Himmah Online – Ketika di bawah kekuasaan junta militer, Uruguay pernah menjadi negeri yang timpang dan menjadi penyokong utama kapitalisme pada tahun 60-an. Kehidupan José Alberto Mujica Cordano alias Pepe pada masa itu, disebut penuh dengan keberanian. “Pepe bukan tipe aktivis yang hanya menulis pidato. Ia juga turun ke aksi lapangan, bahkan ikut merampok bank,” ujar Djoko Srowot dalam Nobar & Diskusi film El Pepe: A Supreme Life di Sekretariat Social Movements Institute (SMI), Rabu (11/6).
Menurut Djoko, banyak orang saat itu memandang aksi gerilya kelompok Tupamaros—organisasi pemuda yang memiliki keyakinan untuk memperjuangkan keadilan dan pemerataan kekayaan di Uruguay—sebagai bentuk kejahatan.
“Pepe pernah ditanya wartawan Al-Jazeera, apakah mantan gerilyawan yang merampok dan membunuh layak jadi presiden. Ia menjawab, ‘Aku tidak membunuh orang, aku tidak mengambil yang bukan milikku. Kami merampok bank karena pada saat itu bank adalah alat untuk merampok rakyat kecil. Ia menjadi penyumbang energi dan darah bagi kapitalisme serta junta militer yang menindas rakyat,’” tutur Djoko.
José Alberto Mujica Cordano merupakan mantan presiden Uruguay yang menjabat dari 2010 hingga 2015. Media kerap mem-framing Pepe sebagai presiden yang sederhana bahkan termiskin di dunia. Pada 13 Mei 2025, Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang melawan kanker tenggorokan.
Kisah Pepe dikenang pada acara Diskusi dan Nobar bertajuk “Inilah Presiden Progresif” yang diselenggarakan SMI bersama Aksi Kamisan Jogja. Pada pukul 18.30, acara dimulai dengan nonton bareng film dokumenter berjudul El Pepe: A Supreme Life tahun 2018 yang disutradarai oleh Emir Kusturica. Film ini menceritakan pandangan politik serta perjalanan kehidupan Pepe sejak menjadi gerilyawan sampai menjadi presiden.
Dalam sesi diskusi, Djoko menceritakan lebih lanjut bagaimana perjalanan perjuangan Pepe bersama organisasi Tupamaros. Pepe berakhir dipenjara selama 13 tahun kemudian mendapat amnesti dan bebas dari penjara pada tahun 1985.
Selain pemaparan perjalanan Pepe selama menjadi gerilyawan Tupamaros, Djoko juga menyampaikan pendapatnya tentang Pepe ketika menjabat menjadi presiden. Menurutnya, Pepe adalah sosok Abu Dzar Al-Ghifari modern, seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang terkenal dengan kesederhanaannya. Ia memiliki kesamaan prinsip hidup anti kemewahan, dan komitmennya terhadap aspek sosial.
“Saya membayangkan Pepe itu seperti Abu Dzar Al-Ghifari (karena) kesederhanaannya, keteguhannya,” tuturnya.
Pada masa Pepe menjadi presiden, ia menolak untuk memiliki pesawat kepresidenan. Pepe menolak dengan alasan pesawat Air Uruguay masih dapat dengan nyaman membawanya kemana-mana. “Anggaran untuk pesawat kepresidenan, kita belikan helikopter medis dengan peralatan canggih,” ujar Djoko seolah-olah menirukan Pepe.
Diskusi juga sedikit membahas kondisi politik Indonesia di masa kini, ketika anak muda dianggap pragmatis dan kehilangan idealisme, tidak seperti Pepe Mujica. “Apa yang akhirnya sedikit banyak mempengaruhi pragmatisme manusia modern?” tanya salah satu peserta.
Djoko mengatakan bahwa kehidupan manusia saat ini telah dikonstruksi oleh sistem yang konsumtif, di mana orang didorong untuk membeli berbagai hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Menurutnya, hal tersebut perlahan mengikis idealisme, karena hidup akhirnya hanya berfokus pada upaya bertahan, bukan lagi untuk memperjuangkan sesuatu.
“Kita mungkin tidak akan lagi melihat pemimpin seperti José Mujica di waktu-waktu yang akan datang, tetapi semoga, dari tempat sederhana, ruang-ruang kecil, dan diskusi tanpa protokol seperti ini, bisa tumbuh Pepe-Pepe baru,” pungkas Djoko.
Reporter: Himmah/Muhammad Nawal Haq Al Buny, Tazkiyani Himatussoba, Muhammad Beltsazar Rosaldi, Marsyalina Dwi Putri Amniarti
Editor: Farhan Mumtaz