Himmah Online, Yogyakarta – Muslim Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali mengadakan kongres Ibu Nusantara yang keempat dengan tema Negara Soko Guru Ketahanan Keluarga. Kongres dilaksanakan di 83 Kota di Indonesia termasuk di Jogjakarta yang bertempat di Jogja Expo Center. Tahun 2016 ini untuk wilayah Jogjakarta terdapat sekitar 1000 peserta yang hadir. Kongres ini dilaksanakan setiap bulan Desember karena bertepatan dengan hari Ibu. Sehingga, persoalan yang diangkat tentang ibu atau Wanita, generasi dan Keluarga. Target kongres ini untuk mengetahui akar masalah dan bagaimana solusi yang tepat untuk ketahanan keluarga.
Aeni Qori’ah sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) satu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) muslimah HTI menjelaskan ketahanan keluarga merupakan dasar dari kekuatan masyarakat dan bangsa. Ketahanan keluarga terwujud karena berjalannya fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik dan juga psikisnya, yakni kebutuhan ekonomi, pendidikan, naluri memiliki keturunan, naluri beragama, kasih sayang, pelindung, dan sosial. Negara sebagai penyelenggara sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem sosial dan sebagainya memiliki peran besar dalam pelaksanaan ketahanan keluarga.
Namun, nyatanya menurut Aeni kondisi keluarga, perempuan dan generasi saat ini sangat memprihatinkan. Banyak persoalan yang terjadi seperti perceraian, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pembunuhan, dan pemerkosaan. Kondisi keluarga saat ini sangat jauh dari keadaan ideal yang seharusnya mampu melindungi dan mempertahankan keluarganya. “Bahkan dapat dikatakan kondisi keluarga Indonesia dalam keadaan darurat ketahanan keluarga,” tutur Aeni.
Aeni melanjutkan bahwa keluarga dalam keadaan rapuh karena banyaknya ratifikasi atas konvensi global terkait perempuan, keluarga, dan generasi tanpa menimbang pertentangannya dengan islam. Hal tersebut disebabkan oleh akumulasi faktor keluarga, lingkungan serta dampak keadaan sosial politik dan perekonomian negara saat ini. Sehingga, diperlukan penyadaran bagi semua pihak terhadap penyebab persoalan dan solusi yang benar untuk perbaikan menyeluruh dan utuh.
Namun, perbaikan menyeluruh dan utuh tidak mungkin bisa dilakukan jika menggunakan aturan-aturan demokrasi, liberalisme, dan kapitalisme. Hal itu dapat melemahkan dan merusak penanaman nilai islam pada mayoritas keluarga Indonesia. “Maka yang bisa dilakukan adalah menata keluarga dengan aturan islam dan sistem-sistem yang mendukungnya pun berdasarkan syari’at islam,” jelas Aeni.
Siti Kustiyati sebagai Mubaligah memiliki pandangan yang sama dengan Aeni. Menurut siti, kehancuran ketahanan keluarga disebabkan oleh liberalisme. Sistem negara yang ditata dengan aturan kapitalisme sekuler dan demokrasi liberal, membuat kebahagiaan keluarga dalam semu. Hal itu karena kebahagiaan hanya diukur dengan pencapaian materi dan itu pun tidak merata. Fungsi keluarga menjadi lemah dan berdampak pada kerapuhannya. Hal Ini disebabkan oleh fungsi negara sebagai daya dukung ketahanan keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut Siti negara dalam sistem demokrasi liberal tidak menjadi penyelenggara utama layanan masyarakat, melainkan membagi perannya dengan perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Sehingga semua layanan yang diperlukan oleh keluarga untuk menjalankan fungsinya tidak terjangkau. “Akibatnya ketahanan keluarga menjadi rapuh,” tuturnya.
Lies Arifah sebagai lajnah kontak Ustazah dan Mubaligah DPD satu muslimah HTI DIY memandang ketahanan keluarga dari sisi sistem pendidikan islam dalam mewujudkan sistem kamil. Sistem pendidikan dalam islam ditujukan untuk membangun karakter pribadi islami dan membentuk keseimbangan antara Ilmu pengetahuan dan agama. Sedangkan, sistem pendidikan yang sekuler hanya akan memperparah generasi. Sistem pendidikannya hanya berorientasi pada kerja dan kebutuhan pasar.
Lies selanjutnya menjelaskan bagaimana perbedaan konsep sistem ekonomi kapitalis dengan sistem ekonomi islam. Pada Sistem ekonomi kapitalis yang bertahan hidup adalah pemilik modal kuat. Sedangkan, sistem ekonomi islam menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok warga negara dan memberi peluang untuk bekerja.
Meti Astuti juga berpendapat bahwa tidak tersedianya lapangan kerja membuat keluarga di Indonesia sulit untuk bertahan secara ekonomi. “Solusinya negaralah yang seharusnya menyediakan lapangan kerja,” tutur Meti. (Sri Rubiati)