Himmah Online – Aliansi Masyarakat Yogyakarta yang terdiri dari berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, dosen, buruh, pedagang, hingga aktivis berbondong-bondong melakukan long march mulai dari Jalan Abu Bakar Ali hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada Kamis (22/8). Mereka menggelar aksi unjuk rasa sebagai bentuk kekecewaan terhadap DPR RI yang menyepakati putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas minimum usia calon kepala daerah.
Tuntutan utama aksi ini adalah agar DPR RI tidak mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dan KPU RI tetap menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024 mengenai ambang batas partai politik saat mendaftarkan pasangan calon dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai batas usia kepala daerah.
“Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat putusan dari Mahkamah Konstitusi. Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak mengesahkan RUU (Pilkada),” Ucap Muhammad Rayhan (23) salah satu Koordinator Lapangan aksi massa.
DPR RI secara mendadak melaksanakan Rapat Panitia Kerja RUU Pilkada. Mereka membahas UU No. 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah. UU tersebut adalah pengganti dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 mengenai pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Terjadi perdebatan pada rapat tersebut, yang membahas mengenai putusan MK tentang batas minimum usia. DPR RI memilih untuk mengikuti putusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang menyatakan bahwa batas minimum usia calon kepala daerah terhitung saat pasangan calon terpilih dilantik.
Selain itu, perdebatan juga terjadi pada pembahasan mengenai putusan MK tentang ambang batas partai politik. DPR RI menganggap bahwa ambang batas yang ditentukan dalam putusan MK hanya berlaku untuk partai politik yang tidak memiliki kursi atau partai non-parlemen dalam DPRD, bukan untuk semua partai politik.
Maulana (21), salah satu Koordinator Lapangan aksi massa, mengungkapkan bahwa keputusan DPR RI untuk mengikuti putusan MA, tidak hanya menentang putusan MK, tetapi juga melawan kewenangan MK. “Seyogyanya, putusan MK adalah putusan final yang tidak bisa digugat,” tegas Maulana.
Maulana menilai bahwa, putusan yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh MK sudah tepat karena tidak menguntungkan salah satu pihak baik individual maupun partai politik tertentu dan membuka pintu demokrasi bagi partai lain sehingga dapat mengantisipasi kotak kosong pada saat Pemilihan Kepala Daerah 2024.
“Yang mana kan putusan 60 (Putusan MK No. 60) itu memberikan, membuka peluang demokrasi bagi partai-partai lain,” ucap Maulana.
Rayhan mengungkapkan, dengan putusan DPR RI ini menjadi tanda bahwa pemerintah telah mempermainkan aturan dan meremehkan rakyatnya. “Menganggap kita hanya orang yang akan diam, tidak akan melawan, dan hanya menonton. Itu sebagai bentuk perendahan terhadap harkat dan martabat kita. Maka kita harus marah, kita harus tersinggung,” tegas Rayhan.
Rayhan berharap, adanya aksi ini bisa menjadi bukti kekuatan rakyat. “Supaya pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang terhadap kita,” pungkas Rayhan.
Reporter: Himmah/Muhammad Fazil Habibi Ardiansyah, Nurul Wahidah, Subulu Salam, Reza Sandy Nugroho
Editor: Abraham Kindi
_________
* Naskah ini mengalami penyesuaian pada Sabtu (24/08/2024). Kami memberikan koreksi terkait penyebutan kata “utusan” dan “merusak” dalam naskah.
Penyesuaian pertama terdapat pada kalimat langsung paragraf ke-3, kalimat langsung tersebut awalnya berbunyi “Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat, utusan dari Mahkamah Konstitusi.”, lalu kami koreksi menjadi “Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat putusan dari Mahkamah Konstitusi”.
Penyesuaian kedua terdapat pada kalimat langsung pada paragraf ke-3, kalimat langsung tersebut awalnya berbunyi “‘Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak merusak RUU (Pilkada),’ Ucap Muhammad Rayhan (23) salah satu Koordinator Lapangan aksi massa.” lalu kami koreksi menjadi “‘Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak mengesahkan RUU (Pilkada),’ Ucap Muhammad Rayhan (23) salah satu Koordinator Lapangan aksi massa.”
Rayhan tidak menyebutkan “Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat, utusan dari Mahkamah Konstitusi.” dan “Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak merusak RUU (Pilkada),” tapi “Kita minta supaya KPU ikut menjalankan amanat putusan dari Mahkamah Konstitusi.” dan “ Kemudian kita mendesak supaya DPR tidak mengesahkan RUU (Pilkada).”
Kelalaian reporter kami terdapat pada ketidakcermatan dalam mentranskripsi rekaman wawancara reporter dengan Muhammad Rayhan. LPM Himmah menerima hak koreksi ini dan memohon maaf pada Muhammad Rayhan serta pembaca.