Peringati May Day, Buruh Informal Belum Mendapat Perlindungan Hukum

Himmah Online, Bantul – Jaringan Advokasi Pekerja Informal (JAMPI) beraliansi dengan Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) melaksanakan kegiatan memperingati Hari Buruh Internasional pada Rabu, 1 Mei 2019 di Ngetisharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Aliansi ini menggelar beberapa kegiatan seperti long march, bazar, dan pentas seni. Salah satu kegiatannya, pentas seni drama dilakoni oleh sekelompok buruh informal wanita. Drama tersebut menceritakan tentang keluh kesah dan ketidakadilan yang dialami oleh buruh informal rumah tangga yang kurang mendapatkan waktu istirahat dan dituntut untuk bekerja tanpa henti.

Selepas drama tersebut, Arisawati selaku koordinator umum acara bercerita bahwa kegiatan ini sudah menjadi acara tahunan bagi mereka, kelompok buruh informal wanita di JAMPI. JAMPI sendiri merupakan sebuah jaringan yang terdiri dari beberapa organisasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memayungi berbagai serikat perkerja informal yang menggagas terselangaranya acara ini.

Selama Arisawati di JAMPI, tuntutan utama dari serikat buruh sedari dulu adalah kaum buruh informal tidak mendapat pengakuan dari pemerintah dan masyarakat umum, bahkan kurangnya pengakuan ini datang dari anggota keluarga buruh informal itu sendiri. “Bahkan kalau kita melakukan aksi May Day, ada suami yang melarang istrinya untuk mengikuti acara ini,” keluhnya.

Menurut Arisawati, salah satu semangat yang mendasari berlangsungnya peringatan May Day adalah mengingat bahwa selama ini belum ada pengakuan dan perlindungan secara tertulis oleh pemerintah. “Kami selalu berharap adanya May Day ini, Undang-undang Perlindungan dan Pengakuan Pekerja Informal segera disahkan,” lanjutnya.

Dikutip dari pernyataan sikap JAMPI tentang Perlindungan dan Pengakuan Pekerja Informal, pemerintah sampai saat ini belum mengetahui kondisi dan sistem kerja buruh informal seperti buruh rumahan, buruh gendong, dan buruh rumah tangga. Hal ini juga disebabkan belum juga disahkannya konvensi International Labour Organization (ILO) tentang Kerja Layak bagi Pekerja Informal Nomor 189 yaitu Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Nomor 177 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumahan, sehingga belum ada kebijakan yang melindungi. Selain itu, berbagai jenis pekerjaan informal yang telah disebutkan di atas tidak termasuk ke dalam Undang-undang tentang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang diajukan ke DPR sejak 2004 juga tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Tidak hanya dari JAMPI, Maila Nurul Fajria, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta juga ikut mendukung agar Peraturan Daerah tentang Perlindungan Pekerja Informal segera disahkan. LBH mengaku tidak turun langsung ke serikat kerja tetapi melewati para legal yang memayungi beberapa serikat pekerja informal. “Upaya tetap dilakukan, namun negoisasi pemerintah malah terkesan alot,” terangnya.

Maila juga menjelaskan pentingnya pengakuan terhadap buruh informal. Menurutnya, tidak adanya pengakuan memiliki dampak besar dalam legalitas yang mereka terima. Mereka tidak mendapat hak-hak umum yang seharusnya didapat oleh pekerja formal. Hak-hak tersebut meliputi kemanan, kesehatan, dan keselamatan kerja. “Pekerja tetap khususnya di Yogyakarta sendiri Upah Minimum Regional (UMR) masih terbilang rendah, jadi dapat dibayangkan bagaimana penghasilan yang didapat pekerja informal tanpa adanya kontrak kerja yang jelas,” pungkasnya.   

Untuk itulah, Maila memaparkan bahwa pentingnya serikat adalah untuk mewadahi para pekerja informal agar dapat unjuk suara terhadap ketidakadilan yang diterima. Karena serikat buruh mulai berani negoisasi harga karena mereka sudah memiliki bekal dan perspektif pekerja. “Namun masih banyak yang enggan masuk ke serikat dengan alasan kecaman dari pihak-pihak besar yang menentang dan merasa dirugikan,” tutupnya.

Reporter: Hersa Ajeng Priska, M. Rizqy Rosi, Hilmi Fahrul, dan Ika Rahmanita

Editor: Armarizki Khoirunnisa D.

Skip to content