HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70, Tempo menerbitkan majalah edisi khusus tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan menindaklanjutinya dengan sebuah acara diskusi pada Selasa, 18 Agustus 2015. Acara diskusi tersebut diselenggarakan di Ballroom Mataram Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta dengan menghadirkan GBPH Prabukusumo, Prof. Suhartono (sejarawan Universitas Gadjah Mada), dan Dr. dr. Rushdy Hoesein, M.Hum. (sejarawan Universitas Indonesia) sebagai narasumber. Turut hadir pula Herry Zudianto, walikota Yogyakarta periode 2001-2011, dan beberapa perwakilan dari keraton sebagai tamu undangan dalam diskusi ini.
Dimoderatori oleh Budi Setyarso selaku Redaktur Eksekutif Majalah Tempo, Budi memaparkan keputusan politik dan peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap kemerdekaan Indonesia. Di mana segera setelah proklamasi terlaksana, Sultan menyatakan bahwa Yogyakarta dan keraton berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dipilih sebagai tokoh yang disorot pada majalah edisi khusus ini karena kisah hidupnya penuh warna dan menarik. Selain itu, sosoknya jarang ditulis di media massa. “Beliau adalah seorang futuris.” Suhartono memulai diskusi dengan pemaparan tentang kemampuan Sri Sultan untuk berpikir jauh ke depan. Sultan juga merupakan figur yang republikan, revolusioner, demokratis, dan humanis.
Rushdy lalu menambahkan bahwa Sultan bukan saja berperan di era-era revolusi, tetapi perannya juga sangat besar pasca kemerdekaan Indonesia. Saat Yogyakarta menjadi ibukota sementara Indonesia, beliau mengerahkan semua fasilitas yang ada di Yogyakarta untuk kepentingan Indonesia yang saat itu masih bagaikan bayi baru lahir. Salah satu bentuknya dengan menyumbangkan uang sebesar 6 juta gulden dan tidak ingin pemberian ini diketahui publik.
“Sri Sultan adalah orang yang punya peranan hampir di semua bidang. Ekonomi, sosial, politik sampai masalah hankam (pertahanan dan keamanan-red), dan hal-hal yang bisa dikatakan urusan pemerintahan secara formal,” tutur Rushdy.
Di era orde baru, saat kondisi ekonomi Indonesia terpuruk karena super inflasi yang terjadi, Sri Sultan Hamengkubuwono IX berusaha mengatasinya dengan menjadi menteri ekonomi pada kabinet pertama presiden Soeharto tersebut. Namun sayang, peran beliau di masa kepemimpinan Soeharto justru kerap coba dihilangkan dengan berbagai cara.
“Sri Sultan Hamengkubuwono IX sering kali membuat keputusan yang irasional, namun justru memberikan hasil yang luar biasa,” kata GBPH Prabukusumo. Putera dari Sri Sultan ini juga memaparkan bahwa sang ayah menolak untuk menjadi raja se-Jawa saat ditawari oleh pihak Belanda dikarenakan beberapa alasan. Pertama, jika Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerima tawaran tersebut, maka sama saja dengan beliau merendahkan keraton-keraton lain di Indonesia, baik keraton yang lebih besar maupun yang lebih kecil. Kedua, menyetujui tawaran itu membuat Sri Sultan Hamengkubuwono IX akan dimusuhi atau memusuhi. Ketiga, beliau beranggapan Indonesia membutuhkan sistem pemerintahan baru, yaitu republik. Keempat, dengan menganut sistem republik, tidak akan ada keraton yang direndahkan. Alasan terakhir, yakni beliau meyakini bahwa hal itu akan menjadi sejarah keraton yang selalu diingat oleh rakyat Indonesia.
Diskusi yang berlangsung selama hampir tiga jam tersebut akhirnya ditutup dengan simpulan dari sang moderator tentang keteladanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai The Real King yang spatut dijadikan contoh. Salah satunya adalah sikap visioner beliau yang tidak ingin menonjolkan kebesarannya. (Nurcholis Ma’arif)