HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Jika ditanya mengenai realita mahasiswa zaman dahulu dengan sekarang, Sudjiwo Tedjo mengungkapkan banyak perbedaan. Pria yang akrab dipanggil “Mbah Tedjo” mengungkapkan bahwa dahulu mahasiswa turun ke lapangan, melakukan kritik kritisnya dengan melawan pemerintah yang tidak sesuai kodratnya sebagai pemimpin. Mahasiswa sekarang lebih banyak muncul dilayar kaca sebagai penghias atau cheerleader oleh perusahaan televisi dan mereka mengikuti apa yang menjadi arahan crew televisi seperti tepuk tangan, berteriak mengeluarkan yel-yel tertentu, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah di setting sebelumnya. “Seharusnya walaupun mahasiswa tampil di televisi tapi jangan mau di setting oleh crew, tapi tetap harus menjunjung tinggi kekritisannya sebagai mahasiswa syukur-syukur bantai habis si narasumber, jadi jangan mau hanya sebagai pengikut setting crew saja,” ujar Tedjo.
Ditemui pada acara talkshow bertajuk “Youth Action For a Better Indonesia” dia mengungkapkan bahwa mahasiswa sekarang perlu melihat lagi bahwa partai sekarang ini tidak bisa jadi patokan. Menurutnya, sekarang kita harus melihat siapa yang duduk di pemerintahan (eksekutif). Lihat latar belakangnya juga apakah dia berasal dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) atau yang lain, sekarang semuanya hampir ada senior-senior yang duduk disana, jadi sekarang mengutarakan kritik tidak bisa frontal lagi terhadap eksekutif yang ada saat ini notabenenya adalah senior mereka juga. Tedjo mengatakan bahwa kritik yang lebih mungkin dilakukan mahasiswa adalah kritik yang sifatnya radikal, seperti definisi demokrasi, definisi negara itu apa, tauhid kalau itu dalam konteks keagamaan, atau apa itu cinta. Mahasiswa sekarang lebih cenderung positif untuk mencari akarnya. “Seperti jika berdiskusi soal musik mereka lebih ke akarnya, apakah musik itu? apakah musik selalu harus bunyi? apakah diam bukan bagian dari musik? apakah didalam Alquran itu yang namanya pesan adalah sesuatu yang tertulis, seperti Tabaarakalladzii biyadihil mulku¸ apakah ritmenya yang tidak tertulis karena itu menggerakkan? jadi pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menggerakan karena pertanyaan-pertanyaan frontal sudah tidak mungkin,” ujarnya lagi.
Melihat permasalahan yang ada di Indonesia sekarang ini dia mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi yang namanya bangsa kalau definisi bangsa adalah rasa senasib. Bangsa adalah sebuah kaum yang tinggal disuatu tempat dengan waktu yang lama dan mempunyai rasa senasib sepenanggungan. “Definisi bangsa kita sebenarnya berbangsa, jadi saya harap mahasiswa sekarang itu lebih radikal, radik kan akar bukan fandal yang artinya kekerasan,” menurut Tedjo dengan nada yang tegas.
“Bagaimana kita mau ngomong pembangunan, infrastuktur, PSSI dan lain sebagainya kalau bangsa sendiri saja sudah tidak jelas. PSSI dan jalan tol yang nantinya akan dibangun diatas bangsa, wong bangsanya saja sudah gak jelas kok”, ungkapnya. Lebih jauh dia mengungkapkan bahwa mahasiswa seharusnya bisa mencari ikatan didepan jadi bangsa sekarang tidak bisa didefinisikan dengan ikatan dibelakang. Semuanya harus sepakat terlebih dahulu dengan tujuannya apakah mau jadi negara pertanian, pariwisata, atau mau jadi negara maritim. Tedjo mengatakan kalau negara ini harus punya fokus tujuannya dahulu. Kalau mau jadi negara pariwisata, semua arah tujuannya diarahkan menuju arah pariwisata. Begitu juga jika fokus utamanya adalah negara maritim. Jadi ada target tertentu yang harus dicapai maka itu baru bisa disebut dengan bangsa. Karena setiap ganti kabinet baru yang selalu menjadi masalah adalah fokus tujuan yang selalu berganti-ganti. “Aku curiga kalau ini semua dibikin oleh asing, masa sebuah negara besar seperti Indonesia ini rencana kedepannya cuma lima tahun sekali, bisa beda-beda nantinya,” tuturnya dalam akhir wawancara. (Wean Guspa U.)