan bagi dosen. “Bisa jadi karena mahasiswa tidak tahu bahwa mahasiswa juga boleh aktif (di pusat studi-red) atau memang para dosennya yang kurang mensosialisasikan,” jawab Nandang.
Riky Rustam selaku staf Pusat Studi Hukum (PSH) menuturkan, kesibukan perkuliahan mahasiswa-lah yang menjadi kendala utama mahasiswa mengetahui keberadaan pusat studi. Terkait sosialisasi, selama ini PSH UII sudah melakukan penempelan–penempelan poster dan pemasangan spanduk. Hal itu agar mahasiswa dapat berpartisipasi di setiap acara yang diselenggarakan oleh PSH UII.
Lain lagi dengan Pusat Studi HAM (Pusham), ditemui di kantor Pusham, Tri Guntur Jayabaya staf pengembangan riset Pusham berpendapat, seharusnya bagian sistem akademik yang menjelaskan tentang pusat studi kepada mahasiswa. Karena orientasi program kerja Pusham adalah eksternal bukan hanya di lingkungan kampus saja. Sosialisasi secara tidak langsung sudah sering dilakukan melalui website dan juga melalui buku terbitan Pusham sendiri. “Sosialisasi sebenarnya nomor kedua, kalau kita punya program dan program itu bekerja, melebar, maju atau bertumbuh maka orang akan kenal,” jawab Guntur.
Hal yang berbeda dikatakan oleh Hady Anshori sebagai Ketua Pusat Studi Obat Herbal (PSOH). Menurutnya mungkin dana memang menjadi salah satu kendala dalam menjalankan program kerja suatu pusat studi. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan memasukan unsur kewirausahaan ke dalam program kerja PSOH. Yang nantinya hasil kewirausahaan tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan dan penelitian PSOH.
Disinyalir beberapa mahasiswa tidak tahu tentang keberadaan pusat studi yang ada di UII. Salah satunya Prahabri Warta Yudha mahasiswa Farmasi angkatan 2010, ia mengatakan selaman dirinya tidak mengetahui pusat studi apa saja yang ada di UII dan manfaatnya bagi mahasiswa. “Malah baru tahu kalau UII ada pusat studinya,” akunya.
Hal serupa juga dikatakan oleh Fauzan Miftahudin mahasiswi Teknik Informatika 2011, ia juga kurang mengetahui tentang adanya pusat studi yang ada di UII. Hal ini menurutnya karena belum adanya sosialisasi dari pihak pusat studi kepada mahasiswa.
Pertanyaan yang sama juga dituturkan oleh Nadiani Rahmah bahwa ia sama sekali tidak mengetahui tentang adanya pusat studi di UII. Sama seperi Fauzan, mahasiswi Teknik Sipil angkatan 2011 ini berkomentar kurangnya sosialisasi yang menjadi permasalahannya.