Himmah Online – Konsumsi daging anjing berpotensi menularkan penyakit zoonotik. Hal ini diungkapkan Erwan Budi Hartadi dalam acara Sarasehan Lintas Iman; Guyub Wujudkan Jogja Tanpa Daging Anjing yang diselenggarakan oleh animal friends jogja dan Dog Meat Free Indonesia (DMFI) di Sarasvita FCJ Center, Yogyakarta pada Jumat (11/04).
Acara ini menghadirkan Fitri Nur M.P. sebagai moderator, Victor Indrabuana, pegiat perlindungan hewan dan pendiri Shelter Ron-Ron Dog Care, Erwan Budi Hartadi, peneliti di Pusat Kedokteran Tropis UGM, Wiji Nurasih dari jaringan Gusdurian, dan Suster Meita, tokoh agama.
Erwan menjelaskan di Indonesia diperkirakan sekitar satu juta anjing disembelih untuk dikonsumsi setiap tahunnya. Yogyakarta menjadi konsumen tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Solo dan Jakarta.
“Diperkirakan sekitar 6.500 ekor anjing dikonsumsi setiap bulannya di Daerah Istimewa Yogyakarta,” jelas Erwan.
Pasokan anjing yang didapat untuk dikonsumsi berasal dari luar Yogyakarta. Salah satu daerah pemasok adalah Jawa Barat yang beberapa kabupatennya masih belum bebas dari rabies.
Penyakit zoonotik seperti rabies, kolera, infeksi E. coli dan lain sebagainya, tidak hanya dapat menular lewat konsumsi, tetapi dapat juga melalui proses pengolahan yang tidak higienis dan memunculkan penyakit baru. Salah satu penyakit yang diduga berasal dari binatang adalah Covid-19.
“Itu sampai sekarang belum tahu asalnya dari mana, terus munculnya itu seperti apa. Tapi dikasih indikasi itu bisa mengarah ke mungkin dari kelelawar, dari rubah dan lain sebagainya,” ungkap Erwan.
Dia mengungkapkan, pentingnya sistem kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan One Health, yang mengintegrasikan kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan. Pendekatan ini berfungsi sebagai sarana dan ruang tanggung jawab antara pemerintah, NGO, akademisi, dan masyarakat untuk melindungi ketiga aspek tersebut secara berkelanjutan.
“Nah, tentu semua kalangan harus berpartisipasi, salah satunya adalah profesi untuk hewan terkait,” ungkap Erwan.
Selain aspek kesehatan, isu ini berkaitan dengan etika dan pandangan agama. Dalam sejarahnya, anjing didomestikasi sebagai pendamping manusia bukan sebagai hewan ternak, secara etika anjing tidak diperkenankan untuk dimakan. Hal ini tertera pada Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa hewan konsumsi berasal dari hewan ternak.
“Hanya satu in general saja, mungkin di Undang-Undang 18 tahun 2012 sampai itu masih berlaku. Konsumsi untuk sehari-hari, dari tumbuhan, dari hewan. Dan yang disebutkan di sini adalah hewan ternak,” jelas Erwan.
Namun undang-undang ini memiliki ambiguitas, karena apabila berniat untuk diternakan dan dikonsumsi artinya diperbolehkan. “Karena misalnya saya ada anjing, tapi ini tak (saya) ternakkan dan ternyata buat konsumsi. Berarti ngga papa dong,” ungkap Erwan.
Wiji Nurasih menjelaskan dalam perspektif Islam bahwa hewan anjing ada dalam surat Al-Kahfi, dijelaskan bahwa anjing merupakan teman dan pelindung bagi Ashabul Kahfi.
“Pemuda-pemuda yang kabur dan bersembunyi di gua, itu ditemani anjing mereka, anjing itu fungsinya adalah sebagai teman dan pelindung gitu,” jelas Wiji.
Suster Meita, menjelaskan dari perspektif Katolik, salah satunya tertera pada Laudato si no 67. interaksi makhluk hidup diatur satu sama lain membuat kehidupan yang harmoni. Manusia secara khusus diciptakan Allah secitra dengannya, namun bukan berarti manusia dapat memperlakukan ciptaan lain semena-mena.
Harapannya, Undang-Undang yang mengatur pelarangan konsumsi daging anjing dapat segera disahkan. “Nah itu, makanya kita perlu dorongan bagaimana caranya supaya spesifik ada undang-undang,” pungkas Erwan.
Reporter: Himmah/ Ayu Salma Zoraida Kalman, Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Reza Sandy Nugroho.
Editor: Hana Mufidah.