Sengsara di Tepi Hutan Negara

“Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan negara kerap mendapatkan intimidasi, kriminalisasi, bahkan penganiayaan hingga meninggal dunia.”

Luas ruangan itu sekitar 4×4 meter. Atapnya dilapisi oleh potongan kayu jati coklat. Di sebelah kanan pintu masuknya, terdapat meja berbentuk setengah lingkaran tempat bagian administrasi mencatat tamu yang keluar dan masuk.

Pada satu sisi ruangan, terdapat beberapa stand banner bertuliskan visi dan misi perusahaan. Ada juga yang bergambar peluit berwarna merah yang di bawahnya bertuliskan “WBS”. Tiga huruf tersebut merupakan singkatan dari kata “Whistle Blowing System”, sebuah sistem pengaduan daring yang berguna untuk memantau terjadinya penyimpangan.

Di sampingnya, terdapat banner bertuliskan “Pelayanan Informasi Publik” yang memberitahu bahwa perusahaan itu merupakan badan publik. Masyarakat berhak mengakses informasi yang dimiliki oleh Perhutani sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Kantor Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kendal terletak di jalan Soekarno-Hatta, sekitar 500 meter sebelah barat Masjid Agung Kendal. Di sana, saya menemui Sunarto, Administratur Perhutani KPH Kendal.  Administratur adalah nama jabatan yang disematkan untuk kepala kesatuan pemangku hutan.

Sunarto bertubuh tambun. Warna putih uban menghiasi kedua sisi rambut tipisnya. Ia seorang yang piawai bicara tentang pekerjaannya. Dengan logat jawa, gaya bicaranya naik-turun. Terkadang santai. Terkadang meledak-ledak.

Perhutani KPH Kendal merupakan perusahaan yang saat ini sedang terlibat konflik dengan warga Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kendal. Permasalahan itu bermula dari penetapan kawasan hutan yang dianggap cacat hukum oleh warga. Bersama aktivis agraria dan akademisi dari berbagai universitas, warga memprotes penetapan kawasan hutan itu.

Protes tersebut ternyata malah disambut dengan intimidasi oleh Perhutani. Saat proses reboisasi kawasan hutan pada 30 Maret 2016, Perhutani meminta ratusan polisi untuk mengawal kegiatan. “Warga bingung dan ketakutan. Kenapa sampai seperti itu (mendatangkan ratusan polisi –red),” kata Nur Aziz, tokoh masyarakat di Surokonto Wetan.

Tapi, Sunarto berkilah bahwa itu adalah prosedur yang normal dilakukan. “Kehadiran polisi dimaksudkan untuk memberi rasa nyaman dan ketertiban. Bukan untuk intimidasi. Ya, kalau misalkan Hari Raya tidak ada polisi yang jaga, kayak apa jadinya?”

Tidak sampai di situ saja, Sunarto bahkan memerintahkan anak buahnya, Rovi Tri Kuncoro untuk melaporkan  tiga orang petani—Nur Aziz, Mujiyono, dan Sutrisno Rusmin—ke polisi dengan tuduhan pembalakan liar di kawasan hutan. Akibatnya, Pengadilan Negeri (PN) Kendal memvonis mereka delapan tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider enam bulan.

“Pelaporan ke polisi sebenarnya jalan terakhir,” kata Sunarto. Ia mengungkapkan bahwa Perhutani telah melakukan berbagai cara untuk membujuk warga agar mau menyerahkan tanahnya ke Perhutani. Ia bahkan bekerja sama dengan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kendal. “Sampai gurunya Nur Aziz pun saya datangi,” ujar Sunarto.

Aziz membenarkan ia sempat dipanggil ke PCNU Kendal untuk membicarakan permasalahan penetapan kawasan hutan tersebut. Tapi, Aziz mengatakan bahwa tak pernah ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya terkait kejanggalan tukar-menukar kawasan hutan di Surokonto Wetan. Misalnya saja, soal penjualan tanah negara yang dilakukan oleh PT. Sumurpitu Wringinsari dan penilaian harga saham berupa luasan tanah per meter persegi.

“Saya sangat yakin saya benar,” kata Aziz, tak terdengar sedikit pun ragu.

Nestapa yang dialami oleh Nur Aziz, Mujiyono, dan Sutrisno Rusmin bukanlah kasus yang pertama. Saya mencatat beberapa kasus yang melibatkan Perhutani dan masyarakat. Contohnya di Blora, Perhutani melaporkan Parji dan Yani ke polisi. Dua orang buruh tani miskin itu dilaporkan dengan tuduhan mencuri kayu jati di kawasan hutan milik negara. Atau jika Anda mengikuti arus media massa pada pertengahan awal 2015, Anda dapat dengan mudah membaca kasus Asyani, nenek yang juga dituduh mencuri kayu jati dari kawasan hutan.

Bukan hanya kriminalisasi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan Aliansi Relawan untuk Penyelamaan Alam (Arupa) mencatat bahwa sejak 1998 sampai 2011, telah terjadi penembakan dan penganiayaan terhadap masyarakat di sekitar kawasan hutan. Penembakan dan penganiayaan itu menewaskan 34 orang dan 74 lainnya luka-luka. Aksi kekerasan yang melibatkan Perhutani menempati posisi teratas dalam tabulasi konflik sektor kehutanan di Pulau Jawa dan Madura.

***

Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berdiri pada 1961 dan bertugas mengelola kawasan hutan milik negara di Pulau Jawa dan Madura. Cikal-bakal terbentuknya perusahaan ini dimulai pada 14 Januari 1808. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Salah satu tugas yang diemban oleh Daendels adalah reforestasi kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan parah.

Kerusakan hutan diakibatkan oleh adanya industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda yang selama lebih dari 200 tahun memasok bahan bakunya dari hutan di Pulau Jawa. “Industri tersebut tersebar sepanjang pantai Utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik sampai Pasuruan,” kata I Nyoman Nurjaya mengutip Nancy Lee Peluso dalam penelitiannya, Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia.

Untuk mendukung upaya reforestasi tersebut, Daendels lantas membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan), membuat perencanaan reforestasi kawasan hutan yang mengalami kerusakan, dan mengeluarkan peraturan mengenai kehutanan. Aturan tersebut membatasi pemberian izin penebangan kayu jati serta memberi sanksi pidana bagi para penebang kayu-kayu jati tanpa seizin Jawatan Kehutanan.

Kebijakan yang diterapkan oleh Daendels tersebut juga dipandang oleh Supardi dalam bukunya, Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Jaman, sebagai awal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menggunakan teknik ilmu kehutanan dan institusi modern di Indonesia. Terutama setelah Daendels membentuk Jawatan Kehutanan yang berwenang mengelola hutan di Pulau Jawa.

Pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan oleh pemerintah Indonesia dimulai pada Desember 1946. Saat itu Jawatan Kehutanan membentuk tim penerjemah. Tugasnya menerjemahkan peraturan-peraturan hukum kehutanan yang diproduksi pada masa pemerintahan kolonial Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan itu dilakukan dengan tujuan memberikan pemahaman dan sebagai bahan pembentukan peraturan hukum kehutanan yang sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Kemudian pada 1960, pemerintah hendak menjadikan sektor kehutanan sebagai salah satu corong pendapatan negara. Berangkat dari rencana itu, tak lama pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Hal ini bertujuan untuk mengubah status Jawatan Kehutanan menjadi Perusahaan Negara (PN) yang bersifat komersial.

Lalu, secara lebih spesifik ke ranah kehutanan, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 sampai Nomor 30 Tahun 1961 tentang Pembentukan Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutani).

Itulah proses terbentuknya BUMN yang saat ini memiliki 23 cabang pengelola yang mereka sebut sebagai Kesatuan Pemangku Hutan. Cabang-cabang itu terbagi ke dalam tiga divisi regional, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat-Banten.

Sejak berdiri sampai dengan hari ini, Perhutani melebarkan sayap pengelolaan hutannya secara agresif. Pada 1972, Pemerintah menjadikan Perhutani sebagai Perusahaan Umum. Hal itu membuat PN. Perhutani Jawa Timur dan PN. Perhutani Jawa Tengah dilebur menjadi satu unit produksi Perhutani.

Pada 1978, pemerintah menambah unit produksi Perhutani dengan wilayah kerja yang meliputi seluruh areal hutan di daerah tingkat I Jawa Barat. Wilayah ini selanjutnya disebut sebagai Unit III Perhutani. Pada 2010, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 71 Tahun 2010 sebagai dasar hukum pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan di Jawa dan Madura.

Dengan penguasaan lahan yang luas, Perhutani mampu memberi pemasukan bagi kas negara secara signifikan. Pendapatan tersebut makin meningkat semenjak Perhutani menjadi perusahaan induk yang membawahi delapan anak perusahaan tahun 2014. Pada 2015, laba bersih Perhutani mencapai Rp 273 miliar.

Sejumlah warga menangis usai mendengar putusan sidang vonis tiga petani Surokonto Wetan, terdakwa kasus pembalakan hutan secara liar di Pengadilan Negeri Kendal, Rabu (18/01/2017). (Foto oleh: Danca Prima R.)

Sayangnya, laba yang melimpah ruah tersebut tak dibarengi dengan praktik manusiawi dalam menghadapi tuntutan dan permasalahan dengan masyarakat. Konflik-konflik antara Perhutani dan warga seringkali dihadapi dengan represi. “Alhasil, penyelesaian tak kunjung hadir. Sebaliknya sekam konflik semakin menjadi-jadi,” kata Wahyu Wagiman, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dalam buku Perhutani dan Hak Asasi Manusia.

Padahal, lanjut Wagiman, sebagai entitas bisnis yang dikontrol dan dimiliki oleh negara, Perhutani tak hanya berkewajiban menjalankan aktivitas untuk mencari keuntungan. Perhutani juga menjadi perpanjangan tangan negara dalam pelayanan dan perlindungan terhadap masyarakat. “Dengan dipandu United Nations Guiding Principles on Bussiness and Human Rights (UNGP’s), beban pemangku kewajiban dalam perlindungan dan penghormatan terhadap HAM (Hak Asasi Manusia –red) dengan sendirinya melekat di tubuh Perhutani.”

Menanggapi hal itu, Sunarto menjawab enteng dengan berkata bahwa setiap gangguan yang terjadi di dalam kawasan hutan akan dilaporkan ke polisi. Ia mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Kawasan Hutan yang realitasnya malah lebih banyak menjerat masyarakat daripada korporasi.

“Perhutani harus melaporkan kejahatan yang terjadi di dalam hutan kepada polisi,” kata Sunarto. Ia berargumen bahwa ketika tidak melakukan pelaporan, Perhutani akan terkena pasal pembiaran. “Intinya, apa pun kalau tanpa izin sudah pasti kita tangkap,” lanjutnya.

Konflik yang terjadi antara warga Surokonto Wetan dan Perhutani menambah daftar panjang konflik agraria sektor kehutanan yang terjadi di Indonesia. Mengacu pada Humawin, sebuah aplikasi pendokumentasian konflik agraria di Indonesia milik Perkumpulan Untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma), saya mendapatkan data bahwa pada 2013, terdapat 95 konflik agraria di sektor kehutanan. Sektor ini merupakan penyumbang konflik agraria terbesar kedua setelah perkebunan.

Pada 2016, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa ada 206 konflik yang terjadi di Jawa dan Bali. Dari semua konflik tersebut, ada 56 kasus atau sekitar 27 persen yang melibatkan Perhutani. Luas wilayah konflik yang terjadi di kawasan hutan mencapai lebih dari 17 ribu hektare.

Widiyanto, peneliti dari Huma dalam makalah “Potret Konflik Agraria di Indonesia” yang diterbitkan Jurnal Bhumi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional edisi April 2013, mengatakan bahwa akar permasalahan konflik-konflik agraria sektor kehutanan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh penunjukan kawasan hutan secara sepihak. Penunjukan tersebut kerap kali dilakukan tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat, lokal, serta kelangsungan ekosistem dan lingkungan berkelanjutan pada kawasan-kawasan yang ditunjuk tersebut.

Menurutnya, dalam pemberian izin-izin dan penunjukan kawasan hutan tersebut pemerintah tak pernah menggunakan prinsip persetujuan dini tanpa paksaan. “Padahal di banyak kasus, masyarakatlah yang sejak awal membuka hutan, dan mendiami lahan-lahan garapan mereka atau tanah-tanah ulayat,” tulis mereka.

***

Info grafis oleh: Tsania Faza

28 November 2016, sekitar pukul 10.00, kantor LBH Yogyakarta nampak lebih ramai dibanding biasanya. Belasan orang berdiri berkerumunan di halaman depannya. Mereka saling bercerita satu dengan yang lainnya.

Di sebelah timur halaman tersebut, Hasan Bisri duduk di atas sebuah bangku kayu yang nampak reot. Ia memakai kopiah, baju koko, dan celana kain hitam. Matanya sayup-sayup memandang sekitar. Sejenak kemudian ia berdiri dan mengangkat ranselnya. Ia tampak kelelahan. “Saya baru sampai setelah lima jam perjalanan dari Surokonto Wetan,” katanya.

Hasan Bisri adalah salah satu petani dari Surokonto Wetan. Ia juga merupakan anggota dari Perkumpulan Petani Surokonto Wetan (PPSW), motor perlawanan petani Surokonto Wetan terhadap Perhutani. Ia adalah salah satu warga Surokonto Wetan yang bolak-balik melakukan aksi massa di PN Kendal.

Hari itu ia datang ke LBH Yogyakarta untuk bertemu petani-petani dari beberapa provinsi di Indonesia yang juga terlibat konflik agraria. Hari itu mereka berencana mengadukan nasib mereka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan mengirim petisi. Pertemuan itu merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh mereka setelah berbagai upaya yang dilakukan menemui kegagalan.

Pertemuan tersebut juga upaya untuk membangun solidaritas sesama petani yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Pada pertemuan tersebut, mereka menuntut Jokowi untuk bertindak menghentikan perampasan ruang hidup yang terjadi di seluruh Indonesia. Mereka juga meminta Jokowi segera mewujudkan reforma agraria.

Para petani yang berkumpul di LBH Yogyakarta sudah merasa bosan dengan perampasan ruang hidup yang terjadi pada mereka. Mereka ingin permasalahan tersebut cepat selesai. Begitu pun dengan Hasan. Ia bercerita bahwa warga di Surokonto Wetan tak tenang semenjak Perhutani “masuk” ke desanya.

“Sejak dulu petani Surokonto Wetan hidup dari lahan pertanian yang digarap secara turun-temurun. Banyak juga makam leluhur kami di tanah tersebut,” ungkap Hasan lirih. “Kami mau tetap bertani. Kami mau permasalahan ini cepat selesai,” lanjutnya.

(Reportase Bersama: Tsania Faza, Adilia Tri H., Haninda Luthfiana U.)

Skip to content