Himmah Online, Yogyakarta – Tim Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengecam keras sikap pihak kepolisian yang menghalang-halangi untuk segera mendampingi massa aksi yang ditangkap dan represifitas saat aksi #JogjaMemanggil. Hal ini disampaikan dalam Konferensi Pers LBH pada Jumat (9/10) di Kantor LBH Yogyakarta pukul 10.30 WIB.
“Polisi tidak menghormati profesi advokat. Kami dilindungi oleh Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, tapi kami malah tidak diperkenankan untuk masuk dan mendampingi korban penangkapan yang ada di Polresta Yogyakarta,” tegas Yogi, salah satu tim advokat LBH Yogyakarta.
LBH Yogyakarta telah mendatangi Polresta Yogyakarta sejak pukul 23.00 WIB (8/10), harus menunggu hingga pukul 03.30 dini hari (9/10) dan mendapatkan hasil nihil.
LBH tidak dapat segera mendampingi korban penangkapan yang mayoritas berstatus pelajar dari 94 yang teridentifikasi kepolisian. Sedangkan yang masuk pengaduan LBH, ada sekitar 50 aduan.
Niat pendampingan massa aksi ditolak mentah-mentah oleh Polresta dengan dalih tidak diizinkan oleh atasan. Padahal jelas dalam proses hukumnya, proses pemeriksaan massa aksi yang ditangkap dapat didampingi oleh kuasa hukum, terlebih jika ada yang masih terdapat di bawah umur.
Hal ini terjamin dalam Pasal 114 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu penyidik pada awal pemeriksaan telah memberitahukan hak-hak hukum tersangka untuk didampingi penasihat hukum. Lalu Pasal 115 KUHAP yang berisi bahwa kuasa hukum dapat mendampingi proses pemeriksaan.
Selain itu, menurut kesaksian Julian selaku Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, yang diamini oleh tim advokat lainnya, salah seorang polisi sempat mempersoalkan massa ikut aksi.
“Satu lagi saya ingat, polisi sempat mempermasalahkan ketika ingin bertemu, dia malah menyalahkan anaknya (red- massa aksi). ‘Lah, kenapa ikut aksi?’. Ya kami balas kan ini hak warga negara menyampaikan pendapat, justru ini menjadi lucu seorang polisi mempersoalkan keterlibatan kawan-kawan dalam menyampaikan aspirasi. Itu hak konstitusional,” ungkap Julian.
Mengacu Pasal 28 E UUD 1945, klaim tersebut dapat bersimpangan pada hak dasar warga negara yang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk aksi unjuk rasa.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga telah mengatur bahwa Polri adalah perangkat negara yang bertanggung jawab mengawal aksi berjalan aman dan kondusif, bukan sebaliknya.
Melalui informasi yang didapatkan, LBH juga menyayangkan adanya tindakan represifitas aparat selama aksi. Hal ini kemudian diklaim LBH bahwa polisi terindikasi melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
“Ada tindakan represifitas selama aksi, kami juga mengindikasikan Polresta Yogyakarta telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Diatur dalam UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999, International Covenant on Civil and Political Rights, bahkan dalam Peraturan Kapolri sendiri yang berkaitan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia,” pungkas Yogi.
Aturan internal Kapolri ini pun nyatanya termaktub dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa polisi wajib menghormati, melindungi, menegakkan hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya.
Atko, advokat dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH UII) juga menyatakan ketidaksetujuannya pada represifitas polisi dalam mengamankan massa aksi yang terindikasi penyelewengan.
“KUHP jelas tidak boleh dilanggar. Apakah seperti itu cara penangkapan? Padahal mereka belum tentu terbukti bersalah. Kami lihat banyak luka dan diperban, polisi juga mestinya tahu korban luka-luka. Ada berapa korban? Polisi harusnya punya data itu,” ujar Atko.
Menurut Teguh Nugroho, salah satu perwakilan Ombudsman RI Jakarta Raya dalam reportaseAntara, prosedural untuk memakai peralatan huru-hara pun harus mengedepankan cara persuasif dan pendekatan dialog terlebih dahulu sebelum kaos. Jika semisal tindakan fisik dilakukan, implementasinya harus dilakukan dengan terukur.
Terakhir, Yogi menegaskan empat poin penting kecaman LBH dari konfrensi pers tersebut. Pertama, polisi tidak menghormati profesi advokat. Kedua, LBH tidak akan langsung percaya apapun yang dilontarkan dalam Konferensi Pers Polresta Yogyakarta terkait massa aksi, karena dalam prosesnya sudah mencederai hukum.
Ketiga, LBH mengutuk keras represifitas yang telah dilakukan oleh aparat. Keempat, meminta kepolisian segera membebaskan massa aksi yang masih ditahan dalam Polresta Yogyakarta.
Pembaruan data dari LBH Yogyakarta, terdapat 91 massa aksi yang telah dibebaskan, sedangkan empat lainnya ditahan. Di antaranya tiga orang berusia anak-anak dan satu orang berusia dewasa ditahan dengan menggunakan pasal 170 KUHP, 406 KUHP, dan 187 KUHP.
*Koreksi: Keterangan Julian dikoreksi menjadi Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta yang sebelumnya Direktur LBH Yogyakarta.
Reporter dan Penulis: Armarizki Khoirunnisa D.
Editor: Muhammad Prasetyo