Himmah Online – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bekerja sama dengan Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) mengadakan diskusi publik bertema “Gerakan Hak Asasi Manusia dalam Turbulensi Demokrasi: Tantangan dan Strategi” di Gedung Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) pada Rabu (11/12). Acara ini juga merupakan peluncuran buku tentang Abdul Hakim Garuda Nusantara, sosok pembela HAM dan pendiri ELSAM.
Diskusi dibuka dengan paparan Suparman Marzuki, Dosen Fakultas Hukum UII, yang menjelaskan dua tema besar, yaitu demokrasi dan HAM. Ia menyebutkan bahwa kedua tema ini berlandaskan pada prinsip kebebasan dan persamaan, yang menjadi dasar ideologi gerakan besar abad ke-19 dan ke-20.
Gerakan tersebut kemudian mendorong perubahan besar di banyak negara otoritarian, termasuk Uni Soviet pada akhir abad ke-20. Perubahan serupa juga terlihat di Indonesia pada 1998, yang menandai transisi dari otoritarianisme ke demokrasi.
Namun, Suparman mengungkapkan dilema negara-negara yang bertransisi, yakni apakah sepenuhnya meninggalkan kekuasaan lama atau mengakomodasi kekuasaan lama dalam struktur kekuasaan baru. Di Indonesia, transisi ini tercermin dalam konstitusi yang merupakan hasil kompromi politik, dan memunculkan fenomena “frozen democracy” atau demokrasi beku.
Turbulensi demokrasi di Indonesia, menurut Suparman, disebabkan oleh perubahan dalam struktur kekuasaan yang terkadang menggantikan kekuatan pro-demokrasi dengan kekuatan lama atau bentuk kekuasaan yang lebih otoriter. Kemudian tindakan kekuasan itu dibungkus dengan aturan hukum. “Sebagian pakar mengatakan ini neo orde baru,” ujarnya.
Ita Fatia Nadia, salah satu narasumber diskusi ini, menyoroti munculnya militerisme dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya dapat dilihat dalam cara militer Presiden Prabowo dalam menggembleng menteri-menterinya. Ia mengingatkan, militerisme dapat mengarah pada normalisasi kekerasan dan dominasi yang berisiko pada institusionalisasi kebijakan militeristik dalam masyarakat.
Di sisi lain, ia merasa prihatin atas ketidakpedulian gerakan perempuan dan aktivis dalam merespons isu ini. “Beberapa aktivis, teman-teman saya, terutama senior seangkatan, mengatakan, ‘Ini hanya normalisasi, bukan sesuatu yang membahayakan,’” ujarnya.
Ita juga menyoroti perlawanan korban pelanggaran HAM yang pernah ia dampingi. Hingga hari ini mereka memilih bungkam. Beberapa dari mereka merupakan perempuan Tionghoa korban pemerkosaan tahun 1998 dan perempuan yang dituduh sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Mereka takut bersuara di tengah kondisi yang tak memihak pada kebebasan berpendapat.
Dalam lima tahun terakhir, situasi demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran signifikan dibandingkan dengan upaya perbaikan politik dan pemilu sejak 2004. Negara gagal melindungi hak-hak warga negara. Gerakan HAM terpinggirkan. Kelompok masyarakat sipil kehilangan kesatuan.
“Masyarakat sipil sangat lemah dan sangat segmented, sangat sektoral, sibuk dengan dunianya masing-masing, dan tidak terhubung satu sama lain,” kata Amalinda Savirani, Dosen Ilmu Politik UGM.
Hal tersebut diperparah dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memenuhi tuntutan satu kelompok, tetapi mengabaikan kelompok lain. Untuk itu, Amalinda menyarankan pendekatan interseksionalitas agar masyarakat sipil dapat merespons isu-isu HAM secara lebih terkoordinasi.
Sementara itu, Wasingatu Zakiyah, Direktur Caksana Institute, mengungkapkan tantangan eksternal bagi masyarakat sipil. Beberapa tantangan itu ialah hukum yang sering “tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” serta kuatnya hubungan antara politisi dan oligarki. Hal ini membuat ruang bagi rakyat semakin sempit.
Dalam penguatan masyarakat sipil, Amalinda menawarkan empat opsi strategi: (1) berada di luar untuk melakukan konfrontasi, (2) masuk ke dalam pemerintahan dengan akar grassroot yang kuat, (3) menjadi kelompok lobi, dan (4) memperluas basis grassroot, terutama di kalangan kelas prekariat.
Ita mengakhiri diskusi dengan penegasan penuh komitmen untuk terus membela para korban pelanggaran HAM. “Saya tidak akan berhenti untuk menyuarakan suara-suara korban pelanggaran HAM, dari tahun 65’ sampai tahun 98’, bahkan sampai pada saat ini,” pungkasnya.
Reporter: Himmah/Saiful Bahri, Nurhayati, dan Sofwan Fajar
Editor: Abraham Kindi