Himmah Online – Pada 17 Oktober 1952, Kolonel Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu dan para perwira lainnya mengorganisasi demonstrasi di Istana Merdeka menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan percepatan pemilihan umum. Aksi ini buntut dari konflik internal di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pembentukan TNI sebagai angkatan bersenjata merupakan proses yang panjang; melalui penggabungan sejumlah gerakan, laskar, dan organisasi militer bekas Jepang ke dalam satu wadah baru. Dampaknya, militer menjadi sebuah kekuatan baru di perpolitikan Indonesia yang kerap mengalami konflik internal lantaran perbedaan pandangan dan latar belakang.
Tahun 1950-an merupakan masa yang disorot serba merosot dan tidak stabil, baik secara politik maupun ekonomi. Saat itu, banyak anggota militer yang menjadi pimpinan politik hingga memainkan peran dalam perpolitikan daerah. Hal ini membuat KSAD Kolonel A. H. Nasution merasionalisasi dan mengurangi jumlah tentara.
Ketika masalah itu sedang terjadi, muncul keinginan dari Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Mayor Jenderal T. B. Simatupang dan KSAD Kolonel A. H. Nasution untuk mengembalikan tentara sesuai fungsinya. Kondisi itu mendapat respons tak baik dari pihak Kolonel Bambang Supeno. Dia tak sependapat dengan Nasution. Bambang Supeno bahkan menganggap kinerja Nasution tak baik.
Kemudian, Supeno mengirimkan surat ke DPRS karena merasa tak puas dengan kepemimpinan Nasution. Menurut Aswab Nanda Pratama (2018) dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, Ketika Tank dan Meriam Mengarah ke Istana, DPRS pun ikut andil dalam masalah yang mengakibatkan internal militer ini terpecah. Beberapa kubu di parlemen kemudian membuat sejumlah mosi dalam menyikapi masalah yang terjadi.
Menurut Fathurrahman dkk. (2018) dalam Jenderal A.H. Nasution dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, setelah melalui pemungutan suara, parlemen menerima usul mosi Manai Sophian yang isinya antara lain mendesak pemerintah agar membentuk suatu panitia yang terdiri dari anggota parlemen dan wakil pemerintahan untuk menghadapi masalah-masalah yang timbul mengenai Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.
Usul tersebut lantas ditanggapi kecewa oleh petinggi AD, khususnya Nasution. Militer merasa parlemen telah mencampuri urusan eksekutif (pemerintah), khususnya mengenai masalah internal AD, sehingga AD seolah ditarik ke dalam polemik politik. Pada 16 Oktober 1952, guna mempertahankan keutuhan dan integritas AD, Nasution menyelenggarakan rapat Staf Umum AD (SUAD) dengan para panglima teritorium.
Rapat tersebut kemudian melahirkan petisi yang berisikan empat poin. Pertama, mengenai masa usia kabinet yang pendek sehingga tidak mampu melaksanakan program kerjanya. Kedua, kesulitan kabinet dalam menghadapi parlemen yang dua per tiga anggotanya berasal dari bekas negara-negara federal buatan Belanda. Ketiga, meminta presiden membubarkan parlemen dan secepatnya membentuk parlemen baru. Keempat, menilai mosi Manai Sophian telah mengintervensi urusan AD.
Rapat tersebut memutuskan agar petinggi AD menemui Presiden Soekarno dan menyampaikan hasil rapat. Namun atas usul KSAP Kolonel Simatupang, inisiatif ini hendaknya dibicarakan dahulu dengan Menteri Pertahanan (Menhan) Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah didiskusikan, rombongan pimpinan Nasution pun diizinkan untuk menemui presiden.
Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan para perwira lainnya mengorganisasi demonstrasi di Jakarta menuntut pembubaran DPRS dan percepatan pemilu. Demonstrasi yang sedianya dilakukan oleh 5.000 orang tersebut kemudian bertambah mencapai 30.000 orang. Aksi ini diprakarsai oleh Kolonel Soetoko dan Kolonel S. Parman, lalu Kolonel Dr. Mustopo didapuk menjadi koordinator lapangan.
Demonstrasi bergerak dari gedung DPRS menuju ke Istana Merdeka untuk menyampaikan tuntutan kepada presiden. Sari (2021) dalam 17 Oktober 1952, Saat Para Perwira TNI AD Arahkan Moncong Meriam ke Istana menuturkan, pasukan dengan tank serta artileri muncul di Lapangan Merdeka. Beberapa pucuk senjata tersebut diarahkan ke istana, dipimpin oleh Letnan Kolonel Kemal Idris yang telah dimandatkan untuk “memamerkan kekuatan”, meski tidak memiliki hak untuk melibatkan pasukannya.
Di hadapan para demonstran, Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak bisa membubarkan parlemen begitu saja. Presiden membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak menanggapi usulan itu. Soekarno menegaskan akan menyelidiki lebih besar keinginan rakyat dan segera mempercepat pemilu.
Sesaat kemudian, Soekarno menemui delegasi militer yang dipimpin Nasution yang sebelumnya juga bermaksud menyampaikan hasil rapat SUAD. Nasution lalu menyerahkan pembicaraan kepada Letnan Kolonel Sutoko selaku juru bicara. Sutoko lalu menuturkan bahwa AD berpendapat, bahaya bagi negara yang masih muda semisal Republik Indonesia ini, apabila tidak ada stabilitas politik di dalam negeri.
Sutoko memaparkan hasil rapat yang diberi nama “Pernyataan Pimpinan Angkatan Darat” tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, Sutoko menuturkan bahwa alat negara seperti angkatan perang akan berada dalam bahaya karena berada dalam pengaruh kesukaan dan kebencian partai.
Militer menuntut supaya DPRS segera dibubarkan dan presiden membentuk DPRS baru dengan mempertimbangkan kehendak rakyat. Selain itu, para petinggi AD menuntut percepatan proses perbaikan dan penyempurnaan Angkatan Perang, beserta penjagaan ketertiban umum demi menghindari kekacauan.
Presiden pun berjanji untuk berunding dengan pemerintah untuk segera mengadakan pemilu dalam tempo sesingkatnya. Mengingat banyak demonstran tentara yang berasal dari luar Jakarta, seperti Seksi Intel Divisi Siliwangi, presiden menjamin suara-suara rakyat di luar Jakarta akan diperhatikan.
Setelah peristiwa itu, A. H. Nasution yang ketika itu menjadi KSAD akhirnya diganti. Perselisihan di kalangan militer, terutama di matra AD sendiri dianggap selesai setelah disepakatinya Piagam Keutuhan AD, sebagai hasil pertemuan di Yogyakarta pada 25 Februari 1955.
Reporter: Magang Himmah/Jalaluddin Rizqi Mulia
Editor: Pranoto