Menilik Kembali Hubungan Indonesia-Belanda pada 1945-1949

Pada kurun waktu 29 September 1945 – 27 Desember 1945 dalam kacamata sejarah Indonesia disebut Masa Revolusi Nasional atau Masa Kemerdekaan dan Mempertahankan Kemerdekaan. 

Semua berawal dari Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, dengan begitu berarti Sekutu mendapat hak atas wilayah yang dikuasai oleh Jepang. Alhasil, Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dan Netherlands Indies Civiele Administratie (NICA) tiba di Tanjung Priok yang dipimpin Sir Philip Christison (AFNEI), Dr. Charles van der Plas (Wakil Belanda pada Sekutu), dan Dr. Hubertus J van Mook (NICA) dengan membonceng Sekutu bermaksud untuk kembali menduduki Indonesia. Alasan lainnya adalah mempersenjatai tawanan perang Jepang untuk menghadapi perlawanan dari Indonesia.

Awalnya masyarakat Indonesia menyambut baik kedatangan Sekutu, tetapi tak lama kemudian masyarakat mengetahui bahwa NICA merupakan perwakilan Belanda. Masyarakat pun murka dan timbul pergerakan perlawanan. Hal ini membuat bangsa Indonesia harus berjuang kembali untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Perlawanan paling fenomenal adalah Peristiwa Westerling yang masih menjadi isu hingga hari ini, yaitu terjadinya aksi pembunuhan ribuan masyarakat di Sulawesi Selatan oleh Pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pada Desember 1946 – Februari 1947. Selanjutnya, Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II yang dianggap sebagai kejahatan peperangan pada negara yang sudah merdeka.

Selain perlawanan senjata, juga terjadi gejolak proses diplomasi Indonesia-Belanda dari Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Royen, sampai Konferensi Meja Bundar (KMB). Hingga pada akhirnya, Belanda mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka pada 27 Desember 1949 di Istana Dam, Amsterdam, Belanda. 

Berbagai dampak atas peristiwa masa Revolusi Nasional diterima oleh Indonesia. Salah satunya adalah dampak kemanusiaan, yaitu meninggalnya 45.000-100.000 jiwa tentara dan 25.000-100.000 jiwa warga sipil.

Apa itu Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia pada 1945-1950?

Yaitu proyek penelitian yang didanai oleh Pemerintah Belanda sebesar 4,1 juta euro atau 67 miliar rupiah yang sejak 2017 memiliki tim khusus. Melibatkan 25 akademisi Belanda, 11 peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan 6 pakar internasional. 

Terdapat tiga lembaga yang terlibat dalam proyek ini, yaitu Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), Lembaga Penelitian Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Lembaga-lembaga tersebut memiliki tujuan mengkaji kondisi Indonesia pasca Jepang kalah dari Sekutu, masa kemerdekaan, hingga akhir revolusi atau pada 1945-1949 atas kekerasan, pelanggaran HAM, pembunuhan, peperangan, dan pembakaran kampung.

Penelitian bermula karena kesaksian Joop Hueting, seorang veteran Belanda pada wawancara pers di Belanda pada 1969. 

Hueting mengutarakan bahwa ketika ia bertugas menjadi militer di Indonesia pada tahun 1947, ia menyaksikan banyak kekerasan dialami oleh orang Indonesia yang ditangkap. 

Sontak, hal tersebut dianggap berlebihan oleh mantan Veteran Belanda dan Pemerintah Belanda bereaksi dengan menerbitkan catatan resmi Excessennota yang berbunyi, “memang betul ada yang berlebihan namun Angkatan Bersenjata secara keseluruhan berperilaku benar.”

Faktor pendorong lainnya adalah penerbitan buku De brandende kampongs van Generaal Spoor  pada 2016 yang ditulis oleh Remy Limpach seorang Sejarawan Swiss-Belanda.

Kedua faktor tersebut bisa menjadi alasan kuat mengapa Belanda sampai menggelontorkan dana sebegitu banyaknya hanya karena ingin mengungkapkan ketidakpercayaan dirinya atas apa yang telah dilakukannya.

Mengapa penelitian hanya dibatasi pada tahun 1945-1949?

Menurut Hassan Wirajuda, selaku Ketua Pusat Studi Kebangsaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya kejadian ini harus ditanggapi serius, kritis, dan hati-hati untuk memelihara narasi yang benar.

Penelitian yang dilakukan Belanda sebenarnya adalah kemauan mereka sendiri. Proses yang dilakukan Belanda ini dinamakan Soul Searching dimana mereka menjadi jati diri mereka, kebelandaan. 

Pertama, dengan lingkup waktu yang sesingkat itu berarti Belanda mengingkari kolonialisasi selama 350 sejak VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mendarat di bumi Nusantara. Dengan kolonisasi yang panjang berarti mengingkari tanggung jawab moral, politik, hukum mereka sebagai koloni power.

Kedua, apa yang terjadi pada 1947-1948 bukanlah aksi polisionil, sejatinya memang Agresi Militer. Kemudian pada 1945-1949 juga termasuk perang karena menggunakan senjata dan serbuan serdadu dalam jumlah besar.

Ketiga, dalam penelitian, Belanda mengakui bahwa kekerasan tersebut dilakukan secara sistematik, berskala besar, dan direstui oleh pemerintah, politisi, dan masyarakat Belanda. Belanda juga mengakui memiliki persenjataan modern dengan serdadu yang banyak. Belanda menyatakan bahwa mereka tidak berhasil menguasai Indonesia baik secara fisik maupun diplomasi.

Terakhir, permintaan maaf Menteri Luar Negeri Bernard Bot pada 2005 yang hanya secara politik, tetapi tidak menurut hukum. Jika dilakukan secara hukum, Belanda mengakui Indonesia merdeka pada 1945 dan mereka harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada tahun 1945-1949. 

Pandangan Ahli Terkait Penelitian dan Permintaan Maaf

Dr. Rushdy Hoessein berpendapat jika permintaan maaf Belanda terkesan sepotong-sepotong. Belanda seharusnya bisa belajar dari Jerman dan Namibia yang menyelesaikan masalah dengan permintaan maaf, ganti rugi uang, dan pengembalian harta rampasan. 

Nahas Indonesia malah sebaliknya, harus membayar ganti rugi kepada Belanda pada saat Orde Baru. Harusnya, Belanda mampu meminta maaf secara tulus dan mengganti rugi berupa uang dengan perhitungan selama 350 tahun.

“Permintaan maaf ini harus clear. Karena pada masa 1945-1949 Belanda tidak mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka. Dengan begitu berarti Indonesia masih Hindia Belanda yang seharusnya diberikan kompensasi atas bagian dari Belanda,” ujar Bonnie Triyana selaku Pemimpin Redaksi historia.id yang menyepakati pendapat Dr. Rushdy Hoessein.

Kemudian Bondan Kanumoyoso, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia menambahkan tanggapannya.

“Apa yang dilakukan Belanda itu masuk dalam kejahatan perang. Penelitian dilakukan seakan-akan Belanda tidak mengakui kesalahannya selama berabad-abad. Baru pada setelah penelitian itu mereka bisa meminta maaf. Padahal masalah moral dan etika tidaklah perlu melakukan penelitian untuk meminta maaf.”

Penulis: Syahnanda Annisa

Editor: Nadia Tisha Nathania Putri

Skip to content