Lemahnya Peraturan Pembangunan di Yogyakarta

HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Ditemui pada Desember 2014, Dona Saputra Ginting, selaku Kepala Sub Bidang Penataan Ruang, Pertanahan, dan Perumahan Badan Perencanaan Pebangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sleman, menjelaskan secara rinci mengenai peraturan pembangunan yang ada di Yogyakarta, khususnya di Sleman. Dona mengatakan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sleman adalah Peraturan Daerah No 12 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sleman yang berlaku selama 20 tahun. RTRW merupakan rencana berskala makro dengan skala 1:50.000, sehingga setiap sentimeternya mewakili 500 meter. RTRW terbagi menjadi rencana pengembangan wilayah secara struktur ruang yang berkaitan dengan pusat kegiatan dengan skala pelayanan internasional, provinsi, hingga kecamatan. Selain pengembangan wilayah secara struktur ruang, RTRW juga mengatur tentang pola ruang yang berbicara mengenai peruntukan zona seperti kawasan lindung dan kawasan budaya. Terakhir, RTRW mengatur mengenai arahan srategis seperti perkotaan dan cagar budaya.

Selain RTRW, Dona menjelaskan lagi mengenai peraturan yang lebih rinci, atau bisa dikatakan sebagai turunan dari RTRW, yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kecamatan dan Rencana Tata Bangunan Lingkungan (RTBL). RDTR memiliki skala 1:5000 yang setiap sentimeternya mewakili 50 meter dan berbicara per zona. Apabila zona A dalam RTRW fungsinya sebagai perkotaan, di RDTR zona tersebut dikelompokkan lagi sebagai kawasan terbuka hijau, pertanian, pedagangan dan jasa hingga kepadatan perumahan penduduk. Selain itu, RDTR juga mengatur air tanah hingga lebar jalan yang menjadi dasar operasional dalam hal perizinan pembangunan. Sayangnya, RDTR belum masuk dalam peraturan daerah (Perda), sehingga belum mempunyai dasar hukum yang kuat sebagai dasar opersional perizinan. Walaupun begitu, ada peraturan lain yang sudah menjadi perda, yaitu Ijin Pemanfaatan Penggunaan Tanah (IPPT) No. 19 tahun 2001.

IPPT mengatur perizinan dengan 5 aspek, yaitu tata ruang, lingkungan, faktor penguasaan lahan, sosial budaya, dan ekonomi, yang sebenarnya sudah dipertimbangkan dalam RDTR namun lebih rinci. Dalam RDTR juga mengatur mengenai air tanah hingga luas jalan. “Dengan kata lain, RDTR merupakan kajian yang dijadikan dasar pengambilan keputusan perizinan. Namun, karena belum menjadi perda, RDTR hanya dijadikan sebatas dasar dan kajian saja, belum dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat. Sedangkan RTRW yang sudah menjadi perda masih berupa perencanaan makro yang tidak sedetail RDTR,” terang Dona.

Mengenai RTBL sendiri merupakan peraturan yang mengatur tinggi bangunan, tinjauan air tanah hingga udara yang diberlakukan, dan hal yang lebih rinci lainnya. RTBL disusun untuk wilayah berskala 60 hektar dan untuk kawasan yang berkembang cepat maupun yang direncanakan untuk dikembangkan.

Di sisi lain, dalam Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD), ada bidang pengawasan rutin dimana apabila menemukan pembangunan yang tidak sesuai dengan fungsinya, maka akan diberikan surat peringatan 1 sampai dengan 3 untuk penghentian aktivitas. Apabila tidak ditindaklanjuti, maka dari tim DPPD akan mengirim berkas mengenai pelanggaran tersebut ke Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan Satpol PP akan melanjutkan ke pengadilan. Apabila terbukti bersalah, sanksi yang diberikan dapat berupa perobohan bangunan dan denda. Sayangnya, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tidak dapat melakukan perobohan bangunan seketika walaupun ada saksi mata. “Aturannya masih ngambang, masih multitafsir, seperti contoh, yang harus merobohkan apakah dari Dinas Pekerja Umum atau Satpol PP, sehingga Satpol PP belum berani untuk mengambrukkan bangunan. Belum ada dasar yang kuat untuk mereka bisa melakukan itu,” jelas Dona lagi. Selain itu walaupun dalam Perda IPPT sudah ada peraturan sanksi sampai denda maksimal 5 juta, namun dalam prakteknya hingga saat ini denda paling mahal hanya 500 ribu.

Selain itu, mengenai pembangunan hotel yang banyak menuai kritik, Dona menerangkan bahwa pembatasan jumlah pembangunan hotel saat ini mengajukan ijin surat rekomendasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), sehingga dalam RTRW maupun RDTR tidak mengatur jumlah hotel yang boleh dibangun karena otomatis sudah tersaring di rekomendasi PHRI. Sayangnya, mekanisme itu tidak berjalan, walaupun surat rekomendasi dapat dikeluarkan. Akhir tahun 2014 lalu, ada kajian kebijakan investasi hotel, yang saat mengatakan ini Dona belum mengetahui hasilnya. Salah satu alternatif yang direncanakan adalah moratorium (penundaan). “Tidak boleh begitu saja menyetujui investasi, investasi harus disaring,” kata Dona lagi. Pembahasan terakhir yang diketahui Dona, hotel harus dibagi-bagi kelasnya, seperti skala internasional hotel berbintang lima, biasa, hingga guest house. Namun, di Sleman sendiri untuk hotel internasional masih dirasa kurang, sehingga ketika ada event internasional dengan syarat menggunakan hotel internasional cenderung bertempat di hotel daerah lain seperti Solo.

Selain hotel, kebijakan lain dalam RTRW, RDTR hingga RTBL juga mengatur bangunan vertikal seperti apartemen. Menurut Dona, hal ini diatur mengingat tanah di Sleman mahal dan sudah habis. Penyebabnya adalah lebih banyak pendatang baru yang menetap daripada yang berpindah ke luar daerah Jogja. Apartemen sendiri hanya boleh dibangun di daerah perumahan dengan kepadatan tinggi, dengan jalan lebar tertentu, dan menggunakan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) bukan air tanah, dengan sistem pencahayaan yang juga diatur. Sebab jika dibangun secara horizontal kerugiannya adalah dari sisi investasi. Beberapa permasalahan yang sering muncul terkait pembangunan apartemen adalah apartemen yang mengincar daerah yang bukan perkotaan, misal daerah Jalan Kaliurang atas, atau yang seharusnya menggunakan air PDAM namun menggunakan air sumur. Dona menambahkan bahwa Sleman tidak anti apartemen selama memenuhi persyaratan tertentu dan menggunakan RDTR.

Ada sebuah kasus yang pernah ditemukan ketika DPPD melakukan pengawasan rutin. Dona menjelaskan, ketika itu ada sebuah iklan yang mengatakan bahwa segala dokumen perizinan apartemen yang ditawarkan seperti IPPT hingga Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sudah jadi. Namun, setelah di cek IPPT hingga Amdal ternyata izin apartemen tersebut belum keluar dan tidak memenuhi persyaratan dari sisi lebar jalan. Terlebih lagi dari 780 unit yang ada, telah terjual 150 unit. “Dari provinsi dan kabupaten sendiri masih bingung dalam menangani kasus seperti itu. Hal ini dikarenakan untuk membongkar kasus, pertama dasar hukumnya belum ada. Kedua, memang belum didirikan gedungnya. Hanya saja itu sudah laku, dan ijin tetap tidak dikeluarkan. Masyarakat yang akan dirugikan adalah yang sudah membeli tadi. Apalagi jika tiba-tiba pemiliknya lari. Pada akhirnya ada permasalahan yang menggantung,” terang Dona.

Berbeda dengan Dona, menurut Heri Widodo, Manajer Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta mengatakan bahwa pembangunan hotel di Jogja sudah overlapping. Selain itu, pembangunan apartemen juga kurang tepat sasaran. “Banyak dibangun apartemen. Seperti yang kita tahu apartemen itu mahal. Lalu siapa yang mau beli? Itu untuk siapa? Apakah banyak warga Jogja yang beli? Seharusnya yang dibangun adalah hunian vertikal yang warga setempat mampu membeli,” jelas Heri.

Mengenai pembangunan terutama pembangunan hotel dan apartemen, seandainya pemerintah mengatakan bahwa pembangunan untuk menigkatkan ekonomi, perlu dipertanyakan lagi yang dimaksud ekonomi siapa. Mengingat dalam setiap pembangunan tentunya ada pemodal, sedang pemodal sendiri bukan warga Jogja. Pemodal tidak memperhatikan kepentingan sosial. “Mereka hanya memperhatikan laba,” ujar Heri lagi.

Heri menyayangkan ketidakkonsistenan dalam menjalankan peraturan yang telah dibuat, seperti RTRW dan RDTR padahal menurutnya aturan tersebut sudah bagus. Hingga saat ini ia belum melihat bangunan yang dirobohkan karena melanggar peraturan, padahal peraturan jelas ada. Ia juga menegaskan bahwa ketika regulasi sudah ada dan sudah benar, sebaiknya dilihat bagaimana prosesnya dan dari sisi sosialnya, karena Heri percaya sudah ada profesor-profesor yang ahli dalam pembuatan regulasi tersebut.

Di sisi lain, Wahyu Handoyo, Kepala Bidang Pengendalian dan Evaluasi Bappeda Jogja, menyatakan bahwa Jogja merupakan Daerah Istimewa sesuai UU No. 13 tahun 2012. “Visi kita adalah sebagai kota pendidikan yang berkualitas, pariwisata yang berbudaya, dan pelayanan jasa. Semua berwawasan lingkungan dan ekonomi kerakyatan,” ujarnya. Artinya, elemen budaya dan pariwisata semakin dikuatkan, sehingga Jogja dituntut dalam mengembangkan ekonomi berbasis budaya, pendidikan, dan pariwisata. Ketiga hal tersebut harus bersinergi, sehingga pembangunan yang dilakukan seharusnya yang mendukung visi tersebut. (Siti N. Qoyimah)

Skip to content