Himmah Online – Aliansi Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (AKBM-UST) melakukan konferensi pers yang dilaksanakan di Kantor LBH Yogyakarta pada Senin (02/10). Konferensi pers tersebut menjadi wadah bagi korban untuk angkat bicara terkait tindakan represif oleh pihak kampus kepada mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) saat melakukan aksi pada Jumat (29/09).
Aksi tersebut dilakukan sebagai landasan untuk memperjuangkan ruang demokrasi dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus UST. Beki, selaku moderator dalam konferensi pers tersebut menjelaskan bahwa pada awalnya, Majelis Mahasiswa Universitas (MMU) mengadakan diskusi dengan tema “Anti Korupsi” yang bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, yakni Social Movement Institute pada Selasa (19/09) lalu.
Diskusi tersebut awalnya akan dilakukan di Ruang Ki Sarino Mangunpranoto, Fakultas Ekonomi. Namun, MMU memindahkan tempat diskusi ke Asrama Balai Sriwijaya Sumatera Selatan Yogyakarta karena pihak kampus membatalkan perizinan tempat secara sepihak dan mendadak.
“Ternyata beberapa jam sebelum diskusi, dibatalkan dan tempatnya tidak diizinkan,” ujar Beki.
Beki melanjutkan bahwa pada Senin (25/09), dikeluarkan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan bahwa Ketua MMU dan anggota Divisi Eksternal dan Internal diberhentikan secara terhormat.
“Kalo kami lihat dari SK nya, itu dikeluarkan pada tanggal 20 September, sehari setelah dilakukannya diskusi. Untuk itu, kami menengarai terjadinya pemberhentian ataupun adanya SK itu disebabkan oleh diskusi yang tetap kami jalankan pada waktu itu,” lanjutnya.
Kemudian, setelah melakukan beberapa kali konsolidasi dan membahas terkait berbagai persoalan bagaimana pembungkaman ruang demokrasi dan kebebasan mimbar akademis di kampus, mahasiswa UST mengadakan aksi dan bergabung dalam aliansi yang bernama Keluarga Besar Mahasiswa UST.
“Di hari aksinya itu terdapat beberapa insiden dorong-dorongan dan lain sebagainya. Dalam berjalannya aksi ada empat orang kawan kami yang ditangkap dan diintimidasi,” ujar Beki.
Aji Tri Atmojo, mahasiswa teknik sipil angkatan 2023, selaku korban menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan kekerasan oleh oknum staf rektorat. Bahkan dirinya sempat mengalami linglung selama kurang lebih 15 menit mendapatkan kekerasan.
“Saya dipukul dibagian kepala atas (Red-ubun-ubun) yang menyebabkan saya sempat nge-blank dan linglung. Lalu saya reflek menendang pintu. Setelah itu beberapa staf datang dan memukuli saya,” ujar Aji.
Tak sampai disitu, Aji juga mengaku mendapatkan tindakan represif lain berupa diskriminasi dan tekanan.
“Saat saya diinterogasi ada beberapa oknum yang ingin meluapkan kemarahan dengan pukulan. Handphone saya disita, saya juga diminta menunjukkan KTM (Red-Kartu Tanda Mahasiswa) digital dan dimintai nomor hp orang tua,” lanjut Aji.
Tidak hanya Aji, Yoga Putra Pratama mahasiswa teknik sipil angkatan 2023 juga turut menjadi korban dalam aksi ini. Yoga mengatakan bahwa dirinya mengalami tindakan serupa, tetapi dia tidak mengalami pemukulan.
“Saat terjadinya aksi tersebut saya dan beberapa teman berpikir untuk masuk lewat basement, awalnya masuk lewat pintu utara. Saat saya ingin keluar ternyata pintu utara sudah ditutup. Lalu kami menuju ke selatan, karena kebelet kami pun menyempatkan untuk pergi ke WC. Tiba-tiba dari belakang saya dipiting oleh oknum staf rektorat sampai sesak nafas,” ujar Yoga.
Yoga juga mengatakan bahwa dirinya sempat dimintai KTM digital dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya sempat ditahan. Handphone-nya juga disita dan orang tuanya dihubungi melalui telepon. Beruntung setelah mengalami berbagai negosiasi akhirnya ia dilepaskan pada pukul 15.00 WIB.
Tindakan tersebut sangat dikecam oleh Wahid, mantan ketua MMU UST 2021. Wahid menjelaskan bahwa tindakan serupa juga pernah dialami oleh para aktivis yang melakukan demonstrasi di masa kepemimpinannya.
“Polarisasi seperti ini akan menumpulkan pemikiran kritis mahasiswa dan memadamkan semangat demokrasi seperti nilai-nilai yang diajarkan Ki Hajar Dewantara dalam ajaran Tamansiswa” tutur Wahid.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengirim kuasa hukumnya untuk mendampingi masa aksi tersebut juga mendapatkan tindakan represif dari staf rektorat UST. Dimana 2 kuasa hukum dari LBH, yakni Wandi Nasution dan Rizal dihalang-halangi dengan dalih hanya mahasiswa UST yang boleh mengikuti kegiatan aksi tersebut. Alhasil, mereka tidak bisa membersamai kliennya.
“Kami dihalang-halangi pihak rektorat, padahal kami sudah menjelaskan bahwa kami adalah kuasa hukum mereka (Red-korban masa aksi), kami juga didorong-dorong dan baju kami ditarik oleh oknum-oknum tersebut,” ujar Wahid.
Reporter: Magang Himmah/ Agusty Ghany Albari, Ja’far Dzaky Ibrahim, Muhammad Rizky Sofiyudin, Himmah/Nawang Wulan
Editor: Jihan Nabilah