KDRT Meningkat Selama Pandemi: Mengenal Sebab dan Pemulihannya

“Kasus KDRT selama pandemi meningkat drastis. Persoalan ketimpangan gender masih menjadi kiblat di balik kasus-kasus yang ditangani konselor dan komunitas advokasi. Pemulihan dan bantuan yang tepat diperlukan untuk memutus rantai KDRT.” 

Himmah Online, Yogyakarta – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi bahasan yang kian belum habisnya, terutama di masa pandemi. Hal ini didukung oleh pernyataan Ni Loh Gusti Madewanti (Anti), Konselor Perempuan Berkisah dalam webinar “Strategi dan Resiliensi Keluar dari Lingkaran Kekerasan KDRT” yang berlangsung Sabtu, 4 Juli 2020 oleh Srikandi Lintas Iman Jogja.

 “KDRT menempati posisi pertama kekerasan yang diterima selama pandemi,” ujar Anti.

Anti bercerita selama bulan Maret dan April, kasus KDRT yang masuk dalam Komunitas Perempuan Berkisah jauh lebih tinggi dari biasanya. Munculnya permasalahan akibat pandemi juga menurutnya mendorong permasalahan rumah tangga menjadi problema paling tinggi yang berakhir dengan KDRT.

Pernyataan tersebut didukung oleh data Komnas Perempuan yang melakukan survey terhadap 2.285 responden laki-laki dan perempuan. Teridentifikasi terdapat 80 persen perempuan dengan berpenghasilan di bawah Rp5 juta mengalami KDRT secara seksual dan psikologis selama pandemi. 

Di Yogyakarta sendiri, melalui Rifka Annisa Woman’s Crisis Center, terdapat 147 kasus kekerasan yang diterima perempuan sepanjang Mei 2020, dengan rata-rata aduan 60 – 90 aduan selama pandemi dibanding sebelumnya yang hanya menerima 30 – 40 aduan kekerasan.

Selanjutnya, Komnas Perempuan menganalisis perempuan lebih rentan terdampak karena adanya beban pekerjaan rumah tangga yang meningkat selama pandemi masih ditanggung oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Sebanyak 96% dari 2.285 responden menyampaikan beban pekerjaan rumah tangga bertambah. 

Perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari tiga jam, berjumlah dua kali lipat daripada responden laki-laki. Disimpulkan terdapat satu dari tiga responden yang melaporkan bahwa bertambahnya pekerjaan rumah tangga yang tidak seimbang rentan terdampak secara psikis.

Ada beberapa sebab menurut Anti, alasan dasar KDRT masih eksis dan terus meningkat seiring waktu, yang bermula dari adanya perasaan atau keadaan superior dari salah satu pasangan. 

Keadaan merasa superior dalam hubungan menurut Anti akan selalu mempunyai tendensi untuk melakukan kekerasan kepada pasangannya. Dalam hal ini adalah adanya hubungan relasi kuasa dalam rumah tangga yang praktiknya merujuk pada budaya patriarki. 

Budaya patriarki yang masih kental ini lah kerap kali menghasilkan keadaan subordinat, yaitu cara pandang yang menempatkan perempuan pada posisi nomor dua atau inferior (rasa tidak berdaya atau lebih rendah posisinya dari jenis kelamin lain).

“Kita sendiri (red- masih minim) pengetahuan mengenai keadilan dan kesetaraan gender. Jangankan di institusi, di keluarga saja masih timpang. Karena selama ini, ada kesempatan yang dibeda-bedakan karena jenis kelaminnya, padahal sebenarnya pekerjaan itu sendiri bersifat netral,” pungkasnya.

Maka menurutnya, harus ada perubahan paradigma yang dilakukan untuk merekonstruksi keluarga yang jauh dari kekerasan. Karena sebenarnya peran konstruksi gender tentang reproduksi, soal hak seksualitas, otoritas tubuh harusnya sudah dibicarakan setiap keluarga sedari kecil.

“Misal sudah berkeluarga, tanamkan dini kepada anak ada jenis kelamin berbeda, maka kebutuhan secara reproduktif berbeda, serta perlu ada pembagian kerja sosial dan domestik yang adil. Jika selama ini perempuan hanya tentang urusan domestik, (red-tanamkan pula) anak perempuan kita berhak jadi pemimpin, baik di sekolah jadi ketua osis atau ketua senat saat kuliah misalnya. Anak perempuan kita pun boleh lho membicarakan apa yang selama ini dianggap tabu,” lanjutnya. 

Jelas Anti lagi, pekerjaan yang dibedakan tadi kemudian berkorelasi menciptakan posisi dalam hubungan yang tidak adil dan setara, baik karena tidak adanya kesempatan untuk terlibat atau berpartisipasi, tidak adanya akses, maupun tidak mendapatkan manfaat bahkan rasa hormat yang sama di ruang publik. 

“Sehingga tidak jarang bahkan janda sekali pun dianggap menjadi posisi yang distigma publik. Membuat perempuan-perempuan yang mendapatkan kekerasan berujung traumatis memendam apa yang dialami untuk tidak distigma tadi,” tambahnya.

Pernyataan tersebut juga ditanggapi oleh para partisipan dalam acara tersebut, salah satunya bercerita tentang bagaimana ia pernah dua kali mendapatkan kekerasan oleh suaminya dan pernah melapor sendiri ke polsek setempat. 

Namun, bukannya ditindaklanjuti, ia disuruh pulang kembali oleh polisi dan disuruh mengikhlaskan kejadian tersebut. Partisipan tersebut juga disalahkan oleh keluarganya sendiri karena sedari awal menikahi laki-laki tersebut.

“Jangan pernah berharap pergi sendiri ke kepolisian mengadu KDRT, apalagi jika kepolisian tersebut tidak mempunyai unit perempuan dan anak, mesti disuruh pulang. Oleh karena itu, korban KDRT memang perlu mendapatkan pendampingan, baik itu secara hukum maupun psikologis,” ujar Anti. 

Cara Deteksi Dini dan Pemulihan Keluarga Korban KDRT

Dwi Sakti, moderator dalam webinar tersebut kemudian menyimpulkan KDRT seperti lingkaran yang tidak terputus, maka salah satu cara untuk keluar dari lingkaran KDRT adalah memutus mata rantainya, entah itu dari rasa trauma, dendam, dan rasa bersalah yang timbul sebagai implikasinya. 

Anti bahkan menjelaskan pencegahan pertama saat KDRT adalah dimulai dari selektivitas saat memilih calon pasangan menikah. Sebelum ada KDRT, jika korban sebelumnya berpacaran, maka terdapat indikasi terjadinya KDP (Kekerasan Dalam Pacaran).

Beberapa kasus yang ditangani Anti sebagai konselor menemukan banyak kasus korban KDRT, juga merupakan korban kekerasan saat pacaran sebelum menikah. Oleh sebab itu, cara mendeteksi dini pasangan yang mempunyai tendensi KDRT adalah dari tindakan pasangan yang mulai melakukan kekerasan fisik dan verbal berulang selama berelasi.

“Hubungan toxic itu bisa kita lihat jika dia suka main kekerasan seperti memukul, membentak, bahkan meminta dana (red- tidak masuk akal) terus-menerus yang menyebabkan rasa tidak aman. Sebenarnya dari sini kita dapat mengetahui dan menakar seberapa besar tanggung jawab dan komitmen pasangan,” lanjutnya.

Anti kemudian menegaskan kembali jika sedang menjalani hubungan toxic seperti yang dijelaskan tadi, ia menyarankan untuk tidak melanjutkan hubungan tersebut.

“Percaya Mbak, seseorang yang pernah melakukan kekerasan saat pacaran, pasti, otomatis akan melakukan kekerasan dalam rumah tangga saat menikah. Itu udah pasti. Kecuali, jika memang kadung cinta, jalan satu-satunya adalah melakukan konseling kepada konselor atau psikolog baik Anda dan juga pasangan,” cetus Anti.

Selain itu, menurut Anti, KDRT juga bukan tentang kekerasan relasi antara suami istri namun juga kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, setiap orang berkesempatan menjadi pelaku maupun korban. 

“Kita harus memahami diri kita bisa menjadi pelaku maupun korban. Kita punya tendensi menjadi pelaku, dan kerentanan menjadi korban. Itu penting kita sadari,” jelasnya.

Anti juga mempunyai perspektif bahwa selain hukuman, cara total untuk memutus rantai KDRT adalah dengan melakukan restorative justice, yaitu mendorong terjadinya pemulihan atau restitusi psikologis pelaku daripada menghukum.

“Karena bisa jadi biasanya pelaku kekerasan sebenarnya adalah korban kekerasan lainnya dari lingkungan keluarga atau lingkungan terdekat lainnya. Maka jika Anda menghukum pelaku KDRT di penjara, dan keluar beberapa tahun setelahnya. Sangat dimungkinkan orang tersebut akan melakukan KDRT lagi,” jelas Anti.

Menurutnya, pelaku kekerasan yang menjadi korban kekerasan sebelumnya terjadi karena ada luka batin yang belum terselesaikan secara tuntas. Lalu luka batin tersebut bersifat menetap dan mengendap menjadi residu di alam bawah sadar. 

Pengalaman kekerasan itu tinggal dan hidup selama luka tersebut belum pulih. KDRT dapat berdampak kepada siapa pun entah itu ibu, ayah, anak bayi bahkan dalam kandungan sekalipun karena efek psikologis ibunya.

“Cara terbaik mengakhiri luka batin adalah melakukan release. Mendatangi psikiater dan psikolog, ini bukan aib, sama seperti kita membutuhkan dokter ketika flu. Luka batin pun begitu, sehingga jangan pernah libatkan anak dan menanamkan kebencian, karena kelak mereka pun mempunyai tendensi melakukan kekerasan jika tidak segera diselesaikan,” tegasnya.

Terlepas dari hal tersebut, Anti kemudian membagikan tips pertolongan pertama kepada teman ataupun kerabat yang menjadi korban dari KDRT. 

Pertama, mendengarkan dengan baik cerita mereka, memvalidasi pengalamannya tanpa sama sekali menghakimi.

Kedua, menanyakan apa yang diinginkan oleh korban dan mengajaknya ke konselor pernikahan ataupun mediator. Hal ini mendorong agar pasangan mempunyai pengetahuan baru dan terbangun critical awareness terhadap permasalahannya melalui pihak ketiga. 

“Beberapa korban yang datang ke konselor ketika emosional tergolong banyak memutuskan bercerai. Tugas kita adalah memberikan informasi secara detail, misal ‘jika ingin bercerai, maka harus pahami apa itu perceraian, cara mengurusnya, bahkan apa dampak bagi kamu, anak, dan keluarga’ untuk membuat korban memahami situasi tersebut. Jika ingin mempertahankan pernikahan pun, pergi ke konseling pernikahan, pasangannya pun harus konseling,” lanjut Anti menyimpulkan dua opsi yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan kasus KDRT.

Penulis: Armarizki Khoirunnisa D.

Reporter: Armarizki Khoirunnisa D.

Editor: Hersa Ajeng Priska

Skip to content