Pembangunan Tol DIY, “Bisnis yang Tidak akan Menguntungkan”

“Saya bisa menduga bahwa kelayakan finansial sangat lemah dan jumlah volume lalu lintas di Yogyakarta terlalu rendah, sehingga ini menjadi bisnis yang tidak akan menguntungkan,” Jamie, Dosen National University of Singapore.

Himmah Online, Yogyakarta – Pembangunan ruas jalan tol di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dipandang memiliki banyak dampak negatif terhadap berbagai sektor. Dalam diskusi terbuka secara daring pada Rabu, 29 Juli lalu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta melalui media konferensi Zoom dan live streaming di kanal YouTube resminya membahas “Telaah Kepentingan Pembangunan Tol di Indonesia”.

Diisi dengan empat pembicara, yakni Bima Yudhistira peneliti dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Sana Ullaili perwakilan dari Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, Darmaningtyas kepala divisi dari Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia, dan Jamie S. Davidson seorang dosen dari National University of Singapore.

Menurut Bima Yudhistira, adanya tol di DIY tidak memiliki banyak dampak positif namun proyek pembangunan jalan tol ini akan tetap berjalan meski di masa pandemi seperti ini. 

Di Indonesia sejak awal pembangunan jalan tol sudah cukup masif, namun banyak pengusaha yang mengeluhkan terkait pembangunan jalan tol. Padahal pembangunan jalan tol seharusnya didukung oleh pengusaha untuk memberi kontribusi pada kenaikan indeks daya saing. 

Konsep yang dibutuhkan Indonesia adalah konektivitas laut. Tetapi, tol laut di Indonesia malah di nomor duakan, kemudian yang di nomor satukan adalah pembangunan jalan tol. 

“Indonesia bila dipaksakan model transportasi seperti itu (transportasi darat), ekonomi akan semakin terserap ke Jawa sementara ketimpangan dengan Indonesia bagian Timur dan Barat tidak akan terselesaikan dengan pembangunan jalan tol,” ujar Bima. 

Bima mengatakan bahwa, konsep pembangunan jalan tol di Indonesia menguntungkan 3 pihak. Pertama, makelar tanah seperti spekulan properti. Termasuk para makelar yang memaksa warga untuk menjual tanahnya. 

Kedua, para manajer dan komisaris dari BUMN. Karena menurutnya di tengah pandemi saat ini, mereka tetap bisa mendapatkan suntikan dana. Lalu pihak ketiga yakni para kreditur.

Jamie S. Davidson menyampaikan, jarang ada investor dari luar atau dalam negeri yang mau berinvestasi miliaran rupiah untuk membangun tol antar kota. “Ada banyak halangannya. Salah satunya value lalu lintasnya sangat rendah,” jelasnya.

Menurutnya, penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap pembangunan jalan tol memperhatikan dua kategori, yakni kelayakan ekonomi dan finansial. Maka, hal tersebut pertanyaan yang juga bisa digunakan terkait masalah tol Yogyakarta yang akan dibangun.

“Saya bisa menduga bahwa kelayakan finansial sangat lemah dan jumlah volume lalu lintas di Yogyakarta terlalu rendah, sehingga ini menjadi bisnis yang tidak akan menguntungkan,” tambah Jamie.

Sana Ullaili dari Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta menyampaikan, kenyataannya petani di Indonesia banyak yang jauh dari kehidupan layak, termasuk di DIY. “Ini akan diperburuk dengan adanya pembangunan jalan tol di DIY, karena untuk petani dengan adanya jalan tol akan menambah biaya distribusi dan produksi,” ungkap Sana.

Ia juga menjelaskan, ketahanan pangan bisa diartikan dengan adanya kedaulatan dan kemandirian pangan yang bisa dilihat dari jumlah, mutu, akses, keamanan, dan gizi dari pangan itu sendiri.

Menurut Darmaningtyas dari Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia, wilayah Jawa dikenal bagus untuk menjadi sumber pangan dan cadangan air. Namun bila lahan produktif penyokong sektor ini dialih fungsikan menjadi jalan tol, akan mengakibatkan terjadinya krisis pangan dan air. 

Ditambah dengan penduduk yang kerap bertambah, maka harus dipikirkan dari mana kebutuhan air dan pangan bisa terpenuhi.

Darmaningtyas menambahkan, sebenarnya akan lebih bermakna jika mengaktifkan kembali jalur kereta api, Semarang-Yogyakarta atau Bantul-Yogyakarta, dibandingkan dengan membangun tol di DIY. Karena bisa diperkirakan traffic jalan tol akan sangat berbeda dengan traffic KRL. Sehingga return modal bisa diperkirakan akan membutuhkan waktu sangat lama.

Penulis: Nadya Auriga

Reporter: Adelia Fatin, Monica Daffy, Muhammad Kholiqul Iqmal, Nadya Auriga, Siti Anisa

Editor: Muhammad Prasetyo

Skip to content