Mereka yang Masih dan Akan Tetap Melawan

HIMMAH Online, Yogyakarta – “Kalaupun Angkasa Pura merobohkan rumah saya, saya akan tetap bertahan di dalam rumah. Itu sudah saya sepakati bersama istri dan anak-anak saya, Mas.”

Dengan mimik wajah dibuat tegar, Tri Marsudi (39 tahun) menjawab pertanyaan saya terkait hal yang akan dia lakukan ketika rumahnya dirobohkan. Tri adalah salah satu dari 38 warga Desa Glagah yang tetap bertahan dan tidak mau menjual tanah tempat rumahnya berdiri kepada Angkasa Pura I (AP 1) untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Di dinding bagian depan rumah, Tri menempel kertas yang berisi penolakan untuk menjual tanah miliknya. “Tidak ada tawar-menawar, saya tidak akan menjual rumah saya.” Ia menambahkan bahwa selama ini pihak AP 1 tidak pernah menyebutkan harga pasti untuk biaya ganti rugi tanah, ia hanya mendengar dari warga yang telah menjual tanah milik mereka ke pihak AP 1. “Kata mereka yang sudah jual lahannya ke AP 1, harga tanah per meter 600–800 ribu. Kalau yang di daerah pinggir jalan bisa lebih dari satu juta,” ungkapnya.

Proyek pembangunan NYIA masuk ke dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau biasa disingkat menjadi MP3EI. Pada 25 Januari 2011, pemerintah Indonesia yang diwakilkan AP 1 dengan investor India GVK Power & Infrastructure membuat kontrak kerja sama pembangunan NYIA. Kerja sama itu berbentuk perusahaan patungan (joint venture) yang masing-masing pihak memiliki hak atas kepemilikan saham dengan dana US$ 500 juta.

Hari Penggusuran

Senin, 5 Desember 2017, AP 1 kembali melakukan pengosongan lahan petani dan warga. Menurut keterangan Kapolres Kulon Progo, AKBP Irfan Rifai, penggusuran tersebut mengerahkan sekitar 264 aparat gabungan dari polisi, Satpol PP, dan Brimob. Selain itu, terlihat juga empat alat berat yang nantinya akan digunakan untuk meratakan wilayah tersebut.

Pukul 08.00 WIB, sejumlah relawan yang tergabung dalam Aliansi Penolak Bandara Kulon Progo juga masyarakat yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP KP) melakukan aksi damai ketika aparat sedang melaksanakan apel pagi di wilayah penggusuran tersebut.

Himawan Kurniadi yang akrab disapa Adi selaku Koordinator Umum Aliansi mengatakan bahwa aksi hari itu adalah respons penolakan atas penggusuran lahan warga. Adi juga menambahkan bahwa relawan yang hadir berjumlah kurang lebih 350 orang yang datang dari berbagai organisasi, komunitas, bahkan individu. Ketika ditanya lama pelaksanaan aksi, Adi menjawab bahwa Aliansi akan terus menggelar aksi sampai bandara gagal untuk berdiri. “Kami akan terus mengawal warga untuk mempertahankan tanah milik mereka,” ungkapnya.

Pada aksi penolakan hari Senin, dilaksanakan pula salat istighosah yang dipimpin Muhammad Al-Fayyadl, seorang ulama muda kharismatik Nadhlatul Ulama (NU) dan tokoh perjuangan agraria. Setelah melaksanakan salat istighosah, Al-Fayyadl memeluk para warga yang berada di saf pertama. Suasana haru hadir pagi itu, air mata dari warga tampak jelas sebagai lambang ketegaran akan perjuangan mereka. “Apa yang bapak dan ibu lakukan hari ini adalah sebuah jihad di hadapan Allah. Semoga apa pun yang kita perjuangkan hari ini akan terus menjadi milik kita,” ujar Al-Fayyadl.

Perihal jumlah rumah warga yang akan dirobohkan, AKBP Irfan mengatakan bahwa dari 42 rumah yang masih tersisa, 14 kepala keluarga sudah merelakan rumah mereka untuk diratakan. Sedangkan sisanya sebanyak 28 rumah masih menolak. Pada pidato apel pagi sebelum penggusuran, Irfan menyerukan untuk meratakan rumah-rumah yang tidak ada penghuninya, baik rumah yang penghuninya setuju maupun yang menolak. “Ingat, yang kita hancurkan rumah yang kosong, tidak ada penghuninya.”

Penggusuran dimulai pukul 10 pagi. Alat berat yang difungsikan untuk merobohkan bangunan serta membongkar pohon mulai bergerak dari arah barat ke arah timur, diikuti sejumlah aparat gabungan. Massa aksi merapatkan barisan membentuk pagar betis untuk menahan aparat, namun aparat malah bergerak ke arah yang berlawanan dengan pagar betis massa aksi.

Menyikapi hal tersebut, massa aksi yang semula berpusat di depan kantor pembangunan NYIA milik AP 1 berpencar ke rumah warga yang menolak penggusuran untuk membantu advokasi. Ada 38 rumah yang dikawal oleh relawan. Masing-masing rumah dikawal 4–8 orang relawan. Para relawan tersebut menjadi pagar hidup ketika memang nantinya akan terjadi penggusuran.

Pukul 4 sore, alat berat meratakan semua bangunan yang sudah dijual oleh pemiliknya. Salah satu bangunan yang diratakan adalah satu-satunya gereja di daerah tersebut. Terlihat juga lahan-lahan yang ditumbuhi oleh pohon kelapa dihabisi oleh alat berat. Hari itu, 38 rumah yang warganya menolak untuk digusur, dibiarkan bertahan memperjuangkan rumah mereka.

Surat Ombudsman RI

Setelah tak terima pintu dan jendela rumahnya dibongkar paksa oleh aparat polisi dan adanya pemutusan akses listrik oleh petugas PLN pada hari Senin, 27 November yang lalu, Fajar Ahmadi—yang juga merupakan salah seorang anggota PWPP KP—melaporkan tindakan ini ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

Menyikapi hal tersebut, pada tanggal 30 November 2017, Ombudsman RI mengeluarkan surat dengan Nomor 0510/SRT/0191.2017/yg-10/XI/2017 yang meminta kepada pihak AP 1 agar menunda rencana pembongkaran sampai keluar hasil pemeriksaan lanjutan dari Ombudsman.

AKBP Irfan mengatakan bahwa ia sudah mengetahui tentang surat Ombudsman tersebut. “Iya, kita sudah tahu surat Ombudsman RI, namun belum membacanya lebih lanjut,” ucapnya.

Sementara itu, General Manager Angkasa Pura I selaku penanggung jawab proyek pembangunan ini malah enggan menjawab pertanyaan terkait himbauan Ombudsman. “Saya rasa semuanya telah jelas disampaikan oleh Bapak Kapolres. Semoga hari ini berjalan lancar dan kita semua diberi kesehatan,” tuturnya menutup wawancara pagi itu.

Oleh warga sendiri, surat ORI tersebut menjadi sebuah senjata untuk melawan penggusuran. Warga memperbanyak dan menempel surat itu di depan rumah mereka.

“Saya berharap dengan adanya surat peringatan dari Ombudsman ini, pihak AP 1 dapat membatalkan penggusuran, bahkan membatalkan proyek bandara ini. Bagaimanapun kami akan terus bertahan memperjuangkan apa yang menjadi hak kami. Ini bukan hanya perkara uang ganti rugi, kami di sini memperjuangkan hidup kami yang berasal dari tanah ini,” ucap Tri di beranda rumahnya yang sepoi oleh angin sore. Deru mesin alat berat masih terdengar jelas meratakan apapun yang ia lewati.

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya

Podcast

Skip to content