Memahami Sejarah dari Linda Christanty

HIMMAH Online, Yogyakarta – Sabtu, 26 November 2016 lalu, diadakan launching buku Linda Christanty  yang berjudul Para Raja dan Revolusi di Djendelo Cafe, Toga Mas Affandi. “Binatang saja punya sejarah, manusia juga harus punya karena manusia yang membentuk peradaban. Maka, kita perlu mencatat sejarah kita,” ungkap Linda.

Linda menceritakan bahwa tujuannya menulis buku Para Raja dan Revolusi sangatlah sederhana. Ia meyakini bahwa setiap orang pasti memiliki kisah keluarga. Dalam bukunya, selain tulisan yang berbentuk esai dan reportase mendalam, terdapat juga cerita-cerita keluarga yang sangat penting dalam mendukung sejarah nasioal Indonesia. “Sejarah nasional yang ada di buku sekolah, sebenarnya tidak akan hidup apabila tidak ada sejarah lokal atau sejarah keluarga,” tutur Linda.

Menurutnya menulis dari kisah keluarga bukanlah hal baru. Banyak penulis yang menulis cerita-cerita keluarga mereka, seperti cerita tentang orang tua mereka. “Cara menelusuri cerita-cerita individu bisa membuat kita menulis sebuah buku yang menggambarkan situasi nasional kita pada waktu tertentu,” cerita Linda.

Linda menambahkan bahwa buku ini selain menceritakan cerita keluarga yang tersusun dari fakta-fakta, namun juga bercerita tentang cerita rakyat di tengah keluarga. Salah satunya adalah cerita rakyat dari Aceh. Cerita tersebut ia dapatkan dari orang Aceh yang selalu menemaninya ketika ia melakukan reportase untuk bertemu dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka yang sekarang sudah berdamai dengan pemerintah Indonesia. Selain cerita rakyat, masalah-masalah politik global seperti mengapa terjadi gerakan teror di berbagai negara timur tengah di dunia saat ini juga diceritakan.

Selain itu, ia juga memaparkan mengenai masa lalu Indonesia dengan etnis Tionghoa. Dimana orang-orang Tionghoa merupakan sekutu dari kolonialisme Belanda. Kemudian, ia melanjutkan bahwa terdapat tiga struktur sosial dalam masyarakat kolonial. Pertama adalah bangsa Eropa, kedua bangsa Timur Asing, dan ketiga Inlander atau pemilik tanah. Sehingga, struktur sosial dalam masyarakat tersebut menguntungkan orang Cina dalam hal perdagangan. “Orang Cina pada masa itu sudah menguasai perdagangan,” kata Linda.

Linda menambahkan bahwa pada masa Diponogoro, walikota Yogyakarta adalah seorang Cina. Dia diangkat menjadi pejabat oleh penjajah kolonial. Bahkan, dia juga sering menghina dan melontarkan kata-kata yang menyakiti orang Jawa, orang islam pada waktu itu. Linda juga mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi saat ini bisa jadi akumulasi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Seperti peristiwa yang terjadi pada aksi 4 November 2016 lalu.

“Peristiwa kemaren juga (Aksi 4 November 2016-red) melibatkan pejabat negara dalam kasus penistaan agama,” cerita Linda. Ia melanjutkan bahwa ada yang menganggap isu tersebut sebagai suatu cara untuk mendiskriminasi kaum minoritas. Namun, menurutnya hal tersebut bukanlah masalah minoritas atau mayoritas, tetapi masalah elit politik.

Tia Setiadi selaku moderator mengatakan bahwa Linda Christanty seperti menghadirkan sebuah mozaik sejarah yang hilang. Salah satu poin penting dalam buku ini, yaitu bagaimana nasib kerajaan-kerajaan ketika pendirian republik ini dan apa peran para bangsawan baik yang positif maupun yang negatif terhadap pendirian republik ini. Diceritakan juga tentang bagaimana peran etnis Tionghoa secara historis dan hubungannya dengan persoalan fasisme politik yang terjadi saat ini. “Hampir semua analisa Mba Linda selalu menghadirkan sudut pandang sejarah yang rumit dan membuka satu pintu baru dalam cara melihat persoalan itu. Itulah yang menarik,” tutur Tia.

Sebagai salah satu dari peserta diskusi, Delvira C. H mengatakan bahwa launching buku Para Raja dan Revolusi secara keseluruhan cukup menarik, apalagi bagi anak ilmu komunikasi atau persma karena karya Linda Christanty khas dengan jurnalisme sastrawi. ”Kita bisa belajar sedikit cara menulis jurnalisme yang dibumbui sastrawi,” katanya. (Sella Yuniar)

Skip to content